Kamis, 14 September 2000

Buruh Mogok: Pisau Bermata Dua

Militansi kaum buruh meningkat. Bentuk protes tidak lagi melulu unjuk rasa dan mogok di dalam kawasan industri. Mengadukan nasib dengan ramai-ramai datang ke gedung Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja, DPRD, dan DPR akhir-akhir ini ditingkatkan lagi dengan arak-arakan di jalan-jalan dan berhenti menutup jalan tol untuk melumpuhkan lalu lintas. Di dalam kawasan industri, tingkat protes tidak lagi sekadar mogok dan unjuk rasa pasif, tapi unjuk rasa aktif dengan memblokir pengoperasian perusahaan. Perusahaan tambang PT Kaltim Prima Coal yang sebagian besar sahamnya dari London, Inggris menghadapi pola protes yang disebut terakhir ini. Pemblokiran operasi penambangan yang dilakukan buruh-buruh, yang sebagian besar adalah anggota Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) itu, akhirnya membuat pemegang saham dari London maupun komisaris perusahaan tersebut di Jakarta pertengahan Agustus lalu mengarah pada ancaman penutupan perusahaan tersebut.

Asisten Sekretaris Jenderal SBSI Ediarthi Sitinjak meramalkan perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia yang sebagian besar sahamnya dipegang oleh perusahaan-perusahaan asing akan menghadapi protes buruh dengan pola pemblokadean operasi penambangan. "Dan itu akan membuat para pemegang saham asing menarik investasinya dari Indonesia," katanya.

Aksi ratusan buruh PT Kong Tai Indonesia bulan Februari lalu menutup jalan tol selama empat jam barangkali adalah aksi yang paling spektakuler di luar kawasan perusahaan. Mereka datang ke kantor Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja -yang menghadap ruas jalan tol- mempertanyakan penyelesaian pesangon dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah dua bulan terkatung-katung.

Untuk sampai menutup jalan tol, buruh perusahaan sepatu bermerek Reebok itu, dalam jumlah 4.500 orang, sudah terlebih dulu unjuk rasa besar-besaran pada tangal 23 November 1999 di halaman pabriknya. Protes ini bermula dari tindakan perusahaan merumahkan, memotong gaji, kemudian melakukan PHK secara massal.

Sejak awal protes buruh PT Kong Tai Indonesia ini memang sudah keras. Perusakan pabrik dilanjutkan dengan amuk ke rumah OC Kaligis, yang adalah pengacara perusahaan tersebut. Setelah memblokir jalan tol, mereka menginap berbulan-bulan di DPR sebelum akhirnya memperoleh pesangon. Tragisnya, ketika buruh sibuk dalam ingar-bingar aksi, pengusahanya kabur dan aset perusahaan dijual secara diam-diam.

Pengalaman buruh Kong Tai rupanya menjadi pelajaran yang berharga bagi aktivis buruh lainnya. Unjuk rasa atau mogok, kalaupun itu terpaksa, tidak perlu dilakukan di luar pabrik. "Kami tidak mau mogok dengan unjuk rasa ke DPR atau Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Kami memilih mogok dengan menduduki pabrik. Cara itu lebih efektif dan dapat mencegah usaha pengusaha mengganti tenaga kerja," kata Joko Ragil, Wakil Ketua Serikat Pekerja PT Sarasa Mitratama, produsen tekstil di Tangerang.

Aksi buruh PT Sarasa berlangsung tiga hari pada awal Februari dan Maret lalu menyusul pemecatan sejumlah buruh dan tuntutan berkaitan dengan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), termasuk di dalamnya tuntutan perbaikan kesejahteraan. Pada awal Februari mereka mogok dengan menggelar aksi di jalanan di depan pabrik. Namun pada bulan Maret selama seminggu mereka menduduki pabrik sehingga memaksa pengusaha duduk berunding.

"Demonstrasi ke DPR hanya buang-buang waktu, uang, dan tenaga. Lebih parah lagi kalau DPR tidak langsung menanggapi. Prosesnya pun memakan waktu lebih panjang. Dengan menduduki pabrik, penguasa akan cepat merespon sekalipun kita harus berhadapan dengan alat represi negara, seperti polisi dan tentara," kata Joko.

Tindakan serupa dilakukan oleh buruh PT TVM Indonesia. Mereka mengadakan mogok dengan menduduki pabrik selama lebih dari seminggu, 3 sampai 12 Juni 2000, dengan tuntutan pembubaran organisasi pekerja bentukan perusahaan dan sepuluh tuntutan lain berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Mereka makan dan tidur di dalam pabrik, membentuk satgas untuk menyeleksi setiap orang keluar.

"Aparat kami tidak boleh masuk dalam lokasi pabrik, begitu juga aparat Departemen Tenaga Kerja ataupun lembaga bantuan hukum. Semua orang luar yang ingin mencampuri urusan kami, kami tolak," kata Sastrow, Sekretaris Serikat Pekerja PT TVM.

Akibat aksi pendudukan itu pengusaha pada hari keenam mulai bersedia berunding. Pada hari kedelapan, pengusaha menawarkan tambahan gaji namun hanya sebesar 16,5 persen bukan 50 persen sesuai tuntutan pekerja. "Tawaran itu akhirnya kami terima setelah kami memperoleh informasi pengusahanya akan kabur," tutur Sastrow.

Mogok dan unjuk rasa merupakan cara yang ampuh untuk menekan pengusaha. Sejumlah organisasi buruh menggunakan mogok dan unjuk rasa ini sebagai metode perjuangan. Buruh yang tergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan SBSI sangat sering terlibat dalam aksi-aksi seperti ini. FNPBI bahkan melibatkan buruh dalam aksi-aksi politik, seperti tuntutan pembersihan sisa-sisa Orde Ba-ru, pengadilan terhadap Soeharto. Dalam aksi-aksinya buruh yang tergabung dalam FNPBI hampir selalu mengikutkan yel-yel pencabutan Dwifungsi TNI.

Ketua Umum FNPBI Dita Indah Sari mengatakan, serikat buruh yang baik memang harus memiliki kemampuan memobilisasi massa untuk mogok maupun unjuk rasa. Bagi serikat buruh, kata Dita, mobilisasi massa tidak kalah penting dibandingkan urusan advokasi dan pendidikan buruh. "Karena itulah dalam momentum-momentum penting kami melakukan mobilisasi massa," kata Dita.

Namun sejumlah aktivis buruh mengingatkan bahwa mogok dan unjuk rasa bisa menjadi senjata makan tuan bagi buruh. "Dalam aksi-aksi mogok dan unjuk rasa seringkali buruh justru tidak tahu apa yang menjadi tuntutannya," kata Rustinah, aktivis Serikat Buruh Paguyuban Karya Utama.

Saepul Tavip, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia, menyatakan bahwa unjuk rasa dan mogok kadang diperlukan sebagai bentuk tekanan kepada pengusaha. Namun, dalam hubungan industrial yang baik, perlu ada komunikasi antara perusahaan dan pekerja untuk mencegah prasangka dari kedua belah pihak. Dalam berbagai kasus sering kali pengusaha dan buruh memilih saling menjatuhkan. Buruh unjuk rasa, perusahaan membalasnya dengan pemecatan.

"Kalau begitu, persoalannya tidak selesai-selesai. Unjuk rasa bisa dilakukan, tetapi juga bisa berbahaya karena bisa mengganggu proses produksi. Akan tetapi ada juga pengusaha yang sontoloyo dan ndableg, sehingga buruh harus melakukan tekanan-tekanan," kata Tavip. (wis/mam/sal)