Berdikari Online (14/12/08); 500-an pekerja dari Jakarta, bogor,tangerang, dan bekasi mendeklarasikan pendirian Persatuan Buruh Reformasi (PBR) di aula gedung Trisula, Ciniki, Jakarta, hari minggu (14/12). Acara tersebut selain dihadiri ketua Umum PBR dan jajaran DPP PBR, juga dihadiri oleh Risal Ramli. Menurut Katarina Puji Astuti, ketua panitia, deklarasi Persatuan Buruh Reformasi dimaksudkan untuk memberikan saluran politik kepada suara-suara rakyat pekerja, yang selama ini dikucilkan dan dipinggirkan dari panggung politik, melalui beberapa calon anggota legislatif (Caleg) dari pekerja.
Orasi langsung dibuka oleh Risal Ramli. Menurutnya, pemerintah masih menempatkan pekerja sebagai sumber masalah hambatan investasi. Padahal, menurut Risal Ramli, factor penghambat investasi paling utama adalah birokrasi dan banyaknya biaya siluman. Bagi risal, kaum pekerja tak boleh lagi menyandarkan pilihannya kepada pemerintahan pro-neoliberal, tapi mendukung dan memperjuangan kepemimpinan nasional yang sanggup menjalankan jalan baru.
Sayup-sayup teriakan "hidup buruh" berkali-kali terdengar, ketika Tari Adinda, seorang buruh pabrik di Cakung, dengan lihai memainkan lagu-lagu perjuangan buruh, seperti "buruh kontrak". Massa semakin antusias mengikuti acara, ketika Dita Indahsari, seorang Caleg dari PBR menyampaikan orasi politiknya. "ketika buruh menolak SKB 4/PB 4 menteri, pemerintah selalu menuduh pekerja mempolitisasi keadaan" ujar Dita. Menurut dita, tuduhan tersebut merupakan kekhawatiran, karena ketika buruh menjangkau arena politik sebagai bagian dari perjuangan untuk mengubah hidup, malah dianggap pemerintah "mempolitisisasi". Bagi Dita, perjuangan buruh haruslah perjuangan politik, maka penting bagi buruh untuk berpartai dan mengajukan calon anggota legislatif. Dengan itu, menurut Dita, pekerja akan mendapat ruang konstitusional untuk memperbaiki kesejahteraannya, serta mendorong perubahan ekonomi Indonesia agar lebih mandiri, makmur, dan berdaulat.
Bursah Sarnubi, ketua umum PBR, akhirnya melantik pengurus pusat Persatuan Buruh Reformasi, yang terdiri dari Katarina Pudji Astuti (ketua), Hafid (Sekretaris), Desi Arisanti (bendahara), Kristianto (Divisi Advokasi), Sukrisno (divisi organisasi), dan Dedi Fauzi (divisi pendidikan dan kaderisasi). Dalam sambutannya, Bursah Sarnubi mengatakan, sudah saatnya nasib pekerja diangkat. Pekerja harus mengembangkan kapasitasnya, termasuk kemampuan berpolitik, agar dapat mendorong perubahan yang lebih baik. Bursah berpesan, seluruh caleg pekerja harus mengandalkan militansi, seperti semangat infanteri, terutama dalam menggalang dan meraih dukungan massa. Menurutnya, caleg pekerja harus mendatangi rakyat dan bekerja bersama mereka. (Ulfa)
Diambil dari Berdikari Online
Minggu, 14 Desember 2008
Senin, 24 November 2008
HUKUM YANG BERWAJAH MANUSIAWI
Dita Indah Sari*
Eksekusi mati akhirnya dilakukan. Pada tengah malam tanggal 10 Nopember, terpidana kasus terorisme Amrozi dkk, ditembak mati di Cilacap, Jawa Tengah. Hari-hari menjelang ketiganya digiring ke hadapan regu tembak menjadi saat-saat yang sibuk bagi media massa. Masyarakat mengamati, menunggu dan sebagian mendesah lega setelah eksekusi akhirnya benar terjadi.
Pro-kontra soal hukuman mati sudah biasa. Eksekusi mati memang mencekam, sarat kengerian, bahkan bagi para pelaksananya. Eksekusi terpidana mati kasus pembunuhan Astini dan Sumiarsih di Jawa Timur, juga mencuatkan pro kontra. Penolakan dilontarkan. Hak azasi, dalam hal ini hak hidup yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun, menjadi pegangan utama. Diperkuat pula dengan prinsip bahwa hukuman dari negara harus bersifat “memperbaiki”, bukan membalas dendam. Seluruh argumen ini, menurut saya, sepenuhnya tepat dan berlaku bagi siapapun, termasuk bagi para teroris yang mencabut ratusan kehidupan seperti Amrozi dkk.
Perspektif Lain
Mendukung hak hidup para teroris dalam kasus ini terasa absurd, menggelikan bahkan kontradiktif. Untuk apa memberi hak hidup pada sekelompok orang yang tanpa ragu dan penyesalan merampas hak hidup ratusan orang lain? Dalam kasus ini, 90% orang tampaknya akan berayun mendukung prinsip hukuman sebagai pembalasan dendam, nyawa dibalas nyawa (an eye for an eye).
Namun ada sudut pandang lain yang perlu dipaparkan. Pelaku terorisme seringkali memiliki keyakinan yang kuat atas kebenaran tindakannya. Kematian, karenanya menjadi konsekuensi yang siap dipikul, bahkan dalam tahap tertentu, dinantikan, karena mati sebagai syuhada diyakini akan dianugerahi surga sebagai ganjarannya. Bom bunuh diri karenanya menjadi pilihan yang paling banyak digunakan, bukan hanya di Indonesia tapi oleh pelaku terorisme di negara lain.
Saya tidak melihat ada perbedaan yang terlalu jauh antara pelaksanaan eksekusi mati dengan bom bunuh diri. Secara teknis keduanya sama-sama aktivitas pembunuhan yang direncanakan dengan teliti, baik waktu, jam, tempat, cara, pelaku, korban, saksi, maupun akibatnya, meskipun secara prinsip keduanya tentu bertentangan. Para teroris pelaku bom bunuh diri tahu persis kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati . Para korban hukuman mati kurang lebih juga tahu kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati.
Intinya, hukuman mati yang mencekam ini bukanlah sesuatu yang “asing” bagi para terpidana teroris. Kepastian soal waktu, tempat dan cara kematian adalah bagian dari perencanaan bom bunuh diri, bagian dari aktivitas terorisme itu sendiri. Detik-detik menjelang eksekusi tembak dan detik-detik menjelang pelaku bom bunuh diri menekan saklar bom, bukankah sesungguhnya tidak jauh berbeda bagi para teroris itu sendiri? Ditambah dengan keyakinan akan kebenaran jihad yang mereka lakukan, maka kematian di depan regu tembak bukanlah menjadi sesuatu yang “menghukum”. Jika kita memandang hukuman mati sebagai sebuah “keadilan dan ganjaran yang setimpal’ bagi kejahatan mereka, saya khawatir para teroris justru memandang pelaksanaan eksekusi mati sebagai semacam stairway to heaven.
Karenanya dalam hal ini hukuman mati menjadi kehilangan efektivitasnya, kehilangan efek jeranya karena para terpidana teroris memiliki sudut pandang yang berbeda tentang kematian dan kehidupan daripada orang kebanyakan. Dan tentu saja, kehilangan tugas dan semangat “memperbaiki”, sebagaimana seharusnya sebuah sistem hukum yang benar.
Penjara dengan Keamanan Maksimum
Maximum Security Prison (penjara dengan keamanan maksimum) semestinya menjadi hukuman alternatif bagi pelaku terorisme, pembunuhan sadis bahkan koruptor kakap. Dalam maximum security prison bukan saja aspek ketat dan berlapisnya keamanan yang menjadi prioritas, tapi juga ketatnya disiplin dan batasan bagi para penghuninya. Konsep penjara ini sangat berbeda dengan Lapas Cipinang atau lembaga-lembaga pemasyarakatan lain di tanah air, karena di sini para narapidana memiliki hak yang jauh lebih terbatas dibanding penghuni lapas tersebut, terutama dalam aspek komunikasi dengan dunia luar dan sesamanya, serta sulitnya mendapat keringanan hukuman.
Penjara model ini tengah dibangun di Nusakambangan, dan mudah-mudahan penyakit kolusi dan sogok menyogok yang menjadi tradisi penjara-penjara lain di tanah air tidak berlaku di sini. Sangat penting untuk menjaga agar kita memiliki maximum security prison yang sungguh-sungguh secure dari gerogotan kolusi dan suap karena ini menjadi taruhan dari efektivitas negara mengatasi kejahatan-kejahatan besar semacam terorisme, korupsi dan perdagangan narkotika. Lapas-lapas sarat kolusi yang kita miliki selama ini tampaknya hanya menghasilkan regenerasi kejahatan ketimbang memperbaiki manusianya.
Hukuman mati tidak menghentikan kejahatan terorisme. Hukuman mati bahkan tidak pernah terbukti efektif menghentikan kejahatan apapun. Selama ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, penindasan dan diskriminasi ekonomi dan ataupun militer oleh barat terhadap Bangsa Palestina, bangsa Irak, Afganistan, Amerika Latin –apapun agama yang dipeluk oleh rakyatnya, dan ketergantungan terhadap asing tidak diatasi, ladang subur bagi terorisme tetap tersedia.
Sambutan besar terhadap jenazah Amrozi dkk di kampung halamannya pasca eksekusi adalah tanda bahwa di sana kematiannya dinilai bukan sebagai ganjaran tetapi justru adalah pengorbanan. Di sana, dia bukanlah pembunuh tetapi pahlawan, martir.
Amrozi jelas bukan pahlawan, meskipun saya setuju bahwa kejahatan politik dan ekonomi pemerintah Barat harus dilawan. Namun saya sepenuhnya menolak jika bangsa dan rakyat negeri-negeri Barat menjadi tumbal atas apa yang dilakukan oleh pemerintah mereka.
Hukum harus memperbaiki apa yang telah dirusak oleh keadaan ekonomi dan politik. Itulah tugas hukum sepenuh-penuhnya, membuat manusia menjadi manusia.
Cukup sudah Astini, Sumiarsih, Fabianus Tibo, Amrozi, dll.
*mantan narapidana politik
Eksekusi mati akhirnya dilakukan. Pada tengah malam tanggal 10 Nopember, terpidana kasus terorisme Amrozi dkk, ditembak mati di Cilacap, Jawa Tengah. Hari-hari menjelang ketiganya digiring ke hadapan regu tembak menjadi saat-saat yang sibuk bagi media massa. Masyarakat mengamati, menunggu dan sebagian mendesah lega setelah eksekusi akhirnya benar terjadi.
Pro-kontra soal hukuman mati sudah biasa. Eksekusi mati memang mencekam, sarat kengerian, bahkan bagi para pelaksananya. Eksekusi terpidana mati kasus pembunuhan Astini dan Sumiarsih di Jawa Timur, juga mencuatkan pro kontra. Penolakan dilontarkan. Hak azasi, dalam hal ini hak hidup yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun, menjadi pegangan utama. Diperkuat pula dengan prinsip bahwa hukuman dari negara harus bersifat “memperbaiki”, bukan membalas dendam. Seluruh argumen ini, menurut saya, sepenuhnya tepat dan berlaku bagi siapapun, termasuk bagi para teroris yang mencabut ratusan kehidupan seperti Amrozi dkk.
Perspektif Lain
Mendukung hak hidup para teroris dalam kasus ini terasa absurd, menggelikan bahkan kontradiktif. Untuk apa memberi hak hidup pada sekelompok orang yang tanpa ragu dan penyesalan merampas hak hidup ratusan orang lain? Dalam kasus ini, 90% orang tampaknya akan berayun mendukung prinsip hukuman sebagai pembalasan dendam, nyawa dibalas nyawa (an eye for an eye).
Namun ada sudut pandang lain yang perlu dipaparkan. Pelaku terorisme seringkali memiliki keyakinan yang kuat atas kebenaran tindakannya. Kematian, karenanya menjadi konsekuensi yang siap dipikul, bahkan dalam tahap tertentu, dinantikan, karena mati sebagai syuhada diyakini akan dianugerahi surga sebagai ganjarannya. Bom bunuh diri karenanya menjadi pilihan yang paling banyak digunakan, bukan hanya di Indonesia tapi oleh pelaku terorisme di negara lain.
Saya tidak melihat ada perbedaan yang terlalu jauh antara pelaksanaan eksekusi mati dengan bom bunuh diri. Secara teknis keduanya sama-sama aktivitas pembunuhan yang direncanakan dengan teliti, baik waktu, jam, tempat, cara, pelaku, korban, saksi, maupun akibatnya, meskipun secara prinsip keduanya tentu bertentangan. Para teroris pelaku bom bunuh diri tahu persis kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati . Para korban hukuman mati kurang lebih juga tahu kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati.
Intinya, hukuman mati yang mencekam ini bukanlah sesuatu yang “asing” bagi para terpidana teroris. Kepastian soal waktu, tempat dan cara kematian adalah bagian dari perencanaan bom bunuh diri, bagian dari aktivitas terorisme itu sendiri. Detik-detik menjelang eksekusi tembak dan detik-detik menjelang pelaku bom bunuh diri menekan saklar bom, bukankah sesungguhnya tidak jauh berbeda bagi para teroris itu sendiri? Ditambah dengan keyakinan akan kebenaran jihad yang mereka lakukan, maka kematian di depan regu tembak bukanlah menjadi sesuatu yang “menghukum”. Jika kita memandang hukuman mati sebagai sebuah “keadilan dan ganjaran yang setimpal’ bagi kejahatan mereka, saya khawatir para teroris justru memandang pelaksanaan eksekusi mati sebagai semacam stairway to heaven.
Karenanya dalam hal ini hukuman mati menjadi kehilangan efektivitasnya, kehilangan efek jeranya karena para terpidana teroris memiliki sudut pandang yang berbeda tentang kematian dan kehidupan daripada orang kebanyakan. Dan tentu saja, kehilangan tugas dan semangat “memperbaiki”, sebagaimana seharusnya sebuah sistem hukum yang benar.
Penjara dengan Keamanan Maksimum
Maximum Security Prison (penjara dengan keamanan maksimum) semestinya menjadi hukuman alternatif bagi pelaku terorisme, pembunuhan sadis bahkan koruptor kakap. Dalam maximum security prison bukan saja aspek ketat dan berlapisnya keamanan yang menjadi prioritas, tapi juga ketatnya disiplin dan batasan bagi para penghuninya. Konsep penjara ini sangat berbeda dengan Lapas Cipinang atau lembaga-lembaga pemasyarakatan lain di tanah air, karena di sini para narapidana memiliki hak yang jauh lebih terbatas dibanding penghuni lapas tersebut, terutama dalam aspek komunikasi dengan dunia luar dan sesamanya, serta sulitnya mendapat keringanan hukuman.
Penjara model ini tengah dibangun di Nusakambangan, dan mudah-mudahan penyakit kolusi dan sogok menyogok yang menjadi tradisi penjara-penjara lain di tanah air tidak berlaku di sini. Sangat penting untuk menjaga agar kita memiliki maximum security prison yang sungguh-sungguh secure dari gerogotan kolusi dan suap karena ini menjadi taruhan dari efektivitas negara mengatasi kejahatan-kejahatan besar semacam terorisme, korupsi dan perdagangan narkotika. Lapas-lapas sarat kolusi yang kita miliki selama ini tampaknya hanya menghasilkan regenerasi kejahatan ketimbang memperbaiki manusianya.
Hukuman mati tidak menghentikan kejahatan terorisme. Hukuman mati bahkan tidak pernah terbukti efektif menghentikan kejahatan apapun. Selama ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, penindasan dan diskriminasi ekonomi dan ataupun militer oleh barat terhadap Bangsa Palestina, bangsa Irak, Afganistan, Amerika Latin –apapun agama yang dipeluk oleh rakyatnya, dan ketergantungan terhadap asing tidak diatasi, ladang subur bagi terorisme tetap tersedia.
Sambutan besar terhadap jenazah Amrozi dkk di kampung halamannya pasca eksekusi adalah tanda bahwa di sana kematiannya dinilai bukan sebagai ganjaran tetapi justru adalah pengorbanan. Di sana, dia bukanlah pembunuh tetapi pahlawan, martir.
Amrozi jelas bukan pahlawan, meskipun saya setuju bahwa kejahatan politik dan ekonomi pemerintah Barat harus dilawan. Namun saya sepenuhnya menolak jika bangsa dan rakyat negeri-negeri Barat menjadi tumbal atas apa yang dilakukan oleh pemerintah mereka.
Hukum harus memperbaiki apa yang telah dirusak oleh keadaan ekonomi dan politik. Itulah tugas hukum sepenuh-penuhnya, membuat manusia menjadi manusia.
Cukup sudah Astini, Sumiarsih, Fabianus Tibo, Amrozi, dll.
*mantan narapidana politik
Minggu, 23 November 2008
SKB EMPAT MENTERI: SOLUSI ATAU MASALAH BARU?
DITA INDAH SARI*
Krisis ekonomi global melahirkan berbagai tambahan beban bagi ekonomi dalam negeri, khususnya dunia usaha atau sektor riil. Sebenarnya, tanpa krisis jilid berapa pun, industri dalam negeri kita memang tidak memiliki pondasi yang solid. Jangankan menjadi tuan di negeri sendiri, untuk survive saja industri domestik kesulitan akibat besarnya ketergantungan pada impor serta berbagai problem akut lainnya.
Dengan tujuan mengurangi beban industri nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut dasar penetapan upah minimum kemudian dikeluarkan. Jika dikaitkan dengan kepentingan memperkuat pondasi dunia usaha yang rapuh, SKB ini lebih tepat dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Dengan mengupayakan agar kenaikan upah tidak lebih dari nilai pertumbuhan ekonomi (sesuai isi SKB tersebut), maka pemerintah memangkas daya beli kaum pekerja yang selama ini memang sudah menurun akibat kenaikan harga BBM dan barang-barang lain.
Dalam tempo 1-2 bulan ke depan anjloknya daya beli ini mungkin belum terasa. Namun, dengan kenaikan upah minimum hanya sekitar 6% (sesuai pertumbuhan ekonomi), kaum pekerja sudah jelas akan buru-buru memangkas biaya konsumsinya. Industri yang pertama kali bakal menuai dampak dari pengurangan upah ini adalah industri rokok, otomotif, elektronik, garmen dan ritel. Industri-industri tersebut merupakan sumber kebutuhan non primer yang lebih mungkin dikurangi konsumsinya, kalau perlu secara drastis. Industri makanan minuman sendiri akan terkena pula dampaknya dalam jangka menengah karena keluarga pekerja harus semakin selektif dalam mengonsumsi (baca : mengurangi) makanan, baik karena tekanan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak maupun agar dapat melakukan saving.
Koreksi-koreksi kebijakan ekonomi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat “memelihara momentum pertumbuhan ekonomi” kita, sebagaimana bunyi judul SKB tersebut. Perspektifnya yang parsial dan jangka pendek akan menjadi seperti senjata makan tuan bagi industri nasional. Menganggap industri dalam negeri akan terdongkrak produktivitasnya dengan pengurangan upah (yang memang sudah rendah) adalah paradigma yang tidak manusiawi dan agak primitif.
Pasar Kerja yang Fleksibel
Labour market flexibility pun kemudian diundang masuk dengan dikuatkannya model bipartit sebagai mekanisme penentuan upah, dimana peran pemerintah dalam proses ini pun menghilang. Mekanisme ini sebetulnya sudah lama diusulkan oleh kalangan dunia usaha. Krisis global ini menjadi momentum dimana usulan tersebut didesakkan lagi.
Dalam situasi dimana 69% pekerja kita ada di sektor informal (mayoritas pertanian) serta tingkat pendidikan dan keahlian pekerja sangat rendah, bagaimana mungkin kita berharap daya tawar pekerja dalam sistem bipartit dapat setara/equal dengan pengusaha? Bagaimana mungkin mayoritas pekerja kita yang berpendidikan terbatas dapat bernegosiasi tentang hak-haknya secara efektif? Sebagai informasi, tingkat unionisasi (menjadi anggota serikat pekerja) di kalangan pekerja kita baru berkisar antara 8-10% dari total pekerja. Jika pemerintah lepas tangan dalam proses ini, lalu siapa yang akan menjaga 90% pekerja lainnya yang tidak memiliki wadah dalam memperoleh hak-haknya?
Melindungi Pekerja dan Industri Dalam Negeri
Industri dalam negeri yang kuat adalah kunci membangun ketahanan ekonomi kita. Sesungguhnya kita tidak kehabisan stok solusi untuk mengatasi krisis ini sekaligus melindungi industri dan pekerja. Kalau targetnya adalah untuk menghemat biaya produksi, penghapusan pajak ekspor yang telah dilakukan pemerintah merupakan solusi yang baik. Mengapa ini tidak diikuti dengan penurunan suku bunga, seperti yang telah dilakukan semua negara saat ini (kecuali Indonesia)? Daripada menghadang kenaikan upah, solusi ini jauh lebih signifikan untuk membantu industri dalam negeri (dalam jangka panjang), karena mengurangi biaya produksi investasi dan harga jual.
Mengapa tidak diikuti dengan menurunkan kenaikan harga BBM, yang selama ini telah membuat biaya operasional perusahaan membengkak? Kita berada dalam situasi yang emergency, sehingga langkah-langkah yang diambil pun harusnya merupakan sebuah terobosan yang berbeda dari situasi normal. Sebagai catatan, baru-baru ini negara jiran Malaysia telah mengurangi harga BBM nya 2,5 ringgit/liter. Harga minyak dunia yang turun seharusnya direspon secepatnya dengan menurunkan harga BBM domestic, secepat pemerintah menaikan harga BBM saat harga minyak meroket naik.
Melemahnya nilai tukar rupiah juga tidak perlu menjadi alasan agar upah pekerja dibatasi kenaikannya, khususnya bagi industry yang berbasis impor. Kewajiban pemerintahlah untuk mengatur dan membatasi secara ketat transaksi valas dan keluar masuknya dolar atau mata uang asing lainnya. Semua pembatasan ini tentu saja tidak berlaku bagi aktivitas dunia usaha.
Kalaupun pembatasan kenaikan upah tersebut tetap dirasa perlu diberlakukan, sebaiknya diterapkan hanya bagi pekerja dengan gaji di atas 5 juta/bulan. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi krisis ini jelas jauh lebih besar daripada para pekerja dengan upah minimum yang rata-rata kurang dari 1 juta/bulan. Para pekerja kerah putih ini (white collar workers) pun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, sehingga dapat melakukan negosiasi yang lebih efektif dengan pihak perusahaan. Dengan catatan policy “diskriminasi” ini berlaku sementara dengan batas waktu yang jelas.
Melindungi kepentingan industry tanpa mengurangi hak-hak mendasar pekerja adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini. Jika hal ini tidak menjadi pegangan dalam menyusun kebijakan industry nasional, maka setiap langkah kebijakan ekonomi akan menempatkan kaum pekerja dan masyarakat miskin sebagai korban. Jika ini yang terjadi, maka kita pun sampai pada kesimpulan yang jelas : bahwa pemerintah ini bukan hanya dokter yang gagal, tapi juga melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya yang mayoritas miskin.
*Aktifis Serikat Buruh, Caleg DPR RI PBR, Dapil Jateng V
Krisis ekonomi global melahirkan berbagai tambahan beban bagi ekonomi dalam negeri, khususnya dunia usaha atau sektor riil. Sebenarnya, tanpa krisis jilid berapa pun, industri dalam negeri kita memang tidak memiliki pondasi yang solid. Jangankan menjadi tuan di negeri sendiri, untuk survive saja industri domestik kesulitan akibat besarnya ketergantungan pada impor serta berbagai problem akut lainnya.
Dengan tujuan mengurangi beban industri nasional, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut dasar penetapan upah minimum kemudian dikeluarkan. Jika dikaitkan dengan kepentingan memperkuat pondasi dunia usaha yang rapuh, SKB ini lebih tepat dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah dengan masalah. Dengan mengupayakan agar kenaikan upah tidak lebih dari nilai pertumbuhan ekonomi (sesuai isi SKB tersebut), maka pemerintah memangkas daya beli kaum pekerja yang selama ini memang sudah menurun akibat kenaikan harga BBM dan barang-barang lain.
Dalam tempo 1-2 bulan ke depan anjloknya daya beli ini mungkin belum terasa. Namun, dengan kenaikan upah minimum hanya sekitar 6% (sesuai pertumbuhan ekonomi), kaum pekerja sudah jelas akan buru-buru memangkas biaya konsumsinya. Industri yang pertama kali bakal menuai dampak dari pengurangan upah ini adalah industri rokok, otomotif, elektronik, garmen dan ritel. Industri-industri tersebut merupakan sumber kebutuhan non primer yang lebih mungkin dikurangi konsumsinya, kalau perlu secara drastis. Industri makanan minuman sendiri akan terkena pula dampaknya dalam jangka menengah karena keluarga pekerja harus semakin selektif dalam mengonsumsi (baca : mengurangi) makanan, baik karena tekanan kebutuhan pendidikan dan kesehatan anak maupun agar dapat melakukan saving.
Koreksi-koreksi kebijakan ekonomi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat “memelihara momentum pertumbuhan ekonomi” kita, sebagaimana bunyi judul SKB tersebut. Perspektifnya yang parsial dan jangka pendek akan menjadi seperti senjata makan tuan bagi industri nasional. Menganggap industri dalam negeri akan terdongkrak produktivitasnya dengan pengurangan upah (yang memang sudah rendah) adalah paradigma yang tidak manusiawi dan agak primitif.
Pasar Kerja yang Fleksibel
Labour market flexibility pun kemudian diundang masuk dengan dikuatkannya model bipartit sebagai mekanisme penentuan upah, dimana peran pemerintah dalam proses ini pun menghilang. Mekanisme ini sebetulnya sudah lama diusulkan oleh kalangan dunia usaha. Krisis global ini menjadi momentum dimana usulan tersebut didesakkan lagi.
Dalam situasi dimana 69% pekerja kita ada di sektor informal (mayoritas pertanian) serta tingkat pendidikan dan keahlian pekerja sangat rendah, bagaimana mungkin kita berharap daya tawar pekerja dalam sistem bipartit dapat setara/equal dengan pengusaha? Bagaimana mungkin mayoritas pekerja kita yang berpendidikan terbatas dapat bernegosiasi tentang hak-haknya secara efektif? Sebagai informasi, tingkat unionisasi (menjadi anggota serikat pekerja) di kalangan pekerja kita baru berkisar antara 8-10% dari total pekerja. Jika pemerintah lepas tangan dalam proses ini, lalu siapa yang akan menjaga 90% pekerja lainnya yang tidak memiliki wadah dalam memperoleh hak-haknya?
Melindungi Pekerja dan Industri Dalam Negeri
Industri dalam negeri yang kuat adalah kunci membangun ketahanan ekonomi kita. Sesungguhnya kita tidak kehabisan stok solusi untuk mengatasi krisis ini sekaligus melindungi industri dan pekerja. Kalau targetnya adalah untuk menghemat biaya produksi, penghapusan pajak ekspor yang telah dilakukan pemerintah merupakan solusi yang baik. Mengapa ini tidak diikuti dengan penurunan suku bunga, seperti yang telah dilakukan semua negara saat ini (kecuali Indonesia)? Daripada menghadang kenaikan upah, solusi ini jauh lebih signifikan untuk membantu industri dalam negeri (dalam jangka panjang), karena mengurangi biaya produksi investasi dan harga jual.
Mengapa tidak diikuti dengan menurunkan kenaikan harga BBM, yang selama ini telah membuat biaya operasional perusahaan membengkak? Kita berada dalam situasi yang emergency, sehingga langkah-langkah yang diambil pun harusnya merupakan sebuah terobosan yang berbeda dari situasi normal. Sebagai catatan, baru-baru ini negara jiran Malaysia telah mengurangi harga BBM nya 2,5 ringgit/liter. Harga minyak dunia yang turun seharusnya direspon secepatnya dengan menurunkan harga BBM domestic, secepat pemerintah menaikan harga BBM saat harga minyak meroket naik.
Melemahnya nilai tukar rupiah juga tidak perlu menjadi alasan agar upah pekerja dibatasi kenaikannya, khususnya bagi industry yang berbasis impor. Kewajiban pemerintahlah untuk mengatur dan membatasi secara ketat transaksi valas dan keluar masuknya dolar atau mata uang asing lainnya. Semua pembatasan ini tentu saja tidak berlaku bagi aktivitas dunia usaha.
Kalaupun pembatasan kenaikan upah tersebut tetap dirasa perlu diberlakukan, sebaiknya diterapkan hanya bagi pekerja dengan gaji di atas 5 juta/bulan. Kemampuan mereka untuk bertahan dalam situasi krisis ini jelas jauh lebih besar daripada para pekerja dengan upah minimum yang rata-rata kurang dari 1 juta/bulan. Para pekerja kerah putih ini (white collar workers) pun rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, sehingga dapat melakukan negosiasi yang lebih efektif dengan pihak perusahaan. Dengan catatan policy “diskriminasi” ini berlaku sementara dengan batas waktu yang jelas.
Melindungi kepentingan industry tanpa mengurangi hak-hak mendasar pekerja adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini. Jika hal ini tidak menjadi pegangan dalam menyusun kebijakan industry nasional, maka setiap langkah kebijakan ekonomi akan menempatkan kaum pekerja dan masyarakat miskin sebagai korban. Jika ini yang terjadi, maka kita pun sampai pada kesimpulan yang jelas : bahwa pemerintah ini bukan hanya dokter yang gagal, tapi juga melakukan malpraktek terhadap pasien-pasiennya yang mayoritas miskin.
*Aktifis Serikat Buruh, Caleg DPR RI PBR, Dapil Jateng V
Rabu, 08 Oktober 2008
Jadwal Tahapan Pemilu 2009
Berdasarkan Keputusan KPU No. 9 Tahun 2008, inilah jadwal Pemilihan umum tahun 2009 :
1 TAHAP PENDAFTARAN PEMILIH
− Penyerahan Data Kependudukan 5 April 2008
− Pemuktahiran Data Pemilih 6 April – 6 Juli 2008
− Penyusunan dan Pengesahan DPS 7 Juli 7 Agustus 2008
− Pengumuman DPS 8 -14 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan DPT 11 – 30 September 2008
2 TAHAP PENCALONAN
- PARTAI POLITIK
− Pengumuman Pendaftaran Peserta Pemilu 5 – 6 April 2008
− Pendaftran Parpol Peserta Pemilu 7 April – 12 Mei 2008
− Penelitian Administrasi dan Pengumuman 10 April – 30 Mei 2008
− Verifikasi Faktual 3 Juni – 2 Juli 2008
− Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2009 29 Juni – 3 Juli 2008
− Pengumuman Parpol Peserta Pemilu 2009 5 Juli 2008
- DPR/DPRD
− Pengambilan Formulir Calon Anggota DPR, DPRD 5 – 9 Agustus 2008
− Pengajuan Bakal Calon oleh Parpol 10 – 15 Agustus 2008
− Verifikasi kelengkapan Administratif 11 Agustus -3 Sept 2008
− Penyampaian hasil verifikasi kepada Parpol 12 Agustus – 5 Sept 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPR/DPRD 27 Oktober 2008
- DPD
− Pendaftaran Calon Anggota DPD 27 Juni - 10 Juli 2008
− Penelitian Administratif 2 – 15 Juli 2008
− Verifikasi Faktual 18 Juli – 18 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPD 27 Oktober 2008
3 TAHAP KAMPANYE
− Persiapan Kampanye 2 Januari – 28 Feb 2009
− Pelaksanaan Kampanye 8 Juli - 1 April 2009
− Masa Tenang 2 – 4 April 2009
4 TAHAP PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA
− Pemungutan Suara 5 April 2009
− PPS mengumumkan salinan hasil dari TPS 6 – 7 April 2009
− Rekapitulasi di PPK 7 – 11 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Kab./Kota 11 – 15 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Provinsi 15 – 20 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Pusat 22 April – 5 Mei 2009
5 TAHAP PENETAPAN HASIL
− Penetapan Hasil Pemilu 15 April – 8 April 2009
− Penetapan dan pengumuman calon terpilih 13 – 20 Mei 2008
− Peresmian keanggotaan DPRD Kab./Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD Juni – September 2009
− Pengucapan sumpah/janji Juli – 1 Oktober 2009
1 TAHAP PENDAFTARAN PEMILIH
− Penyerahan Data Kependudukan 5 April 2008
− Pemuktahiran Data Pemilih 6 April – 6 Juli 2008
− Penyusunan dan Pengesahan DPS 7 Juli 7 Agustus 2008
− Pengumuman DPS 8 -14 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan DPT 11 – 30 September 2008
2 TAHAP PENCALONAN
- PARTAI POLITIK
− Pengumuman Pendaftaran Peserta Pemilu 5 – 6 April 2008
− Pendaftran Parpol Peserta Pemilu 7 April – 12 Mei 2008
− Penelitian Administrasi dan Pengumuman 10 April – 30 Mei 2008
− Verifikasi Faktual 3 Juni – 2 Juli 2008
− Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2009 29 Juni – 3 Juli 2008
− Pengumuman Parpol Peserta Pemilu 2009 5 Juli 2008
- DPR/DPRD
− Pengambilan Formulir Calon Anggota DPR, DPRD 5 – 9 Agustus 2008
− Pengajuan Bakal Calon oleh Parpol 10 – 15 Agustus 2008
− Verifikasi kelengkapan Administratif 11 Agustus -3 Sept 2008
− Penyampaian hasil verifikasi kepada Parpol 12 Agustus – 5 Sept 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPR/DPRD 27 Oktober 2008
- DPD
− Pendaftaran Calon Anggota DPD 27 Juni - 10 Juli 2008
− Penelitian Administratif 2 – 15 Juli 2008
− Verifikasi Faktual 18 Juli – 18 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPD 27 Oktober 2008
3 TAHAP KAMPANYE
− Persiapan Kampanye 2 Januari – 28 Feb 2009
− Pelaksanaan Kampanye 8 Juli - 1 April 2009
− Masa Tenang 2 – 4 April 2009
4 TAHAP PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA
− Pemungutan Suara 5 April 2009
− PPS mengumumkan salinan hasil dari TPS 6 – 7 April 2009
− Rekapitulasi di PPK 7 – 11 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Kab./Kota 11 – 15 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Provinsi 15 – 20 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Pusat 22 April – 5 Mei 2009
5 TAHAP PENETAPAN HASIL
− Penetapan Hasil Pemilu 15 April – 8 April 2009
− Penetapan dan pengumuman calon terpilih 13 – 20 Mei 2008
− Peresmian keanggotaan DPRD Kab./Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD Juni – September 2009
− Pengucapan sumpah/janji Juli – 1 Oktober 2009
Rabu, 24 September 2008
Tentang Perubahan dan Sebuah Gerakan
Untuk D I S
seandainya
aku punya mimpi
aku ingin bermimpi
tentang perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku punya gagasan
aku ingin menggagas
perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku punya cerita
aku ingin cerita
tentang perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku berpikir
aku ingin memikirkan
perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku bekerja
aku ingin bekerja
hanya untuk perubahan dan sebuah gerakan
setidak-tidaknya
untuk diriku sendiri
Jakarta, 18 Agustus 2008
oleh : ajsusmana
seandainya
aku punya mimpi
aku ingin bermimpi
tentang perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku punya gagasan
aku ingin menggagas
perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku punya cerita
aku ingin cerita
tentang perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku berpikir
aku ingin memikirkan
perubahan dan sebuah gerakan
seandainya
aku bekerja
aku ingin bekerja
hanya untuk perubahan dan sebuah gerakan
setidak-tidaknya
untuk diriku sendiri
Jakarta, 18 Agustus 2008
oleh : ajsusmana
Minggu, 31 Agustus 2008
Hati-hati dengan Kata-kata
Oleh Dita Indah Sari
Kata adalah senjata,
kata adalah bumerang (Subcomandante Marcos)
Di tengah-tengah meluasnya kegelisahan rakyat yang harap-harap cemas semoga keputusan ini dibatalkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan. Menurut Kalla, jika kenaikan harga BBM batal, sama artinya dengan membatalkan kebijakan pemerintah memberikan bantuan langsung tunai kepada orang miskin. ”Jadi, setiap ada demonstrasi menyatakan tak setuju (kenaikan harga BBM), sama dengan mengurangi rezeki orang miskin” (Kompas, 8/5 halaman 18).
Mulutmu harimaumu, begitu pesan pepatah. Mulailah berhati-hati dengan kata-kata karena cepat atau lambat dapat menuai badai. Dengan kata-kata itu, Wakil Presiden berniat menyampaikan kepada kita bahwa bantuan dari pemerintah hanya berhak diterima rakyat jika harga BBM dinaikkan.
Artinya, rakyat baru berhak dapat sesuatu dari pemerintah setelah pemerintah mengambil sesuatu dari kita. Terima dulu kenaikan ini, baru kemudian bantuan kami kucurkan ke tanganmu. Ini sama artinya pemerintah sejatinya tidak memberikan apa-apa, nol, kosong, hampa.
Ini mirip dengan kebijakan tukar guling atau jual beli yang nilainya pun sama sekali tidak setara. Bagaimana mungkin bisa setara jika Departemen Sosial sendiri menyatakan bahwa efektivitas bantuan langsung tunai (BLT) hanya sekitar 54,96 persen, sementara sekitar 45 persen rumah tangga miskin penerima BLT menyatakan bahwa bantuan itu tidak meringankan biaya hidup mereka yang kian berat pascakenaikan harga BBM sebesar 120 persen awal Oktober 2005?
Adu domba
Pemberian BLT adalah ganti rugi, bukan ganti untung. Persoalan utama negeri ini adalah rendahnya daya beli dan pendapatan untuk dapat hidup layak, maka solusinya adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja bagi puluhan juta orang yang menganggur. BLT sama sekali bukanlah solusi. Apalagi jika peluang untuk menciptakan lapangan kerja itu justru dirusak sendiri oleh kenaikan harga BBM industri yang memukul sektor usaha menengah-bawah.
Pernyataan Wakil Presiden dengan terang benderang menunjukkan kepada kita karakter asli pemerintahan ini. Pemerintah baru mau memberi jika yakin telah ada sesuatu yang diambil dari rakyatnya. Segala bentuk program kesejahteraan sosial adalah kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang memberinya mandat. Kenapa harus menunggu dulu kenaikan harga BBM, listrik, atau pencabutan subsidi-subsidi lainnya?
Rencana kenaikan harga BBM selalu mengundang reaksi. Demonstrasi di berbagai kota sudah merebak. Sungguh tidak senonoh pernyataan yang menyamakan demonstrasi ini dengan upaya mencegah rakyat miskin mendapat rezeki. Tampaknya ini lebih dari sekadar sikap tidak sensitif, tidak peka dan tuli terhadap kegelisahan rakyat atas situasi yang makin pahit.
Pernyataan ini adalah cermin kepanikan dan kekalapan pemerintah sehingga reaksi-reaksi protes yang sesungguhnya wajar terjadi dalam alam demokrasi pun kemudian dicitrakan sedemikian rupa. Untuk membenarkan kebijakannya, pemerintah melalui Wakil Presiden mempertentangkan orang miskin dengan para mahasiswa dan demonstran. Apa belum cukup negeri kita ini dicabik-cabik konflik horizontal, sampai harus ditambah lagi dengan membuat arena konflik baru: demonstran vs orang miskin? Mahasiswa vs orang miskin? Penerima BLT vs penolak kenaikan harga BBM?
Solusi terakhir
Dua kali kenaikan harga minyak dalam pemerintahan SBY- JK (Maret dan Oktober 2005), kata-kata pemerintah selalu sama: ini adalah solusi terakhir. Jika ini yang terakhir, apa solusi mendasar yang pertama? Solusi yang kedua, keempat, ketujuh? Bagaimana berjalannya? Signifikan atau tidak? Kalau gagal, di mana gagalnya? Bagi kita masih gelap.
Banyak sudah alternatif solusi yang disampaikan kepada pemerintah. Presiden menyatakan bahwa dirinya telah membaca ribuan pesan singkat (SMS), artikel, dan opini masyarakat menyangkut kenaikan harga BBM. Sejak kenaikan harga BBM tahun 2005, opsi-opsi lain sudah diajukan kepada pemerintah. Namun, kebijakan tetap bergeming. Apa benar presiden memerhatikan dengan serius masukan dari publik sejak tiga tahun yang lalu?
Mengapa pemerintah tidak pernah menanggapi opsi pengurangan atau penjadwalan pembayaran utang luar negeri untuk menghemat anggaran kita? Mengapa usulan soal perbaikan bagi hasil pertambangan minyak, terutama pengurangan biaya cost recovery, tidak pernah mulai dijalankan? Apa ada upaya serius memberantas korupsi dalam proses produksi dan distribusi minyak, gas, dan listrik? Apakah pemerintah tidak pernah terusik dan malu dengan kenyataan bahwa sebagai negara besar penghasil minyak, keadaan kita malah lebih buruk dibandingkan dengan negara yang miskin sumber daya alam seperti Thailand? Jika konversi energi memang menjadi program pemerintah, mengapa sebagian besar gas alam kita justru dijual ke Jepang?
Daripada membuat komentar yang menyakitkan hati tentang tukar guling yang tidak setara, atau tentang demonstran yang menzalimi rezeki orang miskin, lebih baik opsi-opsi di atas ditanggapi. Namun, jika ternyata memang tak ada lagi hal baik yang tersisa untuk disampaikan, maaf, diam sajalah.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Kata adalah senjata,
kata adalah bumerang (Subcomandante Marcos)
Di tengah-tengah meluasnya kegelisahan rakyat yang harap-harap cemas semoga keputusan ini dibatalkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan. Menurut Kalla, jika kenaikan harga BBM batal, sama artinya dengan membatalkan kebijakan pemerintah memberikan bantuan langsung tunai kepada orang miskin. ”Jadi, setiap ada demonstrasi menyatakan tak setuju (kenaikan harga BBM), sama dengan mengurangi rezeki orang miskin” (Kompas, 8/5 halaman 18).
Mulutmu harimaumu, begitu pesan pepatah. Mulailah berhati-hati dengan kata-kata karena cepat atau lambat dapat menuai badai. Dengan kata-kata itu, Wakil Presiden berniat menyampaikan kepada kita bahwa bantuan dari pemerintah hanya berhak diterima rakyat jika harga BBM dinaikkan.
Artinya, rakyat baru berhak dapat sesuatu dari pemerintah setelah pemerintah mengambil sesuatu dari kita. Terima dulu kenaikan ini, baru kemudian bantuan kami kucurkan ke tanganmu. Ini sama artinya pemerintah sejatinya tidak memberikan apa-apa, nol, kosong, hampa.
Ini mirip dengan kebijakan tukar guling atau jual beli yang nilainya pun sama sekali tidak setara. Bagaimana mungkin bisa setara jika Departemen Sosial sendiri menyatakan bahwa efektivitas bantuan langsung tunai (BLT) hanya sekitar 54,96 persen, sementara sekitar 45 persen rumah tangga miskin penerima BLT menyatakan bahwa bantuan itu tidak meringankan biaya hidup mereka yang kian berat pascakenaikan harga BBM sebesar 120 persen awal Oktober 2005?
Adu domba
Pemberian BLT adalah ganti rugi, bukan ganti untung. Persoalan utama negeri ini adalah rendahnya daya beli dan pendapatan untuk dapat hidup layak, maka solusinya adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja bagi puluhan juta orang yang menganggur. BLT sama sekali bukanlah solusi. Apalagi jika peluang untuk menciptakan lapangan kerja itu justru dirusak sendiri oleh kenaikan harga BBM industri yang memukul sektor usaha menengah-bawah.
Pernyataan Wakil Presiden dengan terang benderang menunjukkan kepada kita karakter asli pemerintahan ini. Pemerintah baru mau memberi jika yakin telah ada sesuatu yang diambil dari rakyatnya. Segala bentuk program kesejahteraan sosial adalah kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang memberinya mandat. Kenapa harus menunggu dulu kenaikan harga BBM, listrik, atau pencabutan subsidi-subsidi lainnya?
Rencana kenaikan harga BBM selalu mengundang reaksi. Demonstrasi di berbagai kota sudah merebak. Sungguh tidak senonoh pernyataan yang menyamakan demonstrasi ini dengan upaya mencegah rakyat miskin mendapat rezeki. Tampaknya ini lebih dari sekadar sikap tidak sensitif, tidak peka dan tuli terhadap kegelisahan rakyat atas situasi yang makin pahit.
Pernyataan ini adalah cermin kepanikan dan kekalapan pemerintah sehingga reaksi-reaksi protes yang sesungguhnya wajar terjadi dalam alam demokrasi pun kemudian dicitrakan sedemikian rupa. Untuk membenarkan kebijakannya, pemerintah melalui Wakil Presiden mempertentangkan orang miskin dengan para mahasiswa dan demonstran. Apa belum cukup negeri kita ini dicabik-cabik konflik horizontal, sampai harus ditambah lagi dengan membuat arena konflik baru: demonstran vs orang miskin? Mahasiswa vs orang miskin? Penerima BLT vs penolak kenaikan harga BBM?
Solusi terakhir
Dua kali kenaikan harga minyak dalam pemerintahan SBY- JK (Maret dan Oktober 2005), kata-kata pemerintah selalu sama: ini adalah solusi terakhir. Jika ini yang terakhir, apa solusi mendasar yang pertama? Solusi yang kedua, keempat, ketujuh? Bagaimana berjalannya? Signifikan atau tidak? Kalau gagal, di mana gagalnya? Bagi kita masih gelap.
Banyak sudah alternatif solusi yang disampaikan kepada pemerintah. Presiden menyatakan bahwa dirinya telah membaca ribuan pesan singkat (SMS), artikel, dan opini masyarakat menyangkut kenaikan harga BBM. Sejak kenaikan harga BBM tahun 2005, opsi-opsi lain sudah diajukan kepada pemerintah. Namun, kebijakan tetap bergeming. Apa benar presiden memerhatikan dengan serius masukan dari publik sejak tiga tahun yang lalu?
Mengapa pemerintah tidak pernah menanggapi opsi pengurangan atau penjadwalan pembayaran utang luar negeri untuk menghemat anggaran kita? Mengapa usulan soal perbaikan bagi hasil pertambangan minyak, terutama pengurangan biaya cost recovery, tidak pernah mulai dijalankan? Apa ada upaya serius memberantas korupsi dalam proses produksi dan distribusi minyak, gas, dan listrik? Apakah pemerintah tidak pernah terusik dan malu dengan kenyataan bahwa sebagai negara besar penghasil minyak, keadaan kita malah lebih buruk dibandingkan dengan negara yang miskin sumber daya alam seperti Thailand? Jika konversi energi memang menjadi program pemerintah, mengapa sebagian besar gas alam kita justru dijual ke Jepang?
Daripada membuat komentar yang menyakitkan hati tentang tukar guling yang tidak setara, atau tentang demonstran yang menzalimi rezeki orang miskin, lebih baik opsi-opsi di atas ditanggapi. Namun, jika ternyata memang tak ada lagi hal baik yang tersisa untuk disampaikan, maaf, diam sajalah.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Rabu, 27 Agustus 2008
PBR: Caleg Aktivis Lebih Baik daripada Artis
JAKARTA, RABU - Sejumlah partai berlomba-lomba menggaet kalangan selebritis untuk dijadikan calon legislatif dalam pemilu 2009. Partai Bintang Reformasi (PBR) justru memilih menjaring aktivis untuk dijadikan caleg.
"Kami memilih aktivis karena mereka itu relatif bersih dan terjun langsung ke lapangan jadi sudah berpengalaman bersentuhan dengan masyarakat," ujarRusman Ali, Sekretaris Jenderal Partai Bintang Reformasi, di sela-sela acara Kompas Political Gathering di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (27/8).
Nama aktivis yang masuk dalam daftar caleg PBR antara lain ativis Serikat Buruh Dita Indah Sari dan Yusuf Lakaseng (Kontras). Rusman mengatakan aktivis lebih dipilih karena menurutnya untuk menjadi caleg yag diukur kinerjanya bukan popularitasnya.
"Meski nama artis mampu mendongkrak popularitas partai, tapi kami tidak mau pakai cara seperti itu," ujarnya.
Ia juga menambahkan kuota caleg perempuan PBR mencapai 44,35 persen dari apa yang diatur Undang-Undang sebesar 30 persen. Untuk Pemilu 2009, PBR mengusung 368 orang caleg, dengan 160 orang caleg perempuan dan 206 caleg laki-laki.
"Kami sadar perempuan itu punya peran penting untuk menggolkan agenda-agenda bangsa untuk menghadapi krisis, semoga harapan ini bisa terwujud," tuturnya.
"Kami memilih aktivis karena mereka itu relatif bersih dan terjun langsung ke lapangan jadi sudah berpengalaman bersentuhan dengan masyarakat," ujarRusman Ali, Sekretaris Jenderal Partai Bintang Reformasi, di sela-sela acara Kompas Political Gathering di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (27/8).
Nama aktivis yang masuk dalam daftar caleg PBR antara lain ativis Serikat Buruh Dita Indah Sari dan Yusuf Lakaseng (Kontras). Rusman mengatakan aktivis lebih dipilih karena menurutnya untuk menjadi caleg yag diukur kinerjanya bukan popularitasnya.
"Meski nama artis mampu mendongkrak popularitas partai, tapi kami tidak mau pakai cara seperti itu," ujarnya.
Ia juga menambahkan kuota caleg perempuan PBR mencapai 44,35 persen dari apa yang diatur Undang-Undang sebesar 30 persen. Untuk Pemilu 2009, PBR mengusung 368 orang caleg, dengan 160 orang caleg perempuan dan 206 caleg laki-laki.
"Kami sadar perempuan itu punya peran penting untuk menggolkan agenda-agenda bangsa untuk menghadapi krisis, semoga harapan ini bisa terwujud," tuturnya.
Sabtu, 16 Agustus 2008
Indonesia: Labour militant Dita Sari to run in 2009 elections
By Vannessa Hearman, 16 August 2008
Indonesian labour activist and chairperson of the Deliberative Council of the National Liberation Party of Unity (Papernas), Dita Sari, has declared that she will run for the Star Reform Party (PBR) in the 2009 legislative elections.Sari and around 40 other Papernas members have declared their intention to contest the elections as part of the PBR.
Sari will occupy the number one position on the party’s candidate list for an electoral district in Central Java that incorporates the towns of Klaten, Boyolali, Sukoharjo and the city of Solo.
According to Indo Pos, the district where Sari will run is a hotly contested area, with other candidates including Puan Maharani, daughter of former president Megawati Sukarnoputri, running for the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and Hidayat Nurwahid, speaker of the People’s Consultative Assembly from the Prosperity and Justice Party (PKS).
Klaten, Boyolali, Sukoharjo and Solo were strongholds of the Indonesian Communist Party (PKI) during the 1950s and ’60s. It was in these areas where the worst massacres in Central Java took place in 1965-66, as General Suharto seized power and physically exterminated the PKI.
Dita Sari’s decision to run under the banner of the PBR, a party that began as an Islamic party, has created controversy. Papernas has been targeted consistently by right-wing Islamic groups, such as the Defenders of Islam Front (FPI), and dubbed the new PKI.
Some Indonesian political commentators have posed the question of how anti-communist forces will respond to this instance of left activists running inside a party that has Islamic origins. It is understood that Papernas has been in negotiations with the PBR leadership since at least 2007 to discuss a joint platform or some form of electoral collaboration in 2009.
PBR
The PBR began as a split from the United Development Party (PPP), a party that was created out of the forced amalgamation of a number of Islamic parties in 1973 and sanctioned by the Suharto’s New Order dictatorship.
The PPP was recognised as one of three parties, alongside Suharto’s Golkar party and the Indonesian Democratic Party (PDI), allowed to exist and run in elections throughout the New Order period.
The key founder of PBR, Zainuddin MZ, an Islamic religious leader with a huge following, was a member of PPP until he and several others left to establish PPP Reformasi in 2002. PPP Reformasi was established in the aftermath of Suharto’s 1998 overthrow, when restrictions to establish and join political parties were lifted.
Zainuddin argued that PPP Reformasi was to be “the smiling party” — leaving behind notions of “political revenge and sins” of the past and intent on reforming the political and economic system of the country.
Zainuddin explained that the party stood against corruption, in favour of justice for the poor and for “clean” politics. At an extraordinary meeting of the party in 2003, its name was changed to PBR, the Star Reform Party. Zainuddin left the PBR last year. Some PBR leaders, such as Bursah Zanubi, have their political origins in the Islamic Students’ Association (HMI).
Sari explained that Papernas would continue to exist and not be liquidated into PBR. She told Indo Pos that she was not perturbed by PBR’s Islamic origins, pointing to the aspects of the PBR program that she agreed with — for example economic independence, free from foreign domination, the abolition of the foreign debt and prioritising development of the rural economy.
She argued that Papernas had made strenuous efforts to meet the requirements to be registered as a party able to participate in the elections, however only 34 parties have successfully met all the bureaucratic requirements to run.
Deputy secretary-general of PBR’s central leadership board, Yusuf Lakaseng, argued that there were common areas of struggle between Papernas and the PBR. He said, “Indeed we are opening ourselves up towards the activist currents”. In the 2004 elections, PBR only achieved 2.5% of the vote but will be aiming for around 7% in these 2009 elections. Lakaseng is confident of achieving this target, as the party now has set up structures throughout the country, compared to four years earlier. The party claims 780,000 members and 60,000 branches.
Youth
According to Lakaseng, himself a former member of the predominantly young People’s Democratic Party (PRD — the left-wing party that helped found Papernas and that Sari is also a leader of), the PBR is prioritising youth candidates. The PBR is putting in place a quota system of 60% for candidates below the age of 40. The party also aims to have women compose 30% of its fielded candidates.
Chairperson Bursah Zanubi said that his party tried to embrace as many young people as possible, with 30 legislative candidates under the age of 30 and a policy of two maximum terms on the leadership board of the party.
On July 12, Zanubi explained to Kompas that his party would focus on the issues of food and constructing an economy oriented to the needs of people and workers. He said that the PBR would campaign through meetings, discussions and gatherings, aiming for 50-100 people at each event.
Sari said that no party was completely “clean”, but that the challenge in Indonesian electoral politics was to “seek the best out of the worst”.
In response to the case of PBR parliamentarian Buylan Royan, who arrested on June 30 under order of the Corruption Eradication Commission, the PBR central leadership board sacked him from the position two days later and declared its willingness to cooperate with the commission’s investigation.
Royan was accused of receiving bribes for procurement of government patrol boats.
Indonesian labour activist and chairperson of the Deliberative Council of the National Liberation Party of Unity (Papernas), Dita Sari, has declared that she will run for the Star Reform Party (PBR) in the 2009 legislative elections.Sari and around 40 other Papernas members have declared their intention to contest the elections as part of the PBR.
Sari will occupy the number one position on the party’s candidate list for an electoral district in Central Java that incorporates the towns of Klaten, Boyolali, Sukoharjo and the city of Solo.
According to Indo Pos, the district where Sari will run is a hotly contested area, with other candidates including Puan Maharani, daughter of former president Megawati Sukarnoputri, running for the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and Hidayat Nurwahid, speaker of the People’s Consultative Assembly from the Prosperity and Justice Party (PKS).
Klaten, Boyolali, Sukoharjo and Solo were strongholds of the Indonesian Communist Party (PKI) during the 1950s and ’60s. It was in these areas where the worst massacres in Central Java took place in 1965-66, as General Suharto seized power and physically exterminated the PKI.
Dita Sari’s decision to run under the banner of the PBR, a party that began as an Islamic party, has created controversy. Papernas has been targeted consistently by right-wing Islamic groups, such as the Defenders of Islam Front (FPI), and dubbed the new PKI.
Some Indonesian political commentators have posed the question of how anti-communist forces will respond to this instance of left activists running inside a party that has Islamic origins. It is understood that Papernas has been in negotiations with the PBR leadership since at least 2007 to discuss a joint platform or some form of electoral collaboration in 2009.
PBR
The PBR began as a split from the United Development Party (PPP), a party that was created out of the forced amalgamation of a number of Islamic parties in 1973 and sanctioned by the Suharto’s New Order dictatorship.
The PPP was recognised as one of three parties, alongside Suharto’s Golkar party and the Indonesian Democratic Party (PDI), allowed to exist and run in elections throughout the New Order period.
The key founder of PBR, Zainuddin MZ, an Islamic religious leader with a huge following, was a member of PPP until he and several others left to establish PPP Reformasi in 2002. PPP Reformasi was established in the aftermath of Suharto’s 1998 overthrow, when restrictions to establish and join political parties were lifted.
Zainuddin argued that PPP Reformasi was to be “the smiling party” — leaving behind notions of “political revenge and sins” of the past and intent on reforming the political and economic system of the country.
Zainuddin explained that the party stood against corruption, in favour of justice for the poor and for “clean” politics. At an extraordinary meeting of the party in 2003, its name was changed to PBR, the Star Reform Party. Zainuddin left the PBR last year. Some PBR leaders, such as Bursah Zanubi, have their political origins in the Islamic Students’ Association (HMI).
Sari explained that Papernas would continue to exist and not be liquidated into PBR. She told Indo Pos that she was not perturbed by PBR’s Islamic origins, pointing to the aspects of the PBR program that she agreed with — for example economic independence, free from foreign domination, the abolition of the foreign debt and prioritising development of the rural economy.
She argued that Papernas had made strenuous efforts to meet the requirements to be registered as a party able to participate in the elections, however only 34 parties have successfully met all the bureaucratic requirements to run.
Deputy secretary-general of PBR’s central leadership board, Yusuf Lakaseng, argued that there were common areas of struggle between Papernas and the PBR. He said, “Indeed we are opening ourselves up towards the activist currents”. In the 2004 elections, PBR only achieved 2.5% of the vote but will be aiming for around 7% in these 2009 elections. Lakaseng is confident of achieving this target, as the party now has set up structures throughout the country, compared to four years earlier. The party claims 780,000 members and 60,000 branches.
Youth
According to Lakaseng, himself a former member of the predominantly young People’s Democratic Party (PRD — the left-wing party that helped found Papernas and that Sari is also a leader of), the PBR is prioritising youth candidates. The PBR is putting in place a quota system of 60% for candidates below the age of 40. The party also aims to have women compose 30% of its fielded candidates.
Chairperson Bursah Zanubi said that his party tried to embrace as many young people as possible, with 30 legislative candidates under the age of 30 and a policy of two maximum terms on the leadership board of the party.
On July 12, Zanubi explained to Kompas that his party would focus on the issues of food and constructing an economy oriented to the needs of people and workers. He said that the PBR would campaign through meetings, discussions and gatherings, aiming for 50-100 people at each event.
Sari said that no party was completely “clean”, but that the challenge in Indonesian electoral politics was to “seek the best out of the worst”.
In response to the case of PBR parliamentarian Buylan Royan, who arrested on June 30 under order of the Corruption Eradication Commission, the PBR central leadership board sacked him from the position two days later and declared its willingness to cooperate with the commission’s investigation.
Royan was accused of receiving bribes for procurement of government patrol boats.
Jumat, 15 Agustus 2008
'Tchuus' Penindasan
Taher Heringuhir
Sudah saatnya buruh bicara soal politik dan kekuasaan. Tidak cukup perjuangan buruh hanya menuntut kenaikan upah, karena sudah terlalu banyak kebijakan ekonomi yang semakin membuat keadaan buruh terpuruk.
Dita Indah Sari, perempuan aktivis buruh hingga kini masih berkoar demi ketidakadilan nasib kaum marjinal ini. Kali ini.bukan lagi berteriak lantang dengan TOA tetapi kini lebih srategis perjuangannya dengan terjun menjadi ketua umum partai politik PRD/Partai Rakyat Demokratik-bukan peserta pemilu 2009-melanjutkan perjuangan Budiman Sudjatmiko dkk.
"Tidak ada artinya lagi bila hanya berkutat pada tuntutan kenaikan gaji. Saatnya buruh bicara kekuasaan agar orang-orang yang duduk di parlemen baik pusat maupun daerah serta yang duduk di kabinet bukan lagi orang-orang yang merugikan kita tapi bersimpati dan punya hati terhadap kita," katanya kepada penulis dua bulan lalu di Plaza Semanggi.
Paparannya sederhana tapi fundamental. Menurut dia, saat ini buruh dan rakyat terpukul oleh tiga kenaikan sekaligus. Pertama, kenaikan harga kebutuhan karbohidrat a.l beras dan tepung.
Kedua, kenaikan harga kebutuhan protein misalnya minyak goreng dan kacang kedelai. Dan ketiga, membumbungnya harga bahan energi semisal minyak tanah dan gas. Sementara kenaikan gaji buruh hanya sekitar 10-15% per tahun. Tentu saja keadaan itu memprihatikan karena buruh tidak bisa mengejar kenaikan harga tersebut.
Menurut dia itu adalah kondisi pertama yang dihadapi buruh hingga konsekuensinya dalam mengejar kekurangan gaji, buruh harus kerja lembur 12 jam, padahal normalnya delapan jam kerja.
"Ini kerja di luar manusia normal tentunya membuka peluang eksploitasi buruh," katanya.
Kondisi kedua adalah terkait sistem kerja. Semua perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourching atau yayasan. Kamis lalu (14/8) ribuan massa dari Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga menentang adanya sistem yayasan itu. Bahkan, perempuan ini menyoroti dunia media massa yang tak luput dari penerapan outsourching.
"Terutama di dunia media, banyak sekali dari mulai wartawan sampai editor masih dikontrak bahkan setelah bekerja selama dua tahun belum diangkat-angkat jadi karyawan, seandainya diputus ya pasti tidak dapat pesangon," lanjut khawatir.
Dita punya keingingan agar pemerintah harus melakukan perlindungan terhadap industri terutama nasib buruh lantaran jumlah buruh yang di PHK atau dipekerjakan dengan sistem kontrak mulai bertambah, terus dan terus.
Dia mewakili Partai Rakyat Demokratik ingin menyatakan bahwa kinerja kepemimpinan Presiden SBY sekarang tidak maksimal lantaran konsidi kerja semakin buruk.
Sebenarnya bila PRD mampu menjadi salah satu peserta pemilu 2009 dia mengatakan target jangka panjang adalah menekan pemerintah agar mengupayakan berbagai hal untuk melindungi industri dalam negeri. Dia menyanggah bahwa buruh anti terhadap pengusaha atau industri.
"Jangan dianggap buruh itu anti terhadap industri atau pengusaha. Kami menganggap kalau industri kita mati atau sakit maka yang paling menderita adalah buruh. Padahal buruh yang bekerja jumlahnya besar, kontribusi buat ekonomi juga besar karena mereka membayar pajak. Buruh ikut membangun peradaban, tapi mereka tidak dihargai sama sekali, itu yang kami perjuangkan sejak tahun 90-an," tegasnya.
Aktifis yang pernah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan di Malang dan Tangerang ini mengharapkan semoga harga BBM stabil serta tarif listrik juga harus murah agar urat nadi industri di Indonesia dapat lebih efisien dan kompetitif.
Kesetaraan Perempuan
Ditanya mengenai kondisi perempuan di Indonesia, Dita mengatakan ada dua kunci dalam proses penyetaraan peran perempuan. Pertama, perbaikan ekonomi sehingga semakin banyak perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Kedua, kontribusi media massa dalam penulisan tema-tema perempuan.
"Saya fikir dalam hal ini sosialisasi ke tengah-tengah masyarakat tanpa diikuti sosialisasi di media massa akan sangat tidak efektif. Wartawan-wartawan dari pers harus kita rangkul mengenai keserataraan gender, sehingga ketika mereka menulis maka pemikiran yang tertuang akan lebih adil, tidak melihat semata-mata fisiknya yang lemah lebut," ujarnya.
Dia mengungkapkan pekerja media juga menjadi bagian dari proses demokrasi bangsa ini oleh karena itu bila media melakukan pencitraan yang buruk terhadap wanita PRD akan mengkritik dan memberi masukan.
Menanggapi penghargaan yang diberikan padanya sebagai satu dari 10 perempuan Indonesia yang berprestasi, dia mengatakan penghargaan tersebut sebenarnya bukan untuknya.
Secara personifikasi memang dia yang mendapatkan namun menurut dia itu adalah pertanda pergerakan buruh kini bisa diterima di masyarakat menengah ke atas, bukan merupakan lagu gerakan yang menakutkan. Tentu saja dia sumringah ketika penulis mengucapkan selamat kepadanya.
Diambil dari : http://tahersaleh.blogspot.com
Sudah saatnya buruh bicara soal politik dan kekuasaan. Tidak cukup perjuangan buruh hanya menuntut kenaikan upah, karena sudah terlalu banyak kebijakan ekonomi yang semakin membuat keadaan buruh terpuruk.
Dita Indah Sari, perempuan aktivis buruh hingga kini masih berkoar demi ketidakadilan nasib kaum marjinal ini. Kali ini.bukan lagi berteriak lantang dengan TOA tetapi kini lebih srategis perjuangannya dengan terjun menjadi ketua umum partai politik PRD/Partai Rakyat Demokratik-bukan peserta pemilu 2009-melanjutkan perjuangan Budiman Sudjatmiko dkk.
"Tidak ada artinya lagi bila hanya berkutat pada tuntutan kenaikan gaji. Saatnya buruh bicara kekuasaan agar orang-orang yang duduk di parlemen baik pusat maupun daerah serta yang duduk di kabinet bukan lagi orang-orang yang merugikan kita tapi bersimpati dan punya hati terhadap kita," katanya kepada penulis dua bulan lalu di Plaza Semanggi.
Paparannya sederhana tapi fundamental. Menurut dia, saat ini buruh dan rakyat terpukul oleh tiga kenaikan sekaligus. Pertama, kenaikan harga kebutuhan karbohidrat a.l beras dan tepung.
Kedua, kenaikan harga kebutuhan protein misalnya minyak goreng dan kacang kedelai. Dan ketiga, membumbungnya harga bahan energi semisal minyak tanah dan gas. Sementara kenaikan gaji buruh hanya sekitar 10-15% per tahun. Tentu saja keadaan itu memprihatikan karena buruh tidak bisa mengejar kenaikan harga tersebut.
Menurut dia itu adalah kondisi pertama yang dihadapi buruh hingga konsekuensinya dalam mengejar kekurangan gaji, buruh harus kerja lembur 12 jam, padahal normalnya delapan jam kerja.
"Ini kerja di luar manusia normal tentunya membuka peluang eksploitasi buruh," katanya.
Kondisi kedua adalah terkait sistem kerja. Semua perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourching atau yayasan. Kamis lalu (14/8) ribuan massa dari Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga menentang adanya sistem yayasan itu. Bahkan, perempuan ini menyoroti dunia media massa yang tak luput dari penerapan outsourching.
"Terutama di dunia media, banyak sekali dari mulai wartawan sampai editor masih dikontrak bahkan setelah bekerja selama dua tahun belum diangkat-angkat jadi karyawan, seandainya diputus ya pasti tidak dapat pesangon," lanjut khawatir.
Dita punya keingingan agar pemerintah harus melakukan perlindungan terhadap industri terutama nasib buruh lantaran jumlah buruh yang di PHK atau dipekerjakan dengan sistem kontrak mulai bertambah, terus dan terus.
Dia mewakili Partai Rakyat Demokratik ingin menyatakan bahwa kinerja kepemimpinan Presiden SBY sekarang tidak maksimal lantaran konsidi kerja semakin buruk.
Sebenarnya bila PRD mampu menjadi salah satu peserta pemilu 2009 dia mengatakan target jangka panjang adalah menekan pemerintah agar mengupayakan berbagai hal untuk melindungi industri dalam negeri. Dia menyanggah bahwa buruh anti terhadap pengusaha atau industri.
"Jangan dianggap buruh itu anti terhadap industri atau pengusaha. Kami menganggap kalau industri kita mati atau sakit maka yang paling menderita adalah buruh. Padahal buruh yang bekerja jumlahnya besar, kontribusi buat ekonomi juga besar karena mereka membayar pajak. Buruh ikut membangun peradaban, tapi mereka tidak dihargai sama sekali, itu yang kami perjuangkan sejak tahun 90-an," tegasnya.
Aktifis yang pernah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan di Malang dan Tangerang ini mengharapkan semoga harga BBM stabil serta tarif listrik juga harus murah agar urat nadi industri di Indonesia dapat lebih efisien dan kompetitif.
Kesetaraan Perempuan
Ditanya mengenai kondisi perempuan di Indonesia, Dita mengatakan ada dua kunci dalam proses penyetaraan peran perempuan. Pertama, perbaikan ekonomi sehingga semakin banyak perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Kedua, kontribusi media massa dalam penulisan tema-tema perempuan.
"Saya fikir dalam hal ini sosialisasi ke tengah-tengah masyarakat tanpa diikuti sosialisasi di media massa akan sangat tidak efektif. Wartawan-wartawan dari pers harus kita rangkul mengenai keserataraan gender, sehingga ketika mereka menulis maka pemikiran yang tertuang akan lebih adil, tidak melihat semata-mata fisiknya yang lemah lebut," ujarnya.
Dia mengungkapkan pekerja media juga menjadi bagian dari proses demokrasi bangsa ini oleh karena itu bila media melakukan pencitraan yang buruk terhadap wanita PRD akan mengkritik dan memberi masukan.
Menanggapi penghargaan yang diberikan padanya sebagai satu dari 10 perempuan Indonesia yang berprestasi, dia mengatakan penghargaan tersebut sebenarnya bukan untuknya.
Secara personifikasi memang dia yang mendapatkan namun menurut dia itu adalah pertanda pergerakan buruh kini bisa diterima di masyarakat menengah ke atas, bukan merupakan lagu gerakan yang menakutkan. Tentu saja dia sumringah ketika penulis mengucapkan selamat kepadanya.
Diambil dari : http://tahersaleh.blogspot.com
Kamis, 14 Agustus 2008
Dita: PBR Berani Menerima Papernas
Kamis, 14 Agustus 2008, 10:44:18 WIB
Laporan: Teguh Santosa
Jakarta, myRMnews. Mantan Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Dita Indah Sari tercatat sebagai calon legislatif dari Partai Bintang Reformasi (PBR).
Sebelum menerima tawaran sebagai caleg dari PBR, Dita mendapatkan tawaran dari berbagai parpol, termasuk PDI Perjuangan.
Menurut Dita, banyak faktor mengapa dirinya menerima tawaran nyaleg dari partai pimpinan Bursah Zarnubi tersebut.
“Banyak pertimbangan yang saya ambil, termasuk PBR menerima jaringan yang saya bawa,” katanya kepada myRMnews, Kamis (14/8).
Sebelumnya, Dita tercatat sebagai salah satu ketua dan pencetus Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Partai ini merupakan partai jaringan aktivis buruh dari FNPBI dan mahasiswa (LMND/Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi). Aktivis Papernas juga bekas aktivis Partai Rakyat Demokratik pimpinan Budiman Sujatmiko saat itu.
Kata Dita, salah satu pertimbangan penting mengapa dirinya menerima tawaran PBR adalah karena PBR berani menerima jaringan Papernas di 23 provinsi di Indonesia.
“Kalau partai lainnya, hanya menerima saya sebagai pribadi, tetapi tidak mengakomodasi kepentingan Papernas,” katanya.
Dita dicalonkan pada daerah pemilihan V Jawa Tengah. Dapil ini dikenal sebagai dapil neraka, karena tokoh-tokoh terkemuka parpol juga tercatat sebagai caleg pada dapil ini, seperti Puan Maharani dari PDIP dan Hidayat Nur Wahid dari PKS. [min]
Diambil dari : http://www.myrmnews.com
Laporan: Teguh Santosa
Jakarta, myRMnews. Mantan Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Dita Indah Sari tercatat sebagai calon legislatif dari Partai Bintang Reformasi (PBR).
Sebelum menerima tawaran sebagai caleg dari PBR, Dita mendapatkan tawaran dari berbagai parpol, termasuk PDI Perjuangan.
Menurut Dita, banyak faktor mengapa dirinya menerima tawaran nyaleg dari partai pimpinan Bursah Zarnubi tersebut.
“Banyak pertimbangan yang saya ambil, termasuk PBR menerima jaringan yang saya bawa,” katanya kepada myRMnews, Kamis (14/8).
Sebelumnya, Dita tercatat sebagai salah satu ketua dan pencetus Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Partai ini merupakan partai jaringan aktivis buruh dari FNPBI dan mahasiswa (LMND/Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi). Aktivis Papernas juga bekas aktivis Partai Rakyat Demokratik pimpinan Budiman Sujatmiko saat itu.
Kata Dita, salah satu pertimbangan penting mengapa dirinya menerima tawaran PBR adalah karena PBR berani menerima jaringan Papernas di 23 provinsi di Indonesia.
“Kalau partai lainnya, hanya menerima saya sebagai pribadi, tetapi tidak mengakomodasi kepentingan Papernas,” katanya.
Dita dicalonkan pada daerah pemilihan V Jawa Tengah. Dapil ini dikenal sebagai dapil neraka, karena tokoh-tokoh terkemuka parpol juga tercatat sebagai caleg pada dapil ini, seperti Puan Maharani dari PDIP dan Hidayat Nur Wahid dari PKS. [min]
Diambil dari : http://www.myrmnews.com
Selasa, 12 Agustus 2008
Dita Siap Bersaing di ‘Grup Neraka’
SEMARANG —Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) Dita Indah Sari siap maju menjadi anggota DPR RI. Pada pemilu 2009, Dita maju setelah dicalonkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di daerah pemilihan Jateng V meliputi Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Kota Surakarta.
”Saya akan maju di Jateng V. Ibarat sepakbola piala Eropa, Jateng V termasuk grup neraka” tutur Dita kepada Radar Semarang usai pembukaan musya-warah kerja wilayah I DPW PBR Jateng di GOR Satria.
Wilayah Jateng V memang bsia dikatakan sebagai ’grup neraka’ Banyak nama-nama beken yang akan bertarung memperebutkan jatah 8 kursi di DP Jateng V. Seperti putri mantan presiden Megawati, Puan Maharani (PDIP), ketua MPR Hidayat Nur Wahid (PKS), pebulutangkis Icuk Su-giarto (PPP), artis Tamara Geraldine (PDS), putri sulung mantan presiden Soeharto Siti Hardiyati Indra Rukmana atau Mbak Tutut (PKPB), dan GKR Wandansari atau Gusti Moeng (PD).
Mantan tahanan politik di era orde baru ini memilih bergabung dengan PBR setelah Papernas gagal menjadi peserta pemilu. Berulangkali aktivis dan kegiatan Papernas mendapat gangguan secara fisik oleh kelompok tertentu karena dicap sebagai partai yang kekiri-kirian. Mengapa Dita akhirnya memilih bergabung dengan PBR yang berasas Islam? Dita tidak mempersoalkan hal itu. Sebab, banyak program PBR yang sejalan dengan idealismenya.
“Garis perjuangan PBR mirip dengan kami, seperti kemandirian ekonomi yang tidak bergantung kepada pihak asing, penghapusan utang luar negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas,” tuturnya.
Ketua Umum DPP PBR Bursah Zarnubi menjelaskan, pihaknya tidak ikut-ikutan partai lain yang memasang artis sebagai caleg. “Kami lebih memilih aktivis daripada artis,” tuturnya.
Dengan memasang aktivis, dalam pemilu 2009 PBR me-nargetkan bisa meraup 7 persen suara.
”Saya akan maju di Jateng V. Ibarat sepakbola piala Eropa, Jateng V termasuk grup neraka” tutur Dita kepada Radar Semarang usai pembukaan musya-warah kerja wilayah I DPW PBR Jateng di GOR Satria.
Wilayah Jateng V memang bsia dikatakan sebagai ’grup neraka’ Banyak nama-nama beken yang akan bertarung memperebutkan jatah 8 kursi di DP Jateng V. Seperti putri mantan presiden Megawati, Puan Maharani (PDIP), ketua MPR Hidayat Nur Wahid (PKS), pebulutangkis Icuk Su-giarto (PPP), artis Tamara Geraldine (PDS), putri sulung mantan presiden Soeharto Siti Hardiyati Indra Rukmana atau Mbak Tutut (PKPB), dan GKR Wandansari atau Gusti Moeng (PD).
Mantan tahanan politik di era orde baru ini memilih bergabung dengan PBR setelah Papernas gagal menjadi peserta pemilu. Berulangkali aktivis dan kegiatan Papernas mendapat gangguan secara fisik oleh kelompok tertentu karena dicap sebagai partai yang kekiri-kirian. Mengapa Dita akhirnya memilih bergabung dengan PBR yang berasas Islam? Dita tidak mempersoalkan hal itu. Sebab, banyak program PBR yang sejalan dengan idealismenya.
“Garis perjuangan PBR mirip dengan kami, seperti kemandirian ekonomi yang tidak bergantung kepada pihak asing, penghapusan utang luar negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas,” tuturnya.
Ketua Umum DPP PBR Bursah Zarnubi menjelaskan, pihaknya tidak ikut-ikutan partai lain yang memasang artis sebagai caleg. “Kami lebih memilih aktivis daripada artis,” tuturnya.
Dengan memasang aktivis, dalam pemilu 2009 PBR me-nargetkan bisa meraup 7 persen suara.
Senin, 11 Agustus 2008
Kuota 30 Persen Caleg Perempuan:Faktor Eksternal Menghambat
[JAKARTA] Perempuan Indonesia sebetulnya memiliki kapabilitas untuk berkiprah ke dunia politik dengan menjadi anggota legislatif. Namun, langkah tersebut dihambat sejumlah faktor eksternal, seperti budaya maskulin dalam partai politik, dana, dan keluarga. Kondisi tersebut menyulitkan parpol memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan.
Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)
Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.
Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.
Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.
Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.
Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.
Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.
Tak Serius
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.
Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.
Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.
Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.
Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]
Sumber : Suara Pembaruan
Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)
Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.
Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.
Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.
Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.
Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.
Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.
Tak Serius
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.
Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.
Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.
Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.
Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]
Sumber : Suara Pembaruan
Sabtu, 09 Agustus 2008
Faktor Eksternal Menghambat
[JAKARTA] Perempuan Indonesia sebetulnya memiliki kapabilitas untuk berkiprah ke dunia politik dengan menjadi anggota legislatif. Namun, langkah tersebut dihambat sejumlah faktor eksternal, seperti budaya maskulin dalam partai politik, dana, dan keluarga. Kondisi tersebut menyulitkan parpol memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan.
Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)
Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.
Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.
Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.
Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.
Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.
Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.
Tak Serius
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.
Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.
Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.
Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.
Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]
Sumber: suara pembaruan
Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)
Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.
Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.
Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.
Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.
Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.
Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.
Tak Serius
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.
Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.
Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.
Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.
Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]
Sumber: suara pembaruan
Jumat, 08 Agustus 2008
Kuota Caleg Muda PBR 60 Persen
Jakarta–Partai Bintang Reformasi (PBR) memprioritaskan calon anggota legislatif dari kalangan muda. Sebanyak 60 persen caleg PBR berusia di bawah 40 tahun. Sisanya untuk caleg berusia di bawah 50 tahun dan di atas 50 tahun. Namun, mayoritas dari kalangan muda.
“PBR menyediakan kuota yang banyak bagi orang-orang muda,” kata Dita Indah Sari kepada SH di Jakarta, Kamis (7/8). Sebelumnya, Dita menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Partai di Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas).
Namun, setelah Papernas tak lolos verifikasi, Dita bergabung dengan PBR. Dita akan dijadikan caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V. Dita mengatakan PBR memang menerapkan beberapa prinsip yang mengutamakan orang muda di dalam peraturan internal partainya. “Salah satunya adalah aturan yang mengharuskan bahwa kader PBR yang sudah dua periode menjabat di eksekutif partai, tidak diperbolehkan menjabat lagi,” kata Dita.
Selain konsisten di dalam merekrut caleg muda, Dita juga melihat PBR merupakan partai yang pro rakyat. “Karenanya, saya tidak melihat bahwa PBR ini partai yang berasaskan Islam atau bukan, tetapi ada banyak persamaan gagasan antara saya dengan PBR,” jelasnya.
Gagasan itu, seperti penghapusan hutang luar negeri, kemandirian negara tanpa harus tergantung dari hutang luar negeri, dan konsentrasi pembangunan terhadap pedesaan dan kaum muda.
“PBR menyediakan kuota yang banyak bagi orang-orang muda,” kata Dita Indah Sari kepada SH di Jakarta, Kamis (7/8). Sebelumnya, Dita menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Partai di Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas).
Namun, setelah Papernas tak lolos verifikasi, Dita bergabung dengan PBR. Dita akan dijadikan caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V. Dita mengatakan PBR memang menerapkan beberapa prinsip yang mengutamakan orang muda di dalam peraturan internal partainya. “Salah satunya adalah aturan yang mengharuskan bahwa kader PBR yang sudah dua periode menjabat di eksekutif partai, tidak diperbolehkan menjabat lagi,” kata Dita.
Selain konsisten di dalam merekrut caleg muda, Dita juga melihat PBR merupakan partai yang pro rakyat. “Karenanya, saya tidak melihat bahwa PBR ini partai yang berasaskan Islam atau bukan, tetapi ada banyak persamaan gagasan antara saya dengan PBR,” jelasnya.
Gagasan itu, seperti penghapusan hutang luar negeri, kemandirian negara tanpa harus tergantung dari hutang luar negeri, dan konsentrasi pembangunan terhadap pedesaan dan kaum muda.
Minggu, 03 Agustus 2008
Dita Indah Sari Jadi Caleg PBR
Satu Dapil dengan Puan Maharani dan Hidayat Nurwahid
JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Persatuan Pembebasan
Nasional (Papernas) Dita Indah Sari memutuskan menjadi caleg dari
Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berasas Islam. Aktivis buruh itu
mendapat nomor urut satu di daerah pemilihan (dapil) Jateng V yang
meliputi Klaten, Boyolali, Sukoharjo, dan Kota Solo.
Dapil Jateng V termasuk "zona panas" dalam Pemilu 2009. Sebab,
sejumlah tokoh penting partai lain juga memastikan diri ikut
berkompetisi di dapil itu. Mereka, misalnya, Puan Maharani -putri
Megawati Soekarnoputri- (PDI Perjuangan), Ketua MPR Hidayat Nurwahid
(PKS), atlet bulu tangkis senior Icuk Sugiarto (PPP), dan GKR
Wandansari atau Gusti Mung (Partai Demokrat).
"Dita memang bukan orang Jateng. Tapi, suaminya yang Jateng," kata
Wakil Sekjen DPP PBR Yusuf Lakaseng setelah launching nomor urut 29
PBR dalam Pemilu 2009 di Kantor DPP PBR, Tebet, Jakarta Selatan,
kemarin (2/8).
Menurut dia, direkrutnya Dita sebagai caleg PBR karena adanya kesamaan
segmentasi perjuangan PBR dengan Dita yang juga mantan ketua umum
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) itu. "Kami
memang membuka diri terhadap kalangan aktivis," ujarnya.
Apalagi, imbuh Yusuf, partainya juga memprioritaskan tokoh-tokoh muda
yang usianya masih di bawah 40 tahun. Kuota yang dipatok juga nggak
main-main, yaitu mencapai 60 persen dari total caleg PBR. "Ini untuk
mendorong percepatan regenerasi politik," tegasnya.
Dita Indah Sari yang lahir di Medan pada 30 Desember 1972, contohnya,
kata Yusuf, baru berusia 36 tahun.
Yusuf menambahkan, pada Pemilu 2004 lalu, PBR hanya mendapat 2,7
persen suara. Untuk Pemilu 2009, lanjutnya, PBR berani mematok target
minimal 7 persen suara. "Soalnya, struktur partai kami sekarang sudah
terbangun di seluruh provinsi se-Indonesia, " kata Yusuf yang menjadi
caleg dari dapil Sulawesi Tengah itu.
Ketika dikonfirmasi, Dita Indah Sari membenarkan bahwa dirinya menjadi
caleg PBR di dapil Jateng. Tidak khawatir harus bersaing dengan
sederet nama tokoh-tokoh populer dari partai lain? "Bagi saya, justru
ini tantangan besar," jawabnya, lantas tertawa.
Dita mengaku tidak mempersoalkan PBR yang berasas Islam. Sebab, banyak
program PBR yang sejalan dengannya. Misalnya, kemandirian ekonomi yang
tidak bergantung kepada pihak asing, opsi penghapusan utang luar
negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas. "Saya
melihat PBR sebagai partai yang mencoba mengenalkan asas Islam dalam
pengertian yang lebih terbuka," ujarnya.
Apalagi, imbuh Dita, dalam pemilu mendatang, PBR menerapkan sistem
suara terbanyak sebagai penetapan caleg terpilih. "Meksipun belum
sempurna dan nggak mungkin ada partai yang sempurna, semua ini bisa
memberikan rasa nyaman kepada kami," kata peraih penghargaan Ramon
Magsaysay Award tahun 2001 itu.
Lantas, bagaimana dengan Papernas? "Eksistensi Papernas tetap ada,
nggak hilang dan nggak lebur ke PBR," tegasnya.
Ketua DPP PBR Bursah Zarnubi menyampaikan, partainya berupaya
merangkul kaum muda sebanyak-banyaknya. Bahkan, 30 caleg PBR,
ungkapnya, masih berusia di bawah 30 tahun. Hanya ada kuota 15-20
persen untuk caleg yang berusia di atas 50 tahun. "Pemilih pemula
harus melek politik. Jangan sampai partai ini jadi oligarki," katanya.
Menyangkut agenda konvensi capres yang akan dilakukan PBR, Bursah
menegaskan, fungsionaris DPP, termasuk dirinya, tidak diperbolehkan
mengikuti konvensi. "Biar adil dan fair sehingga orang nggak ragu-ragu
dengan komitmen PBR. Kalau ada orang PBR yang maju, pasti ada sentimen
internal," bebernya.
Dalam acara launching nomor urut 29 dari PBR, turut hadir Wakil Ketua
Umum Raden Muhammad Syafi'i dan Sekretaris Jenderal PBR Rusman Ali.
Acara tersebut ikut diramaikan artis Dewi Yul dan Franky Sahilatua.
Dewi kabarnya tengah "dirayu" PBR untuk menjadi salah satu calegnya.
Politisi senior Partai Golkar yang juga mantan Ketua DPR Akbar
Tandjung juga datang belakangan. (pri)
diambil dari : www.indopos.co.id
JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Persatuan Pembebasan
Nasional (Papernas) Dita Indah Sari memutuskan menjadi caleg dari
Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berasas Islam. Aktivis buruh itu
mendapat nomor urut satu di daerah pemilihan (dapil) Jateng V yang
meliputi Klaten, Boyolali, Sukoharjo, dan Kota Solo.
Dapil Jateng V termasuk "zona panas" dalam Pemilu 2009. Sebab,
sejumlah tokoh penting partai lain juga memastikan diri ikut
berkompetisi di dapil itu. Mereka, misalnya, Puan Maharani -putri
Megawati Soekarnoputri- (PDI Perjuangan), Ketua MPR Hidayat Nurwahid
(PKS), atlet bulu tangkis senior Icuk Sugiarto (PPP), dan GKR
Wandansari atau Gusti Mung (Partai Demokrat).
"Dita memang bukan orang Jateng. Tapi, suaminya yang Jateng," kata
Wakil Sekjen DPP PBR Yusuf Lakaseng setelah launching nomor urut 29
PBR dalam Pemilu 2009 di Kantor DPP PBR, Tebet, Jakarta Selatan,
kemarin (2/8).
Menurut dia, direkrutnya Dita sebagai caleg PBR karena adanya kesamaan
segmentasi perjuangan PBR dengan Dita yang juga mantan ketua umum
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) itu. "Kami
memang membuka diri terhadap kalangan aktivis," ujarnya.
Apalagi, imbuh Yusuf, partainya juga memprioritaskan tokoh-tokoh muda
yang usianya masih di bawah 40 tahun. Kuota yang dipatok juga nggak
main-main, yaitu mencapai 60 persen dari total caleg PBR. "Ini untuk
mendorong percepatan regenerasi politik," tegasnya.
Dita Indah Sari yang lahir di Medan pada 30 Desember 1972, contohnya,
kata Yusuf, baru berusia 36 tahun.
Yusuf menambahkan, pada Pemilu 2004 lalu, PBR hanya mendapat 2,7
persen suara. Untuk Pemilu 2009, lanjutnya, PBR berani mematok target
minimal 7 persen suara. "Soalnya, struktur partai kami sekarang sudah
terbangun di seluruh provinsi se-Indonesia, " kata Yusuf yang menjadi
caleg dari dapil Sulawesi Tengah itu.
Ketika dikonfirmasi, Dita Indah Sari membenarkan bahwa dirinya menjadi
caleg PBR di dapil Jateng. Tidak khawatir harus bersaing dengan
sederet nama tokoh-tokoh populer dari partai lain? "Bagi saya, justru
ini tantangan besar," jawabnya, lantas tertawa.
Dita mengaku tidak mempersoalkan PBR yang berasas Islam. Sebab, banyak
program PBR yang sejalan dengannya. Misalnya, kemandirian ekonomi yang
tidak bergantung kepada pihak asing, opsi penghapusan utang luar
negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas. "Saya
melihat PBR sebagai partai yang mencoba mengenalkan asas Islam dalam
pengertian yang lebih terbuka," ujarnya.
Apalagi, imbuh Dita, dalam pemilu mendatang, PBR menerapkan sistem
suara terbanyak sebagai penetapan caleg terpilih. "Meksipun belum
sempurna dan nggak mungkin ada partai yang sempurna, semua ini bisa
memberikan rasa nyaman kepada kami," kata peraih penghargaan Ramon
Magsaysay Award tahun 2001 itu.
Lantas, bagaimana dengan Papernas? "Eksistensi Papernas tetap ada,
nggak hilang dan nggak lebur ke PBR," tegasnya.
Ketua DPP PBR Bursah Zarnubi menyampaikan, partainya berupaya
merangkul kaum muda sebanyak-banyaknya. Bahkan, 30 caleg PBR,
ungkapnya, masih berusia di bawah 30 tahun. Hanya ada kuota 15-20
persen untuk caleg yang berusia di atas 50 tahun. "Pemilih pemula
harus melek politik. Jangan sampai partai ini jadi oligarki," katanya.
Menyangkut agenda konvensi capres yang akan dilakukan PBR, Bursah
menegaskan, fungsionaris DPP, termasuk dirinya, tidak diperbolehkan
mengikuti konvensi. "Biar adil dan fair sehingga orang nggak ragu-ragu
dengan komitmen PBR. Kalau ada orang PBR yang maju, pasti ada sentimen
internal," bebernya.
Dalam acara launching nomor urut 29 dari PBR, turut hadir Wakil Ketua
Umum Raden Muhammad Syafi'i dan Sekretaris Jenderal PBR Rusman Ali.
Acara tersebut ikut diramaikan artis Dewi Yul dan Franky Sahilatua.
Dewi kabarnya tengah "dirayu" PBR untuk menjadi salah satu calegnya.
Politisi senior Partai Golkar yang juga mantan Ketua DPR Akbar
Tandjung juga datang belakangan. (pri)
diambil dari : www.indopos.co.id
Kamis, 19 Juni 2008
Laksanakan Angket atau DPR Diduduki
SATU SUARA — Mantan Ketua MPR Amien Rais didampingi mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli (kanan) dan fungsionaris PDI Perjuangan Rieke ’Oneng’ Dyah Pitaloka (kiri) memberikan pernyataan sikap tentang angket dan interpelasi harga kebutuhan pokok pada acara yang digagas Komite Bangkit Indonesia di Hotel Bumi Karsa, Rabu (18/6).
”Rakyat bergerak, kita akan kontrol realisasi hak angket untuk pertangungjawabkan kenaikan harga BBM, kita segera demo lagi,” kata aktivis pergerakan, Wahab Talaohu.
Wahab menyatakan, konsolidasi telah dilakukan oleh aktivis dan segala kemungkinan akan bisa terjadi. ”Kalau sampai DPR seperti sebelum ini mandul, maka kita akan bergerak ke sana. Kita minta angket dilaksanakan karena itu akan membongkar jaringan mafia, yang selama ini menjerumuskan Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Keluarga Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Taufik, menyatakan, apa yang terjadi adalah sebuah penghinaan besar. ”Di tengah ramainya unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, pemerintah justeru mempercepat kenaikan harga BBM, yang menjadi bahan bakar buat intensitas gerakan,” katanya.
Fakta lainnya, kata Taufik, terkait dengan pernyataan Wapres Muhammad Jusuf Kalla, yang menyatakan, cukup dua minggu ada demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. ”Setelah itu kita ketahui, insiden 1 Juni telah mengubah konstelasi gerakan, yang awalnya adalah vertikal dijadikan horisontal, itu sungguh menghina!” katanya.
Aktivis lainnya, Kasino, menyatakan, kenaikan harga BBM mengurai dengan jelas bagaimana negeri ini dijajah asing. ”SBY bukan Presiden, tapi dia Gubernur Jenderal yang ditempatkan AS di Indonesia. Meski kita tidak begitu percaya bahwa hak angket bisa jalan, itu ikhtiar, kita dorong DPR melaksanakannya,” katanya.
Setelah ini, kata Kasino, melalui berbagai elemen, aksi akan kembali dilakukan. ”Bersatunya mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan tokoh bangsa untuk menghentikan kerusakan karena selama Indonesia di bawah Gubernur Jenderal SBY, negeri ini akan rusak. Kita segera datang beraksi ke DPR untuk secepatnya menghentikan pemerintah Gubernur Jenderal AS itu,” katanya.
Ketua Komite Bangkit Indonesia, Rizal Ramli, menyatakan, kenaikan harga BBM sudah keterlaluan. ”Banyak cara, tapi kenaikan harga BBM dilakukan, sesuai data target makro ekonomi tahunan dan lima tahunan tidak tercapai, kehidupan mayoritas rakyat semakin sulit, daya beli merosot, pengangguran makin tinggi, infrastruktur hanya 10 persen dikerjakan, akibatnya lapangan kerja rendah, kesulitan rakyat makin berat, bunuh diri makin banyak, tapi mengapa pilih kenaikan harga BBM,” katanya seraya menyatakan bahwa tingginya kemiskinan menjadikan tanah subur tumbuhnya radikalisme.
Sejumlah tokoh yang berkumpul di tempat itu di antaranya mantan Ketua MPR Amien Rais, Ketua Umum Papernas Dita Indah Sari, Ketua Umum LMND Lalu Hilman Afriandi, anggota DPR Dradjad Wibowo, pengamat Ichsanuddin Noorsy, pengamat Hendri Saparini, Ketua Lima Ray Rangkuti. ”Masih ada Wiranto, Pramono Anung, dan Gus Dur. Tapi karena terlambat, mereka tidak muncul, tapi mendukung upaya ini,” kata juru bicara Komite Bangkit Indonesia, Adhie Massardi.
Para tokoh itu sepakat untuk mendorong dilaksanakannya angket BBM dan kenaikan Harga oleh DPR. Kedua hak DPR itu sebaiknya sama-sama dilaksanakan. ”Saya mendorong agar interpelasi dan angket sama-sama direalisasikan DPR. Pengajuan angket diusung PKB, PDI Perjuangan, dan PAN. Interpelasi diusung PKS, saya minta keduanya dilaksanakan oleh DPR,” kata Dradjad. (moe)
”Rakyat bergerak, kita akan kontrol realisasi hak angket untuk pertangungjawabkan kenaikan harga BBM, kita segera demo lagi,” kata aktivis pergerakan, Wahab Talaohu.
Wahab menyatakan, konsolidasi telah dilakukan oleh aktivis dan segala kemungkinan akan bisa terjadi. ”Kalau sampai DPR seperti sebelum ini mandul, maka kita akan bergerak ke sana. Kita minta angket dilaksanakan karena itu akan membongkar jaringan mafia, yang selama ini menjerumuskan Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Keluarga Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Taufik, menyatakan, apa yang terjadi adalah sebuah penghinaan besar. ”Di tengah ramainya unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, pemerintah justeru mempercepat kenaikan harga BBM, yang menjadi bahan bakar buat intensitas gerakan,” katanya.
Fakta lainnya, kata Taufik, terkait dengan pernyataan Wapres Muhammad Jusuf Kalla, yang menyatakan, cukup dua minggu ada demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. ”Setelah itu kita ketahui, insiden 1 Juni telah mengubah konstelasi gerakan, yang awalnya adalah vertikal dijadikan horisontal, itu sungguh menghina!” katanya.
Aktivis lainnya, Kasino, menyatakan, kenaikan harga BBM mengurai dengan jelas bagaimana negeri ini dijajah asing. ”SBY bukan Presiden, tapi dia Gubernur Jenderal yang ditempatkan AS di Indonesia. Meski kita tidak begitu percaya bahwa hak angket bisa jalan, itu ikhtiar, kita dorong DPR melaksanakannya,” katanya.
Setelah ini, kata Kasino, melalui berbagai elemen, aksi akan kembali dilakukan. ”Bersatunya mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan tokoh bangsa untuk menghentikan kerusakan karena selama Indonesia di bawah Gubernur Jenderal SBY, negeri ini akan rusak. Kita segera datang beraksi ke DPR untuk secepatnya menghentikan pemerintah Gubernur Jenderal AS itu,” katanya.
Ketua Komite Bangkit Indonesia, Rizal Ramli, menyatakan, kenaikan harga BBM sudah keterlaluan. ”Banyak cara, tapi kenaikan harga BBM dilakukan, sesuai data target makro ekonomi tahunan dan lima tahunan tidak tercapai, kehidupan mayoritas rakyat semakin sulit, daya beli merosot, pengangguran makin tinggi, infrastruktur hanya 10 persen dikerjakan, akibatnya lapangan kerja rendah, kesulitan rakyat makin berat, bunuh diri makin banyak, tapi mengapa pilih kenaikan harga BBM,” katanya seraya menyatakan bahwa tingginya kemiskinan menjadikan tanah subur tumbuhnya radikalisme.
Sejumlah tokoh yang berkumpul di tempat itu di antaranya mantan Ketua MPR Amien Rais, Ketua Umum Papernas Dita Indah Sari, Ketua Umum LMND Lalu Hilman Afriandi, anggota DPR Dradjad Wibowo, pengamat Ichsanuddin Noorsy, pengamat Hendri Saparini, Ketua Lima Ray Rangkuti. ”Masih ada Wiranto, Pramono Anung, dan Gus Dur. Tapi karena terlambat, mereka tidak muncul, tapi mendukung upaya ini,” kata juru bicara Komite Bangkit Indonesia, Adhie Massardi.
Para tokoh itu sepakat untuk mendorong dilaksanakannya angket BBM dan kenaikan Harga oleh DPR. Kedua hak DPR itu sebaiknya sama-sama dilaksanakan. ”Saya mendorong agar interpelasi dan angket sama-sama direalisasikan DPR. Pengajuan angket diusung PKB, PDI Perjuangan, dan PAN. Interpelasi diusung PKS, saya minta keduanya dilaksanakan oleh DPR,” kata Dradjad. (moe)
Rabu, 21 Mei 2008
Polisi dan Demonstran Nyaris Bentrok di Istana
VHRmedia.com, Jakarta - Lebih dari 1.000 orang anggota Front Masyarakat Menguggat berdemonstrasi menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak di depan Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Para demonstran nyaris bentrok dengan polisi karena tidak diizinkan berorasi di depan Istana Negara.
Demonstran memulai aksinya di Bundaran Hotel Indonesia, kemudian melanjutkannya dengan aksi jalan kaki menuju Istana Negara. Ketika tiba didepan gerbang utara Monumen Nasional yang berbatasan dengan Jalan Merdeka Utara, polisi menyetop iring-iringan demonstran.
Polisi memaksa demonstran berorasi di tempat itu dan melarang melanjutkan aksi jalan kaki hingga persis di depan Istana. Situasi mulai memanas saat perwakilan demonstran meminta polisi mengizinkan massa memasuki jalan Medan Merdeka Utara. “Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi kita untuk orasi di depan Istana Negara,” kata Lalu Hilman Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Selasa (20/5).
Wakil Kepala Polres Jakarta Pusat Heri Wibowo besikeras, aksi di depan Istana Negara akan menghambat arus lalu lintas di Jalan Merdeka Utara. “Mereka (pengguna jalan) kan juga rakyat,” tegas Heri.
Ketegangan memuncak ketika polisi memerintahkan sopir mobil komando aksi mengarahkan kendaraannya ke pintu gerbang utara Monas. Sejumlah perangkat aksi bersikeras mengarahkan mobil komado itu ke Jalan Merdeka Utara. Demonstran akhirnya setuju berorasi ditempat yang diminta polisi.
Rizal Ramli salah seorang ekonom Komite Bangkit Indonesia dalam orasinya mengkritik rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Menurut Rizal, ketimbang harus menaikkan harga BBM, pemerintah seharusnya mengurangi subsidi bunga bank rekap sebesar Rp 35 triliun yang hanya dinikmati kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas “Kenapa pemerintah beraninya cuma sama rakyat miskin?” Kata Rizal Ramli.
Demonstrasi yang juga dihadiri artis Rieke Dyah Pitaloka dan mantan aktivis buruh Dita Indah Sari itu berakhir damai pukul 18.00 WIB. Demonstran melanjutkan aksi di pelataran Tugu Proklamasi dan bersiap menurunkan massa yang lebih banyak dalam aksi serupa pada Peringatan 10 tahun Reformasi, Rabu (21/5). (E1
Demonstran memulai aksinya di Bundaran Hotel Indonesia, kemudian melanjutkannya dengan aksi jalan kaki menuju Istana Negara. Ketika tiba didepan gerbang utara Monumen Nasional yang berbatasan dengan Jalan Merdeka Utara, polisi menyetop iring-iringan demonstran.
Polisi memaksa demonstran berorasi di tempat itu dan melarang melanjutkan aksi jalan kaki hingga persis di depan Istana. Situasi mulai memanas saat perwakilan demonstran meminta polisi mengizinkan massa memasuki jalan Medan Merdeka Utara. “Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi kita untuk orasi di depan Istana Negara,” kata Lalu Hilman Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Selasa (20/5).
Wakil Kepala Polres Jakarta Pusat Heri Wibowo besikeras, aksi di depan Istana Negara akan menghambat arus lalu lintas di Jalan Merdeka Utara. “Mereka (pengguna jalan) kan juga rakyat,” tegas Heri.
Ketegangan memuncak ketika polisi memerintahkan sopir mobil komando aksi mengarahkan kendaraannya ke pintu gerbang utara Monas. Sejumlah perangkat aksi bersikeras mengarahkan mobil komado itu ke Jalan Merdeka Utara. Demonstran akhirnya setuju berorasi ditempat yang diminta polisi.
Rizal Ramli salah seorang ekonom Komite Bangkit Indonesia dalam orasinya mengkritik rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Menurut Rizal, ketimbang harus menaikkan harga BBM, pemerintah seharusnya mengurangi subsidi bunga bank rekap sebesar Rp 35 triliun yang hanya dinikmati kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas “Kenapa pemerintah beraninya cuma sama rakyat miskin?” Kata Rizal Ramli.
Demonstrasi yang juga dihadiri artis Rieke Dyah Pitaloka dan mantan aktivis buruh Dita Indah Sari itu berakhir damai pukul 18.00 WIB. Demonstran melanjutkan aksi di pelataran Tugu Proklamasi dan bersiap menurunkan massa yang lebih banyak dalam aksi serupa pada Peringatan 10 tahun Reformasi, Rabu (21/5). (E1
Minggu, 11 Mei 2008
Dita Indah Sari, Hidup Demi Kaum Buruh
By : Nunik Triana
Keterlibatannya dalam politik kaum buruh didorong rasa tanggung jawab pada nasib mereka. Secara personal ia tidak ingin terjun ke politik.
DI beberapa negara, Hari Buruh dirayakan setiap 1 Mei, yang disebut May Day. Setiap tanggal tersebut, kaum buruh di seluruh dunia termasuk di Indonesia, turun ke jalan. Mereka meneriakkan aspirasi mereka. Antara lain, menuntut perolehan yang layak
Kini, angin reformasi terus berdesir. Iklim politik di Tanah Air makin demokratis, dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Para buruh pun kini lebih bebas menyuarakan aspirasi mereka.
“Sebelumnya sangat tidak mungkin. Sebab, pada masa Orde Baru, segala yang berbau buruh dicap sebagai tindakan makar dan berhaluan komunistis,” kata aktivis buruh Dita Indah Sari, 36. Gara-gara aktivitasnya itu pula, pemerintah Orde Baru sempat menjebloskannya ke penjara.
Mengapa Anda tertarik terjun menjadi aktivis buruh?
Kaum buruh itu penting karena mereka penggerak ekonomi. Sayangnya nasib mereka kurang diperhatikan. Waktu itu kami mengorganisasi kaum buruh, meliputi petani, nelayan, dan guru. Jadi, nggak benar buruh hanya sebatas mereka yang bekerja di pabrik.
Buruh terbagi dua: yang bekerja di sektor formal dan informal. Di sektor formal meliputi mereka yang bekerja di pabrik. Sedangkan di sektor informal, mereka yang bekerja menjadi petani, nelayan, PRT, guru honorer, dan pekerjaan lain yang tidak memiliki kontrak kerja. Mereka dibayar dengan sistem upah.
Anda punya data?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu menunjukkan, dari 35 juta buruh hanya 9 juta yang bekerja di sektor formal. Sisanya, 26 juta, bekerja di sektor informal. Bayangkan, para guru honorer sebulan hanya dibayar Rp100 ribu. Bagaimana mereka bisa hidup, apalagi di Jakarta?
Para pekerja sektor informal ini cenderung pasrah karena tidak memiliki kontrak kerja yang jelas. Nah, ini perlu diperhatikan. Seharusnya mereka pun memiliki sistem dan kontrak kerja sehingga hak buruh informal ini terlindungi.
DITA mulai mengenal dunia gerakan sejak duduk sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1991. Tahun 1992 ia bergabung dengan Forum Belajar Bebas, kelompok studi mahasiswa progresif yang membahas persoalan demokrasi dan keadilan sosial.
Keterlibatannya sebagai aktivis buruh tidak tanggung-tanggung. Sejak tahun 1993-1996 ia rela hidup bersama para buruh di Pluit, Tangerang, Citereup, dan Bogor "hanya" untuk merasakan sulitnya menjadi buruh. "Pulang kuliah, saya langsung pulang ke tempat tinggal para buruh,” katanya.
Apa kesan Anda selama hidup bersama para buruh?
Satu hal yang paling saya rasakan adalah kondisi anak-anak para buruh itu sangat memprihatinkan. Saking mereka tidak mampu membeli susu, anak-anak mereka yang masih bayi hanya diberi air tajin. Untuk bedak, mereka pakai tepung kanji.
Bayi berusia tiga bulan sudah diberi teh manis agar tetap terlihat segar dan tidak lemas. Bayi-bayi itu memang jadi segar dan gemuk karena mengonsumsi glukosa, tapi gemuk yang tidak sehat. Belum lagi situasi rumah yang panas dan tidak ada ventilasi. Mereka hidup dalam kondisi yang benar-benar tidak layak.
Masalah buruh dari tahun ke tahun sepertinya tidak pernah terselesaikan. Persoalan utama buruh Indonesia sebetulnya apa, sih?
Upah sebenarnya bukan masalah mendasar para buruh. Problem mereka sebenarnya lebih pada masalah ekonomi dengan harga yang terus merangkak naik. Upah kecil tidak masalah jika harga tidak naik.
Sebenarnya jika para buruh itu mendapatkan fasilitas kesehatan, sekolah, dan perumahan yang layak, mereka nggak akan berdemonstrasi. Sekarang harga BBM naik, yang kemudian memicu kenaikan di semua sektor kehidupan. Tapi upah buruh tidak naik. Bagaimana mereka bisa hidup?
Bagaimana kondisi buruh sekarang dibanding saat Anda baru terjun sebagai aktivis?
Dibanding pada masa Orde Baru, kondisi di era reformasi sekarang jauh lebih baik, khususnya di bidang politik. Para buruh kini sudah dapat lebih terbuka menyuarakan aspirasi mereka. Bebas membuat Serikat Buruh. Sekarang 10 orang saja bisa bikin Serikat Buruh. Dulu jangan harap.
Kini seminar dan publikasi yang menyuarakan aspirasi kaum buruh juga tidak dilarang. Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu sudah dapat dirayakan. Dulu sangat dilarang karena dikaitkan dengan tindakan komunis. Tentara pun kini tidak banyak ikut campur saat buruh melakukan aksi, dan itu tidak mungkin dilakukan di masa Orde Baru.
PERJUANGAN Dita membela hak kaum buruh adalah sederet pengalaman getir. Saat memimpin aksi di Tendes, Surabaya, Juli 1996, ia ditangkap. Pengadilan menjatuhinya hukuman delapan tahun penjara. Juga untuk beberapa temannya. Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang dipimpinnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Soeharto.
PPBI adalah satu-satunya organisasi buruh yang masa itu berani berdemonstrasi menuntut kenaikan upah, penghidupan yang layak bagi kaum buruh, dan penggulingan Soeharto. Bahkan Dita pernah ditahan di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wanita Malang, dan LP Wanita Tangerang (1997-1998). Ia dibebaskan setelah mendapat amnesti dari Presiden Habibie.
Akibat membela kaum buruh, Anda sempat masuk bui. Ada hikmah yang dapat dipetik?
Banyak yang saya pelajari di penjara. Meski saya tahanan politik, tapi di penjara saya tidak belajar politik, organisasi, atau hal-hal yang berbau kriminal. Sebab di sana banyak tahanan kriminal.
Saya bersyukur di sana saya bisa belajar tentang manusia. Belajar tentang cara pandang mereka. Bagaimana mereka bertahan hidup dan akhirnya melakukan kesalahan. Banyak di antara para tahanan itu melakukan tindak kriminal karena terpaksa. Sebagian besar karena tuntutan ekonomi.
Penjara itu membuat bodoh karena kita dilarang membaca hal-hal yang berhubungan dengan dunia luar, dan tidak boleh menonton televisi. Kalau kita mau menulis, aturannya sangat ketat. Mulai dari jumlah kertas yang kita minta, sampai apa yang akan kita tulis. Itu harus dibaca oleh penjaga penjara. Saya diisolasi dan harus menjalani keadaan itu selama dua tahun.
Setelah keluar dari penjara, Anda langsung aktif lagi sebagai pembela kaum buruh. Mengapa?
Sewaktu saya keluar penjara, banyak orang mendatangi saya. Mereka meminta saya kembali mengurus dan berbicara masalah perburuhan. Saya mendapat banyak undangan menjadi pembicara di berbagai forum seminar.
Ya sudah. Mungkin memang sudah jalan hidup saya menyuarakan kaum buruh. Akhirnya, keluar dari penjara, saya langsung nyemplung lagi. Pagi keluar dari penjara, besoknya saya sudah berbicara di seminar seperti tidak terjadi apa-apa.
Anda berniat terus berjuang di jalur ini?
Sekarang saya sudah menjadi seorang ibu. Pengalaman hidup bersama para buruh dulu, kini lebih terasa sebagai pengalaman pribadi. Kini, saya lebih bisa merasakan bagaimana rasanya bertanggungjawab ketika memiliki anak dan tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan. Sedih sekali hati saya. Itu salah satu faktor mengapa saya tetap berada di jalur ini, selain karena hingga kini masalah perburuhan belum terselesaikan.
Saat menyuarakan aspirasi kaum buruh, Anda tidak takut, terutama di masa Orba?
Tentu saja saya takut. Itu manusiawi. Apalagi saya pimpinan demonstrasi dan selalu berada di barisan paling depan untuk berbicara dan dikelilingi para aparat yang membawa senapan. Belum lagi risiko ditangkap, dipenjara, atau dibunuh.
Waktu dipukul aparat, saya juga takut. Tapi, bagi saya, orang berani adalah orang yang bisa mengatasi rasa takutnya. Ketakutan terbesar adalah ketika kita disergap oleh rasa takut itu sendiri dan tidak berdaya menghadapinya.
Anda penggerak kaum buruh yang jumlahnya ribuan, dan Anda perempuan. Pernah mendapat perlakuan diskriminatif?
Sejauh ini, karena kaum buruh selalu menjunjung tinggi kesetaraan, saya tidak terlalu merasakan adanya perlakukan diskriminatif. Memang, saya akui, sebagai perempuan kita harus bekerja dua hingga tiga kali lebih kuat agar diakui oleh kaum laki-laki. Tidak adil memang, tapi begitulah kenyataannya.
SEPTEMBER 2001, Dita mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award, penghargaan bergengsi bagi perorangan dan organisasi Asia atas pencapaian mereka di bidang masing-masing. Februari 2002 ia mendapat Reebok Human Rights Award. Tapi ia tolak. Alasannya, Reebok salah satu perusahaan besar yang tidak berpihak pada kesejahteraan kaum buruh.
Dalam periode ini Dita juga tercatat sebagai salah seorang pendiri lembaga penelitian: Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), serta Senjata Kartini, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan.
Saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award 2001 di Filipina, bagaimana perasaan Anda?
Saya kaget sekali. Nggak nyangka, kok bisa. Agak terharu juga. Ternyata mereka telah menyelidiki saya sejak awal pergerakan dulu. Dengan penghargaan itu, saya jadi lebih yakin bahwa jalan hidup yang saya tempuh memang berada di jalur yang benar.
Tapi penghargaan semacam itu bagi saya tidak terlalu penting. Hal terpenting, bagaimana agar apa yang kita lakukan dihargai masyarakat. Sebab masyarakat sampai saat ini belum sepenuhnya paham tentang pergerakan buruh.
Anda memang bercita-cita menjadi aktivis?
Tidak. Saya sebenarnya ingin menjadi penulis. Sebab sejak kecil saya senang baca puisi dan prosa, dan sastra umumnya. Kalau bukan demi buruh, saya sih lebih memilih jadi penulis. Tapi meski aktif menjadi aktivis, saya juga suka menulis artikel di beberapa harian. Ke depan saya ada rencana menulis buku otobiografi.
Keterlibatan saya di politik untuk kaum buruh, kalau boleh jujur, itu juga bukan kemauan saya, tetapi lebih pada dorongan rasa tanggung jawab pada nasib kaum buruh. Tapi, secara personal, saya tidak ingin terjun ke politik. Politik itu kering. ( Nunik Triana )
Kutipan:
Sebenarnya jika para buruh itu mendapatkan fasilitas kesehatan, sekolah, dan perumahan yang layak, mereka nggak akan berdemonstrasi.
=====================
Biodata:
Nama : Dita Indah Sari
Tempat, tgl lahir: Medan, 30 Desember 1972
Pendidikan : Fakultas Hukum UI, Depok (1991)
Pengalaman Organisasi:
* Bergabung dengan Forum Belajar Bebas, Fakultas Sastra UI (1992)
* Menjadi koordinator Aliansi Parpol untuk Keadilan (Oktober 2006)
* 2008: Ikut mendirikan Koalisi Calon Perseorangan Seluruh Indonesia (KCPSI), 2008, dll.
Pengalaman Forum:
* Menjadi pembicara dalam Forum Asia Pacific Solidarity Conference di Perth dan Sydney menyangkut Invasi Indonesia di Timor-Timur dan gerakan buruh Indonesia (1994)
* Menjadi pembicara di Perth, Australia dalam Peringatan Hari Perempuan Sedunia (1995)
* Pembicara Free East Timor Tour di Perth, Sydney, Adelaide, Brisbane, Canberra, Lismore dan
Darwin, Australia (1999)
* Pembicara utama dalam Penutupan kongres TUC (Trade Union Congress), Brighton, Inggris, mendesak penghentian penjualan senjata dari pemerintah Inggris kepada pemerintah Indonesia yang banyak digunakan untuk membunuh rakyat Timor-Timur dan Aceh (Mei 2000)
* Berdialog dengan Left Forum (partai-partai sayap kiri) dalam Parlemen Eropa di Belgia menyangkut situasi di Timor-Timur (Juni 2000)
* Tour Against Sweatshop (menjadi pembicara di lima kota besar di Inggris) menyangkut perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia yang memekerjakan buruh dengan melanggar hak-haknya (2001)
* Menjadi pembicara dalam Forum Tripartit ILO di Jenewa menyangkut situasi perburuhan Indonesia (2002)
* Bergabung bersama Peace Mission (Misi Perdamaian) di Baghdad untuk mencegah penyerangan Amerika terhadap Irak (2003)
* Pembicara utama dalam Forum Sosial Dunia di Mumbai, India (2004)
* Pembicara dalam seminar Solidaritas Selatan-Selatan di Helsinki, Finlandia, tentang partai politik dan gerakan social (2007).
Penghargaan:
* Ramon Magsaysay Award 2001, Filipina
* Reebok Human Rights Award 2002, Amerika Serikat (ditolak)
* 20 Pemuda Berprestasi Indonesia 2006, Menteri Pemuda dan Olahraga RI
* 100 Wanita Asia Berprestasi, Majalah Globe Asia
* 10 Wanita yang Menginspirasi 2007 versi Tabloid Wanita Indonesia
* 35 Wanita yang Menginspirasi 2007 versi Majalah Femina Group
* 10 Wanita yang Menginspirasi 2008 versi Kompas-LKBN Antara dan Kelompok 10 Media.
Keterlibatannya dalam politik kaum buruh didorong rasa tanggung jawab pada nasib mereka. Secara personal ia tidak ingin terjun ke politik.
DI beberapa negara, Hari Buruh dirayakan setiap 1 Mei, yang disebut May Day. Setiap tanggal tersebut, kaum buruh di seluruh dunia termasuk di Indonesia, turun ke jalan. Mereka meneriakkan aspirasi mereka. Antara lain, menuntut perolehan yang layak
Kini, angin reformasi terus berdesir. Iklim politik di Tanah Air makin demokratis, dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Para buruh pun kini lebih bebas menyuarakan aspirasi mereka.
“Sebelumnya sangat tidak mungkin. Sebab, pada masa Orde Baru, segala yang berbau buruh dicap sebagai tindakan makar dan berhaluan komunistis,” kata aktivis buruh Dita Indah Sari, 36. Gara-gara aktivitasnya itu pula, pemerintah Orde Baru sempat menjebloskannya ke penjara.
Mengapa Anda tertarik terjun menjadi aktivis buruh?
Kaum buruh itu penting karena mereka penggerak ekonomi. Sayangnya nasib mereka kurang diperhatikan. Waktu itu kami mengorganisasi kaum buruh, meliputi petani, nelayan, dan guru. Jadi, nggak benar buruh hanya sebatas mereka yang bekerja di pabrik.
Buruh terbagi dua: yang bekerja di sektor formal dan informal. Di sektor formal meliputi mereka yang bekerja di pabrik. Sedangkan di sektor informal, mereka yang bekerja menjadi petani, nelayan, PRT, guru honorer, dan pekerjaan lain yang tidak memiliki kontrak kerja. Mereka dibayar dengan sistem upah.
Anda punya data?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu menunjukkan, dari 35 juta buruh hanya 9 juta yang bekerja di sektor formal. Sisanya, 26 juta, bekerja di sektor informal. Bayangkan, para guru honorer sebulan hanya dibayar Rp100 ribu. Bagaimana mereka bisa hidup, apalagi di Jakarta?
Para pekerja sektor informal ini cenderung pasrah karena tidak memiliki kontrak kerja yang jelas. Nah, ini perlu diperhatikan. Seharusnya mereka pun memiliki sistem dan kontrak kerja sehingga hak buruh informal ini terlindungi.
DITA mulai mengenal dunia gerakan sejak duduk sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1991. Tahun 1992 ia bergabung dengan Forum Belajar Bebas, kelompok studi mahasiswa progresif yang membahas persoalan demokrasi dan keadilan sosial.
Keterlibatannya sebagai aktivis buruh tidak tanggung-tanggung. Sejak tahun 1993-1996 ia rela hidup bersama para buruh di Pluit, Tangerang, Citereup, dan Bogor "hanya" untuk merasakan sulitnya menjadi buruh. "Pulang kuliah, saya langsung pulang ke tempat tinggal para buruh,” katanya.
Apa kesan Anda selama hidup bersama para buruh?
Satu hal yang paling saya rasakan adalah kondisi anak-anak para buruh itu sangat memprihatinkan. Saking mereka tidak mampu membeli susu, anak-anak mereka yang masih bayi hanya diberi air tajin. Untuk bedak, mereka pakai tepung kanji.
Bayi berusia tiga bulan sudah diberi teh manis agar tetap terlihat segar dan tidak lemas. Bayi-bayi itu memang jadi segar dan gemuk karena mengonsumsi glukosa, tapi gemuk yang tidak sehat. Belum lagi situasi rumah yang panas dan tidak ada ventilasi. Mereka hidup dalam kondisi yang benar-benar tidak layak.
Masalah buruh dari tahun ke tahun sepertinya tidak pernah terselesaikan. Persoalan utama buruh Indonesia sebetulnya apa, sih?
Upah sebenarnya bukan masalah mendasar para buruh. Problem mereka sebenarnya lebih pada masalah ekonomi dengan harga yang terus merangkak naik. Upah kecil tidak masalah jika harga tidak naik.
Sebenarnya jika para buruh itu mendapatkan fasilitas kesehatan, sekolah, dan perumahan yang layak, mereka nggak akan berdemonstrasi. Sekarang harga BBM naik, yang kemudian memicu kenaikan di semua sektor kehidupan. Tapi upah buruh tidak naik. Bagaimana mereka bisa hidup?
Bagaimana kondisi buruh sekarang dibanding saat Anda baru terjun sebagai aktivis?
Dibanding pada masa Orde Baru, kondisi di era reformasi sekarang jauh lebih baik, khususnya di bidang politik. Para buruh kini sudah dapat lebih terbuka menyuarakan aspirasi mereka. Bebas membuat Serikat Buruh. Sekarang 10 orang saja bisa bikin Serikat Buruh. Dulu jangan harap.
Kini seminar dan publikasi yang menyuarakan aspirasi kaum buruh juga tidak dilarang. Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu sudah dapat dirayakan. Dulu sangat dilarang karena dikaitkan dengan tindakan komunis. Tentara pun kini tidak banyak ikut campur saat buruh melakukan aksi, dan itu tidak mungkin dilakukan di masa Orde Baru.
PERJUANGAN Dita membela hak kaum buruh adalah sederet pengalaman getir. Saat memimpin aksi di Tendes, Surabaya, Juli 1996, ia ditangkap. Pengadilan menjatuhinya hukuman delapan tahun penjara. Juga untuk beberapa temannya. Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang dipimpinnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Soeharto.
PPBI adalah satu-satunya organisasi buruh yang masa itu berani berdemonstrasi menuntut kenaikan upah, penghidupan yang layak bagi kaum buruh, dan penggulingan Soeharto. Bahkan Dita pernah ditahan di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wanita Malang, dan LP Wanita Tangerang (1997-1998). Ia dibebaskan setelah mendapat amnesti dari Presiden Habibie.
Akibat membela kaum buruh, Anda sempat masuk bui. Ada hikmah yang dapat dipetik?
Banyak yang saya pelajari di penjara. Meski saya tahanan politik, tapi di penjara saya tidak belajar politik, organisasi, atau hal-hal yang berbau kriminal. Sebab di sana banyak tahanan kriminal.
Saya bersyukur di sana saya bisa belajar tentang manusia. Belajar tentang cara pandang mereka. Bagaimana mereka bertahan hidup dan akhirnya melakukan kesalahan. Banyak di antara para tahanan itu melakukan tindak kriminal karena terpaksa. Sebagian besar karena tuntutan ekonomi.
Penjara itu membuat bodoh karena kita dilarang membaca hal-hal yang berhubungan dengan dunia luar, dan tidak boleh menonton televisi. Kalau kita mau menulis, aturannya sangat ketat. Mulai dari jumlah kertas yang kita minta, sampai apa yang akan kita tulis. Itu harus dibaca oleh penjaga penjara. Saya diisolasi dan harus menjalani keadaan itu selama dua tahun.
Setelah keluar dari penjara, Anda langsung aktif lagi sebagai pembela kaum buruh. Mengapa?
Sewaktu saya keluar penjara, banyak orang mendatangi saya. Mereka meminta saya kembali mengurus dan berbicara masalah perburuhan. Saya mendapat banyak undangan menjadi pembicara di berbagai forum seminar.
Ya sudah. Mungkin memang sudah jalan hidup saya menyuarakan kaum buruh. Akhirnya, keluar dari penjara, saya langsung nyemplung lagi. Pagi keluar dari penjara, besoknya saya sudah berbicara di seminar seperti tidak terjadi apa-apa.
Anda berniat terus berjuang di jalur ini?
Sekarang saya sudah menjadi seorang ibu. Pengalaman hidup bersama para buruh dulu, kini lebih terasa sebagai pengalaman pribadi. Kini, saya lebih bisa merasakan bagaimana rasanya bertanggungjawab ketika memiliki anak dan tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan. Sedih sekali hati saya. Itu salah satu faktor mengapa saya tetap berada di jalur ini, selain karena hingga kini masalah perburuhan belum terselesaikan.
Saat menyuarakan aspirasi kaum buruh, Anda tidak takut, terutama di masa Orba?
Tentu saja saya takut. Itu manusiawi. Apalagi saya pimpinan demonstrasi dan selalu berada di barisan paling depan untuk berbicara dan dikelilingi para aparat yang membawa senapan. Belum lagi risiko ditangkap, dipenjara, atau dibunuh.
Waktu dipukul aparat, saya juga takut. Tapi, bagi saya, orang berani adalah orang yang bisa mengatasi rasa takutnya. Ketakutan terbesar adalah ketika kita disergap oleh rasa takut itu sendiri dan tidak berdaya menghadapinya.
Anda penggerak kaum buruh yang jumlahnya ribuan, dan Anda perempuan. Pernah mendapat perlakuan diskriminatif?
Sejauh ini, karena kaum buruh selalu menjunjung tinggi kesetaraan, saya tidak terlalu merasakan adanya perlakukan diskriminatif. Memang, saya akui, sebagai perempuan kita harus bekerja dua hingga tiga kali lebih kuat agar diakui oleh kaum laki-laki. Tidak adil memang, tapi begitulah kenyataannya.
SEPTEMBER 2001, Dita mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award, penghargaan bergengsi bagi perorangan dan organisasi Asia atas pencapaian mereka di bidang masing-masing. Februari 2002 ia mendapat Reebok Human Rights Award. Tapi ia tolak. Alasannya, Reebok salah satu perusahaan besar yang tidak berpihak pada kesejahteraan kaum buruh.
Dalam periode ini Dita juga tercatat sebagai salah seorang pendiri lembaga penelitian: Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), serta Senjata Kartini, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan.
Saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award 2001 di Filipina, bagaimana perasaan Anda?
Saya kaget sekali. Nggak nyangka, kok bisa. Agak terharu juga. Ternyata mereka telah menyelidiki saya sejak awal pergerakan dulu. Dengan penghargaan itu, saya jadi lebih yakin bahwa jalan hidup yang saya tempuh memang berada di jalur yang benar.
Tapi penghargaan semacam itu bagi saya tidak terlalu penting. Hal terpenting, bagaimana agar apa yang kita lakukan dihargai masyarakat. Sebab masyarakat sampai saat ini belum sepenuhnya paham tentang pergerakan buruh.
Anda memang bercita-cita menjadi aktivis?
Tidak. Saya sebenarnya ingin menjadi penulis. Sebab sejak kecil saya senang baca puisi dan prosa, dan sastra umumnya. Kalau bukan demi buruh, saya sih lebih memilih jadi penulis. Tapi meski aktif menjadi aktivis, saya juga suka menulis artikel di beberapa harian. Ke depan saya ada rencana menulis buku otobiografi.
Keterlibatan saya di politik untuk kaum buruh, kalau boleh jujur, itu juga bukan kemauan saya, tetapi lebih pada dorongan rasa tanggung jawab pada nasib kaum buruh. Tapi, secara personal, saya tidak ingin terjun ke politik. Politik itu kering. ( Nunik Triana )
Kutipan:
Sebenarnya jika para buruh itu mendapatkan fasilitas kesehatan, sekolah, dan perumahan yang layak, mereka nggak akan berdemonstrasi.
=====================
Biodata:
Nama : Dita Indah Sari
Tempat, tgl lahir: Medan, 30 Desember 1972
Pendidikan : Fakultas Hukum UI, Depok (1991)
Pengalaman Organisasi:
* Bergabung dengan Forum Belajar Bebas, Fakultas Sastra UI (1992)
* Menjadi koordinator Aliansi Parpol untuk Keadilan (Oktober 2006)
* 2008: Ikut mendirikan Koalisi Calon Perseorangan Seluruh Indonesia (KCPSI), 2008, dll.
Pengalaman Forum:
* Menjadi pembicara dalam Forum Asia Pacific Solidarity Conference di Perth dan Sydney menyangkut Invasi Indonesia di Timor-Timur dan gerakan buruh Indonesia (1994)
* Menjadi pembicara di Perth, Australia dalam Peringatan Hari Perempuan Sedunia (1995)
* Pembicara Free East Timor Tour di Perth, Sydney, Adelaide, Brisbane, Canberra, Lismore dan
Darwin, Australia (1999)
* Pembicara utama dalam Penutupan kongres TUC (Trade Union Congress), Brighton, Inggris, mendesak penghentian penjualan senjata dari pemerintah Inggris kepada pemerintah Indonesia yang banyak digunakan untuk membunuh rakyat Timor-Timur dan Aceh (Mei 2000)
* Berdialog dengan Left Forum (partai-partai sayap kiri) dalam Parlemen Eropa di Belgia menyangkut situasi di Timor-Timur (Juni 2000)
* Tour Against Sweatshop (menjadi pembicara di lima kota besar di Inggris) menyangkut perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia yang memekerjakan buruh dengan melanggar hak-haknya (2001)
* Menjadi pembicara dalam Forum Tripartit ILO di Jenewa menyangkut situasi perburuhan Indonesia (2002)
* Bergabung bersama Peace Mission (Misi Perdamaian) di Baghdad untuk mencegah penyerangan Amerika terhadap Irak (2003)
* Pembicara utama dalam Forum Sosial Dunia di Mumbai, India (2004)
* Pembicara dalam seminar Solidaritas Selatan-Selatan di Helsinki, Finlandia, tentang partai politik dan gerakan social (2007).
Penghargaan:
* Ramon Magsaysay Award 2001, Filipina
* Reebok Human Rights Award 2002, Amerika Serikat (ditolak)
* 20 Pemuda Berprestasi Indonesia 2006, Menteri Pemuda dan Olahraga RI
* 100 Wanita Asia Berprestasi, Majalah Globe Asia
* 10 Wanita yang Menginspirasi 2007 versi Tabloid Wanita Indonesia
* 35 Wanita yang Menginspirasi 2007 versi Majalah Femina Group
* 10 Wanita yang Menginspirasi 2008 versi Kompas-LKBN Antara dan Kelompok 10 Media.
Sabtu, 10 Mei 2008
'Pisau' BBM ke Dada Orang Miskin
INILAH.COM, Jakarta - Kenaikan harga BBM dilihat bak pisau yang terarah ke dada orang miskin. Sebab ini menjadi masalah hidup dan mati. Bukan lagi masalah politik dan ekonomi, tapi kemanusiaan.
"Kami tetap menggangap ada opsi-opsi lain, karena sama saja mengarahkan pisau ke dada orang miskin. Itu adalah persoalan hidup dan mati, dan kami menolak kenaikan harga BBM. Bagi kami, ini bukan masalah politik dan ekonomi, tapi sudah menyangkut masalah kemanusiaan," kata aktivis buruh Dita Indah Sari dalam diskusi 'Derita Rakyat Tak Berujung' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (10/5).
Apalagi, lanjut dia, kenaikan harga BBM bertepatan dengan peringatan 10 tahun reformasi. "Kita dapat kado reformasi dari pemerintah dengan kenaikan harga BBM 30 persen. Dalam perayaan 10 tahun reformasi, pemeritahan SBY sudah gagal. Terimakasih atas kadonya," cetusnya.
Kebijakan kenaikan harga BBM, menurut dia, akan semakin menambah beban orang banyak dan beban orang miskin, karena juga akan mengakibatkan sumber-sumber pekerjaan ditutup. Dampaknya bisa sampai 2-3 tahun.
"Kalau mau membantu orang miskin, tidak begitu caranya. Kalau subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya, tapi solusinya bukan BBM yang dinaikan, itu berarti mau membunuh tikus tapi sarangnya dibakar," ujar Dita.
Kalau mau mengurangi alokasi subsidi untuk orang kaya, usul dia, naikkan saja pajak kendaraan. Sebab lebih mudah menghitung orang kaya daripada orang miskin.
Sedangkan soal penghematan energi, menurut dia, atur saja jumlah kendaraan mobil, tentukan jam-jam mobil yang keluar. Jika 3 in 1 bisa diberlakukan, berarti pembatasan kendaran juga bisa dilakukan.
"Jadi soal penghematan, soal pengurangan angggaran buat orang kaya, caranya tidak dengan menaikkan harga BBM, karena yang merasakan dampaknya adalah orang menengah ke bawah," kata Dita.[L3]
"Kami tetap menggangap ada opsi-opsi lain, karena sama saja mengarahkan pisau ke dada orang miskin. Itu adalah persoalan hidup dan mati, dan kami menolak kenaikan harga BBM. Bagi kami, ini bukan masalah politik dan ekonomi, tapi sudah menyangkut masalah kemanusiaan," kata aktivis buruh Dita Indah Sari dalam diskusi 'Derita Rakyat Tak Berujung' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (10/5).
Apalagi, lanjut dia, kenaikan harga BBM bertepatan dengan peringatan 10 tahun reformasi. "Kita dapat kado reformasi dari pemerintah dengan kenaikan harga BBM 30 persen. Dalam perayaan 10 tahun reformasi, pemeritahan SBY sudah gagal. Terimakasih atas kadonya," cetusnya.
Kebijakan kenaikan harga BBM, menurut dia, akan semakin menambah beban orang banyak dan beban orang miskin, karena juga akan mengakibatkan sumber-sumber pekerjaan ditutup. Dampaknya bisa sampai 2-3 tahun.
"Kalau mau membantu orang miskin, tidak begitu caranya. Kalau subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya, tapi solusinya bukan BBM yang dinaikan, itu berarti mau membunuh tikus tapi sarangnya dibakar," ujar Dita.
Kalau mau mengurangi alokasi subsidi untuk orang kaya, usul dia, naikkan saja pajak kendaraan. Sebab lebih mudah menghitung orang kaya daripada orang miskin.
Sedangkan soal penghematan energi, menurut dia, atur saja jumlah kendaraan mobil, tentukan jam-jam mobil yang keluar. Jika 3 in 1 bisa diberlakukan, berarti pembatasan kendaran juga bisa dilakukan.
"Jadi soal penghematan, soal pengurangan angggaran buat orang kaya, caranya tidak dengan menaikkan harga BBM, karena yang merasakan dampaknya adalah orang menengah ke bawah," kata Dita.[L3]
Industri Domestik Bisa Kolaps
JAKARTA - Kenaikan harga BBM dapat memberikan dampak buruk pada sektor industri dalam negeri. Kemiskinan di Indonesia juga akan semakin meningkat.
"Yang pasti jumlah kemiskinan akan semakin bertambah, jumlah pengangguran bertambah karena industri dalam negeri kesulitan," jelas aktivis buruh Dita Indah Sari, usai diskusi Polemik Trijaya Derita Rakyat Tidak Berujung, di Warung Daun Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (10/5/2008).
Menurutnya, kebijakan pemerintahan SBY-JK tidak memihak kepada rakyat menengah ke bawah. Pemerintah dinilai tidak berani membuat kebijakan yang tidak populis dimata pengusaha asing.
Sedangkan, bagi pengusaha dalam negeri akan mengalami kesulitan terhadap kenaikan BBM. "Kan yang mau dibangkitkan pengusaha dalam negeri," pungkasnya.
Kalau memang mencintai rakyat, seharusnya pemerintah harus berani membuat kebijakan yang memihak kepada rakyat. "Jangan hanya mendatangi rakyat kalau lagi ada bencana saja," tambahnya. (ase) (rhs)
"Yang pasti jumlah kemiskinan akan semakin bertambah, jumlah pengangguran bertambah karena industri dalam negeri kesulitan," jelas aktivis buruh Dita Indah Sari, usai diskusi Polemik Trijaya Derita Rakyat Tidak Berujung, di Warung Daun Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (10/5/2008).
Menurutnya, kebijakan pemerintahan SBY-JK tidak memihak kepada rakyat menengah ke bawah. Pemerintah dinilai tidak berani membuat kebijakan yang tidak populis dimata pengusaha asing.
Sedangkan, bagi pengusaha dalam negeri akan mengalami kesulitan terhadap kenaikan BBM. "Kan yang mau dibangkitkan pengusaha dalam negeri," pungkasnya.
Kalau memang mencintai rakyat, seharusnya pemerintah harus berani membuat kebijakan yang memihak kepada rakyat. "Jangan hanya mendatangi rakyat kalau lagi ada bencana saja," tambahnya. (ase) (rhs)
Kamis, 24 April 2008
Nasib Kaum Buruh Yang (Kian) Terjepit
Sigit Kurniawan - Elshintanewsroom, Kurang lebih sepekan lagi, kaum buruh di seantero jagat ini akan merayakan Hari Buruh atau yang dikenal dengan May Day. Tepat 1 Mei, kaum buruh di Indonesia pun akan bersama merayakannya. Biasanya, seperti tahun sebelumnya, kegiatan May Day itu akan diisi dengan beragam acara, seperti aksi turun ke jalan, demonstrasi, orasi, pagelaran musik, dan sebagainya yang pada intinya bagaimana kaum buruh menyuarakan aspirasi mereka, menyampaikan tuntutan mereka. Dan itu selalu disuarakan setiap Hari Buruh tiba.
Adalah Dita Indah Sari, salah satu aktivis buruh Indonesia, menyebut tiga tahun terakhir atau periode 2006-2008 sebagai puncak terburuk bagi nasib kaum buruh di Indonesia. Parameternya, adalah bagaimana buruh tak pernah bisa memperbaiki nasib mereka. Dan lagi-lagi persoalan upah buruh yang ternyata tidak dapat mengejar kenaikan harga sembako akhir-akhir ini.
Dita menyebut, kaum buruh saat ini sangat terpukul dengan terjadinya tiga kenaikan, yaitu kenaikan karbohidrat berupa beras, kenaikan protein yaitu naiknya harga minyak goreng dan kedelai serta kenaikan energi berupa minyak tanah dan gas.
Persoalan upah yang kecil memang kerap menjadi teriakan kaum buruh. Belum lagi persoalan hak-hak buruh yang kerap diabaikan oleh para pemilik modal atau pengusaha, seperti upah yang tak dibayar, kenaikan upah yang tak sesuai, hak cuti yang tak didapat, PHK sepihak, dll. Buntutnya, buruh hanya bisa berteriak, protes, hingga bermuara pada aksi turun kejalan, berdemonstrasi.
Idealnya, siapapun apalagi kaum buruh (pekerja), menginginkan agar dalam hubungan industrial terjalin pola hubungan yang harmonis, kondusif dan saling menguntungkan, dimana buruh/pekerja dapat menjalankan aktivitas mereka dengan baik dan tanpa tekanan yang tak berdasar. Semua ini tentu dengan harapan agar produktivitas yang tinggi dapat tercipta. Dan hasil maksimal yang diharapkan pengusaha pun akan tercapai. Dan lagi, semua ini akan kembali kepada buruh yang akan menikmati hasil dari apa yang sudah mereka lakukan.
Pekerja adalah asset yang harus dipelihara dan dijaga sudah seharusnya ada di benak pengusaha atau pemilik modal. Kesejahteraan buruh/pekerja sudah sepatutnya menjadi perhatian. Kesejahteraan bukan lagi milik sekelompok orang yang hanya bisa bermanis muka, menekan buruh demi menyenangkan pengusaha. Kesejahteraan adalah milik semua, ya buruh ya pekerja.
Dan bercermin dari penghargaan ''A Tribute To Woman 2008'' yang diterima oleh Dita Indah Sari, bukan semata untuk dirinya namun akan menjadi spirit dan dedikasi bagi perjuangan kaum buruh Indonesia. Semoga.
Adalah Dita Indah Sari, salah satu aktivis buruh Indonesia, menyebut tiga tahun terakhir atau periode 2006-2008 sebagai puncak terburuk bagi nasib kaum buruh di Indonesia. Parameternya, adalah bagaimana buruh tak pernah bisa memperbaiki nasib mereka. Dan lagi-lagi persoalan upah buruh yang ternyata tidak dapat mengejar kenaikan harga sembako akhir-akhir ini.
Dita menyebut, kaum buruh saat ini sangat terpukul dengan terjadinya tiga kenaikan, yaitu kenaikan karbohidrat berupa beras, kenaikan protein yaitu naiknya harga minyak goreng dan kedelai serta kenaikan energi berupa minyak tanah dan gas.
Persoalan upah yang kecil memang kerap menjadi teriakan kaum buruh. Belum lagi persoalan hak-hak buruh yang kerap diabaikan oleh para pemilik modal atau pengusaha, seperti upah yang tak dibayar, kenaikan upah yang tak sesuai, hak cuti yang tak didapat, PHK sepihak, dll. Buntutnya, buruh hanya bisa berteriak, protes, hingga bermuara pada aksi turun kejalan, berdemonstrasi.
Idealnya, siapapun apalagi kaum buruh (pekerja), menginginkan agar dalam hubungan industrial terjalin pola hubungan yang harmonis, kondusif dan saling menguntungkan, dimana buruh/pekerja dapat menjalankan aktivitas mereka dengan baik dan tanpa tekanan yang tak berdasar. Semua ini tentu dengan harapan agar produktivitas yang tinggi dapat tercipta. Dan hasil maksimal yang diharapkan pengusaha pun akan tercapai. Dan lagi, semua ini akan kembali kepada buruh yang akan menikmati hasil dari apa yang sudah mereka lakukan.
Pekerja adalah asset yang harus dipelihara dan dijaga sudah seharusnya ada di benak pengusaha atau pemilik modal. Kesejahteraan buruh/pekerja sudah sepatutnya menjadi perhatian. Kesejahteraan bukan lagi milik sekelompok orang yang hanya bisa bermanis muka, menekan buruh demi menyenangkan pengusaha. Kesejahteraan adalah milik semua, ya buruh ya pekerja.
Dan bercermin dari penghargaan ''A Tribute To Woman 2008'' yang diterima oleh Dita Indah Sari, bukan semata untuk dirinya namun akan menjadi spirit dan dedikasi bagi perjuangan kaum buruh Indonesia. Semoga.
Rabu, 23 April 2008
Dita Indah Sari memperoleh penghargaan "Ten Most Oustanding Women"
Jakarta, Berdikari- Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Papernas, Dita Indah Sari, memperoleh penghargaan sebagai "salah satu dari sepuluh tokoh yang paling memberi inspirasi pada perempuan Indonesia". Acara penghargaan yang bertajuk "Tribute to Women" digelar pada Selasa malam (22/04) di Sky Building Plaza Semanggi oleh Kantor Berita Antara.
Selain Dita, penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono juga diterima oleh Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Ayu Utami (Penulis), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Di posting dari : berdikari Online
Selain Dita, penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono juga diterima oleh Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Ayu Utami (Penulis), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Di posting dari : berdikari Online
Rabu, 02 April 2008
Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi
Oleh Dita Indah Sari
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Langganan:
Postingan (Atom)