Sabtu, 04 September 2004

HAK MOGOK DI TENGAH SITUASI KRISIS

Oleh : Dita Sari

Secara formal, berbagai perangkat UU maupun Konvensi telah mencantumkan hak mogok di antara pasal-pasalnya. Di hampir seluruh negeri, mogok resmi dinyatakan sebagai hak buruh, meski dalam prosedur dan pelaksanaannya sering timbul tindakan-tindakan yang tidak konsisten, bahkan represif, dari pengusaha maupun penguasa. Walaupun demikian, pengakuan formal Negara terhadap hak mogok telah menyediakan amunisi bagi gerakan buruh untuk terus menagih konsistensi dan menggugat perlindungan terhadap hak mogok itu sendiri, terlepas dari upaya tak kenal lelah dari pemerintah maupun pengusaha untuk mempersempit ruang kebebasan melakukan pemogokan. Jika gerakan buruh mampu berkembang menjadi gerakan sosial politik yang diperhitungkan, maka kedua proses tarik menarik ini akan menghasilkan konsesi (baca : kebebasan) yang lebih besar bagi kaum pemogok. Namun jika gerakan buruh semakin melemah dan terpecah-pecah, maka bersiap-siaplah menuai represi sebagai konsekuensi melakukan pemogokan.

Secara prinsip, dalam situasi apapun, mogok tetap merupakan hak buruh. Judul di atas bukan bermakna mempertanyakan sejauh mana hak itu tetap dimiliki oleh buruh di tengah krisis ekonomi yang kian parah. Tulisan ini bermaksud untuk memberi gambaran sejauh mana situasi krisis ekonomi menjamin atau mengancam perlindungan hak mogok. Juga untuk menganalisa sejauh mana efektivitas penggunaan hak mogok dalam memenangkan tuntutan buruh di tengah kolapsnya dunia usaha. Menempatkan pemogokan sebagai senjata yang tepat, dengan sasaran dan waktu yang tepat, akan memberi peluang besar bagi kemenangan kasus yang tengah dihadapi, sekaligus positif dalam membangkitkan semangat gerakan buruh secara keseluruhan.

Krisis Globalisasi dan Demokrasi

Selama ini banyak anggapan yang menyatakan bahwa perkembangan globalisasi otomatis akan menciptakan demokratisasi. Globalisasi dimaknai sebagai menghilangnya batas-batas negara, yang berarti tiap-tiap negara semakin membuka dirinya untuk menyerap berbagai produk yang membanjir masuk, dimana nilai-nilai demokrasi adalah salah satu di antaranya. Globalisasi, yang mengharuskan pengurangan campur tangan pemerintah dalam kehidupan sipil, dianggap bakal menyediakan dukungan bagi penciptaan demokratisasi.

Kenyataannya adalah : demokrasi bukan anak kandung globalisasi. Demokrasi adalah gagasan dan praktek politik yang telah hadir jauh sebelum globalisasi neoliberal menunjukkan kuasanya di muka bumi. Demokrasi adalah hasil dari kemenangan kapitalisme melawan sistem tuan tanah (feodalisme) di Eropa pada abad ke-18. Sejarah demokrasi adalah sejarah kemenangan hak-hak individual kelas menengah-atas Eropa melawan hak-hak istimewa para raja dan kaum bangsawan yang diklaim sebagai pusaka warisan Tuhan. Sebagai gagasan, ia bahkan diciptakan oleh para filsuf berjanggut dari Yunani, jauh sebelum kelahiran Yesus dan Muhammad.

Karenanya, globalisasi tidaklah secara otomatis melahirkan demokrasi sepenuh-penuhnya. Justru dalam situasi krisis global, berbagai tidnakan-tindakan anti demokrasi terjadi di seluruh belahan bumi. Krisis ekonomi telah mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk menghidupkan industri-industri pembuatan alat-alat perang, untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya (baja, listrik, logam), serta menikmati keuntungan yang besar dari penjualan senjata. Perang Irak dan Afghanistan bukan diciptakan semata-mata demi penguasaan dan pengamanan jalur minyak. Namun lebih dari itu, untuk memastikan agar produksi dan transaksi penjualan senjata dapat bergulir, sehingga timbul nilai tambah dan keuntungan besar bagi sejumlah kapitalis dalam negeri Amerika.

Parlemen di negeri-negeri Eropa dan AS kemudian mengesahkan berbagai produk perundang-undangan anti teroris, termasuk Indonesia. Era kebebasan sipil telah berlalu, karena kini atas nama upaya memberantas terorisme yang mereka ciptakan sendiri, kontrol, pengawasan dan campur tangan negara dalam kehidupan sipil, kian besar.

UU 13/2003

Kepentingan untuk mengendalikan gerakan buruh menjadi lebih besar dari yang sebelumnya. Para kapitalis global yang panik akibat ketidakmampuan pasar menyerap barang-barang produksinya, menuntut kemudahan-kemudahan berusaha, segala fasilitas, termasuk membatasi hal-hal yang dapat memberi peluang bagi pembesaran gerakan buruh. Kapitalisme yang tengah sakit renta karena keusangannya menuntut perlakuan-perlakuan istimewa, pasar domestik yang ramah produk asing, pasar tenaga kerja yang fleksibel, kemudahan bea impor, penghapusan subsidi, dll. Dalam situasi ekonomi politik global semacam inilah, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan diajukan dan akhirnya disahkan.

Hak Mogok diatur dalam pasal 137-145. Meskipun dinyatakan bahwa mogok kerja adalah hak dasar buruh, namun hak ini dilaksanakan di bawah kondisi : sebagai akibat dari gagalnya perundingan. Padahal dalam banyak kasus, pengusaha tidak mau bertemu apalagi berunding dengan SP/SB. Pembatasan kondisi ini juga bermakna bahwa pemogokan untuk memprotes kebijakan publik yang merugikan seluruh rakyat (kenaikan listrk, air, BBM) adalah tidak dikenal alias dianggap tidak sah. Juga pemogokan sebagai bentuk solidaritas atas nasib sesama kaum buruh, juga tidak dimungkinkan.

Pasal 136 ayat 2 juga membuat hak mogok menjadi sulit diterapkan alias mustahil. Pasal ini menyatakan bahwa ketika perundingan mengalami deadlock, maka penyelesaian perselisihan harus dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dimana tak ada ruang untuk mogok.

Pasal 140 yang mengharuskan pemberitahuan 7 hari sebelum pemogokan juga suliat diterima akal. Salah satu isi pemberitahuannya adalah penetapan tanggal kapan berakhir pemogokan. Padahal kapan pemogokan diakhiri tidak sepenuhnya bergantung pada para buruh, namun sangat dipengaruhi oleh reaksi pengusaha dan penguasa atas tuntutan para buruh. Jika dalam prakteknya, pemogokan ternyata berjalan lebih lama daripada yang tercantum dalam surat pemberitahuan, berarti pemogokan itu dianggap liar dan tidak sah lagi, sehingga terbuka kemungkinan untuk dibubarkan.

UU 13/2003 menunjukkan kepada kita dua hal. Pertama, pengakuan dan perlindungan hak mogok sama sekali tidak konsisten dan bermuka dua. Kedua, globalisasi mensyaratkan situasi dan pasar tenaga kerja yang fleksibel, di antaranya adalah kepastian agar hak mogok tidak dapat digunakan dengan mudah dan sederhana oleh buruh

Negara Harus Bertanggungjawab

Banyaknya penutupan perusahaan semakin membuktikan bahwa amat besar keterbatasan institusi swasta dalam memenuhi hak-hak mendasar masyarakat. Penyediaan hak-hak dasar seperti pangan, perumahan, pekerjaan layak, kesehatan dan pendidikan adalah tanggung jawab negara yang tak tergantikan. Keterlibatan swasta selamanya bersifat temporer, terbatas cakupan dan luasnya, semata-mata mendukung. Karenanya, PHK-PHK massal yang terjadi hingga saat ini, haruslah membuka mata para buruh bahwa sasaran-sasaran tuntutan kita bukan lagi hanya pada perusahaan, namun juga pada lembaga-lembaga negara.

Pemogokan dan aksi-aksi kaum buruh, karenanya, jangan lagi sebatas menggelar tuntutan kepada para pengusaha untuk memberikan uang pesangon. Kekurangan jumlah pesangon yang diberikan perusahaan semestinya disubsidi oleh Negara, jika perusahaan sungguh tidak mampu. Tekanan-tekanan buruh ke kantor-kantor Departemen Sosial, Departemen Keuangan, Kantor Menko Kesra, bahkan ke Cikeas dan Istana presiden, adalah langkah panjang yang harus ditempuh para buruh saat ini. Tidak cukup lagi sekedar menggoyang pagar Depnaker, karena dalam banyak kasus institusi ini tidak lebih dari sekedar keranjang sampah dari kegagalan kapitalisme. Negara harus memprioritaskan anggarannya bagi pemenuhan hak-hak mendasar rakyat, bagi yang sedang bekerja ataupun yang tengah menganggur.

Sekecil dan seterbatas apapun hak mogok yang kita miliki, harus sungguh-sungguh dimanfaatkan secara maksimal. Di tengah kebangkrutan industri dalam negeri, campur tangan negara dalam melindungi rakyat dari serbuan globalisasi dan pasar bebas, semestinya lebih besar dari yang selama ini ada. Karenanya, hak mogok bukan lagi sekedar taktik untuk memenangkan tuntutan terhadap pengusaha, namun juga senjata untuk menagih janji perubahan yang telah digembar-gemborkan oleh presiden baru SBY selama ini.

Jumat, 27 Agustus 2004

Koalisi Perempuan Tolak RUU TNI

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekitar 50 orang dari Koalisi Perempuan melakukan aksi penolakan RUU TNI di Bundaran Hotel Indonesia. "Kami menolak RUU TNI karena merupakan jalan untuk kembali menerapkan dwifungsi ABRI," kata Dita Indah Sari, aktivis buruh yang ikut melakukan demonstrasi di Bundaran HI, Jumat (27/8).

Menurut Dita, dalam penerapan RUU TNI akan lebih parah dibanding dengan masa orde baru karena legalitas dari komando teritorial disahkan melalui undang-undang. "Masa TNI yang memegang senjata, malah menata kehidupan masyarakat sipil. Ini merupakan penghinaan bagi demokrasi," ucap Dita.

Dita menambahkan terlebih di masa krisis saat ini ratusan Kodam, ribuan Koramil serta belasan ribu Babinsa, tentu saja akan memakan banyak biaya yang dikeluarkan lewat APBN. "Ini adalah salah satu bentuk pemborosan, sedangkan fungsinya tidak ada. Lebih baik biaya tersebut untuk kesejahteraan rakyat," tandas Dita.

Menurutnya, RUU TNI bukan hanya persoalan militer, tapi juga persoalan perempuan. Karena ada banyak biaya yang dikeluarkan untuk membiayai komando teritorial, dan lebih baik itu untuk membiayai wanita miskin.

Koalisi Perempuan ini dalam melakukan aksi, mengusung berbagai spanduk berisi penolakan RUU TNI. Mereka juga merupakan gabungan dari berbagai aktivis, seperti aktivis buruh, korban Aceh, Tanjung Priok dan juga aktivis SMP

Selasa, 04 Mei 2004

Masalah Perburuhan Akan Semakin Kompleks

Jakarta, Kompas - Masalah perburuhan di masa datang akan semakin kompleks sehingga dibutuhkan presiden yang benar-benar paham soal ketenagakerjaan. Selama ini para buruh merasakan pemimpin yang berasal dari militer, Orde Baru, ataupun neo Orde Baru sangat kurang memerhatikan ketenagakerjaan.

Dengan demikian, buruh sepakat pada pemilihan umum presiden nanti tidak akan memilih calon pemimpin yang berasal dari militer, Orde Baru, ataupun neo Orde Baru.

Demikian benang merah pembicaraan Kompas dan sejumlah aktivis buruh dan anggota Komisi VII DPR Rekso Ageng Herman di sela Aksi Damai Kaum Buruh dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Sabtu (1/5).

Menurut Koordinator Barisan Oposisi Bersatu, Dita Indah Sari, kepemimpinan di bawah ketiga unsur tersebut sudah pasti tidak akan menguntungkan bagi kaum buruh. "Dapat kita lihat, partai-partai politik yang menempati posisi teratas dalam pemilihan umum legislatif kemarin masih partai lama yang saat berkuasa sama sekali tidak menguntungkan kaum buruh," katanya.

Sementara, kata Dita, partai baru tidak pernah menunjukkan komitmen terhadap perjuangan buruh. "Jadi, memang saat peringatan Hari Buruh Internasional ini kami ingin menyerukan agar para buruh tidak memilih calon presiden juga wakil presiden dari partai-partai yang sudah terbukti gagal dalam kekuasaan yang lalu. Kami juga menyerukan agar jangan memilih calon yang mantan militer karena banyak pengalaman kami sudah terepresi, mendapat kekerasan secara militer, baik oleh polisi maupun aparat TNI," ujarnya.

Para pemimpin pada masa neo Orde Baru, menurut dia, sudah terbukti gagal dalam menyelesaikan krisis ekonomi. Selain itu, banyak aset negara yang dijual melalui privatisasi sehingga kemudian mencetak lebih banyak lagi pengangguran. "Sementara kalau dipimpin oleh militer, para buruh khawatir unsur kekerasan akan semakin kuat, seperti kasus yang dialami karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang diintimidasi saat memperjuangkan nasib mereka," ujarnya.

Ketua Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP-FKK) PT DI Arif Minardi mengatakan, selama 17 tahun menjadi buruh dengan berbagai warna kepemimpinan kondisi buruh tidak semakin baik.

"Saya merasa kondisi kami, para buruh, malah semakin buruk dengan bergantinya pemerintahan. Waktu zaman Soeharto yang notabene tidak benar itu saja kalau mau PHK (pemutusan hubungan kerja) karyawan BUMN dalam jumlah besar ada pertimbangan matang. Sekarang perusahaan, apalagi BUMN, dengan gampangnya memberhentikan pekerja karena kurangnya kontrol dari pemerintah," katanya.

Meskipun pesimistis melihat calon pemimpin yang ada saat ini, Arif tetap berharap pemimpin yang baru nanti dapat lebih mengajak para buruh untuk duduk bersama dalam penentuan kebijakan soal buruh. "Soalnya, selama ini pekerja tidak pernah tahu kebijakan perusahaan. Tiba-tiba perusahaan disebut bangkrut dan buruh diberhentikan," katanya.

Padahal, perusahaan kolaps karena terlalu banyak korupsi, bukan akibat jumlah tenaga kerja terlalu banyak. Khusus di PT DI saja, menurut dia, dalam lima tahun terakhir korupsi sudah mencapai Rp 2,3 triliun.

Sulit diterapkan

Rekso mengatakan, ke depan persoalan ketenagakerjaan diperkirakan makin kompleks. Alasannya sampai sekarang belum ada petunjuk pelaksana berupa keputusan menteri, peraturan pemerintah dan keputusan presiden untuk Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Nomor 2 Tahun 2004. Akibatnya, kedua UU tersebut masih sulit untuk diterapkan di lapangan.

Sementara Rancangan Undang-Undang Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri belum juga dibahas DPR. Padahal, pembahasan RUU itu melibatkan banyak stakeholder, yakni 11 departemen, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, serta pakar ketenagakerjaan.

Ia menambahkan, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja perlu direvisi untuk menghindari persoalan di lapangan. Sebab, di dua UU tersebut jenis perselisihan perburuhan berbeda jumlahnya dan jenisnya. "Sedangkan UU PPHI belum bisa diterapkan karena gedung pengadilan belum ada, hakim ad hoc belum dipilih, sehingga semuanya masih bermasalah,"kata dia. (ETA/TAV)

Senin, 19 Januari 2004

Pelangi Gerakan Perempuan Indonesia

ADA kemajuan dalam gerakan perempuan di Indonesia dibandingkan dengan lebih dari 15 tahun lalu. Ketika itu, ada kesenjangan di antara gerakan perempuan Indonesia karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Yang satu merasa lebih penting dari yang lain.

KOALISI Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) berhasil memadukan perempuan dari berbagai gerakan di akar rumput, bergabung dengan perempuan lain dalam organisasi perempuan. Ini dahsyat dan kemajuan dalam gerakan perempuan," tutur Erna Witoelar, aktivis gerakan lingkungan dan perlindungan perempuan pada tahun 1980-an yang kini menjadi Duta Besar Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Millennium Development Goals di Asia Pasifik. Erna berbicara membawakan pidato kunci saat pembukaan Kongres II KPI yang berlangsung di Cibubur, Rabu (14/1) hingga Minggu (18/1).

Pernyataan Erna Witoelar berada dalam konteks keberagaman gerakan perempuan yang berada di dalam payung KPI. Ada 15 sektor yang terangkum di dalam KPI yang mewakili masyarakat adat, para profesional dan akademisi, ibu-ibu rumah tangga, masyarakat miskin kota dan miskin desa, masyarakat petani dan nelayan, mewakili mahasiswa dan pelajar, mewakili perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dari sektor usaha informal, hingga kelompok lesbian dan transjender.

Melihat keberagaman yang terdapat di dalam KPI, apa yang dikatakan Erna tidaklah berlebihan. Yang berbeda dari organisasi sejenis yang pernah ada adalah para perempuan tersebut dilihat dan dihargai hak-haknya sebagai individu. Karena itu, ada sektor ibu rumah tangga, sektor untuk para profesional, selain juga ada sektor untuk para lesbian, transjender, termasuk pekerja seksual. Rasanya, inilah organisasi yang memiliki keanggotaan begitu beragam, lintas budaya, lintas kelas, lintas kepentingan, lintas usia.

Saat kongres pertama yang berlangsung di Yogyakarta pada 14-17 Desember 1998, hadir perwakilan perempuan dari 25 provinsi untuk membentuk organisasi alternatif. Koordinator Presidium Nasional KPI Ratna Bantara Munti dalam sambutannya menyebutkan, organisasi KPI dibentuk dengan dua latar belakang. Pertama, kentalnya semangat multikulturalisme dan pluralisme di dalam organisasi ini dan keinginan untuk menandingi ketunggalan wajah gerakan perempuan selama ini atau dengan kata lain membawa suara perempuan yang selama ini dibisukan, ke panggung politik nasional. Latar belakang kedua adalah menawarkan kepemimpinan alternatif dengan sistem presidium yang terdiri atas 15 wakil dari tiap sektor kepentingan.

Ketika kongres kedua dilaksanakan, menurut Sekretaris Jenderal KPI periode 1998-2003, Nursyahbani Katjasungkana, organisasi ini memiliki 16.000 anggota yang diorganisasi melalui sekretariat di 16 provinsi. Memperbesar keanggotaan merupakan salah satu tujuan KPI yang ingin tumbuh menjadi organisasi berbasis massa. Sudahkah organisasi berjalan seperti yang diinginkan ketika saat terbentuk?

PARA pembicara yang diundang menyampaikan pendapatnya, mewakili keberagaman sektor-sektor di dalam KPI. Ny Kardinah Soepardjo Rustam menuturkan pengalaman membangun organisasi perempuan di tingkat desa, sementara Mama Yusan Yeblo mewakili keberagaman gerakan perempuan Papua. Pembicara lain adalah Nursyahbani Katjasungkana, aktivis buruh Dita Indah Sari, akademisi dan peneliti dari Universitas Amsterdam Saskia Eleonora Wieringa, aktivis gerakan lingkungan Arimbi Heruputri, wakil dari Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana, wakil dari Centre for Electoral Reform Francisia Seda, dan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Golkar Nurul Arifin.

Di tengah kritik bahwa gerakan perempuan secara umumnya terlalu bias kelas dan kota besar, Jakarta terutama (Kompas, 5/1/04), dalam Kongres KPI pekan lalu Dita Indah Sari melontarkan pandangan kritis terhadap gerakan perempuan.

Menurut Dita, gerakan perempuan tidak bisa eksklusif, melainkan harus inklusif bekerja sama dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan buruh, gerakan prodemokrasi, dan gerakan-gerakan masyarakat lain untuk bersama-sama memperjuangkan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera. Juga membangun organisasi di akar rumput dengan mengaitkan persoalan sehari-hari dengan sistem politik seperti kekerasan dengan sistem pemerintahan yang militeristik, kenaikan harga kebutuhan pokok dan banyaknya orang miskin dengan ketidakmampuan mengelola ekonomi, serta tidak berjalannya sistem hukum.

Selain itu, gerakan perempuan perlu menyatukan kerangka gerakan untuk penyatuan jangka panjang, seperti memberi tawaran sistem ekonomi dan politik sebagai alternatif sistem yang ada saat ini yang tidak memuaskan. "(Kerangka bersama) ini yang belum ada, belum padu. Sekarang elite politik dan militer bertambah kuat bukan karena mereka kuat, tetapi karena kita lemah dan kita menjaga jarak terhadap kekuasaan dan membiarkan arena kekuasaan diambil kelompok nondemokrasi," kata Dita.

Namun, Nursyahbani tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan Dita. Dalam percakapan terpisah di tengah jeda hari pertama Kongres KPI, Nursyahbani melihat agak sulit menyatukan visi secara kaku dan tegas sebuah gerakan yang komponen-komponennya begitu beragam seperti KPI. Tiap komponen memiliki prioritas sendiri-sendiri di dalam benang merah keberagaman yang menyatukan mereka.

Menurut Nursyahbani yang juga caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk daerah pemilihan Jawa Timur ini, platform bersama yang kaku dan tegas akan lebih cocok untuk partai atau organisasi yang tingkat keseragamannya tinggi. "Ide saya adalah sebuah koalisi pelangi dengan platform masing-masing. Tetapi, kalau ada isu yang bisa diangkat bersama kita lalu bisa bersatu. Misalnya ketika KPI memelopori gagasan untuk adanya kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, gagasan ini lalu menyatukan berbagai elemen perempuan di dalam maupun di luar politik," tutur Nursyahbani. "Gerakan perempuan lemah bukan karena tak punya basis massa, tetapi karena ideologi dari gerakan itu sendiri mendukung atau tidak, seperti pada Kowani dan PKK."

Tantangannya lalu adalah bagaimana gerakan perempuan yang beragam ini bisa dengan cepat menangkap isu-isu yang dirasakan menjadi kepentingan bersama dan menjadi gerakan bersama. Contoh yang paling baik antara lain ketika ibu-ibu Suara Ibu Peduli menyuarakan keprihatinan mereka di Bundaran Hotel Indonesia pada tahun 1998 atas mahalnya harga kebutuhan bahan pokok. Isu tersebut dirasakan hampir semua perempuan sehingga gerakan tersebut menyuarakan kepentingan semua perempuan.

Pada tahun 1980-an, isu yang mengikat gerakan perempuan adalah membangun kesadaran politik perempuan tentang hegemoni Orde Baru terhadap perempuan, terutama ketika rezim itu mendomestikasi perempuan dengan menetapkan peran perempuan adalah pendamping suami dan bertanggung jawab terhadap generasi penerus bangsa. Isu-isu aktual seperti inilah yang harus diformulasi dari waktu ke waktu dan menjadi pengikat solidaritas gerakan perempuan.

GERAKAN perempuan ke depan akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Di dalam gerakan sendiri, pengorganisasian anggota tetap menjadi masalah karena harus berhadapan dengan persoalan budaya yang masih memandang politik adalah ranah para laki-laki sampai ke masalah administrasi organisasi seperti penggalangan dana yang sebetulnya bisa didapat dari iuran anggota.

Dalam arena isu-isu pergerakan sendiri, tantangan yang harus dihadapi bukan hanya isu-isu bersifat lokal, tetapi yang terasa semakin mendesak untuk segera dihadapi adalah isu-isu yang datang dari globalisasi.

Kamala Chandrakirana dari Komnas Perempuan mencatat lima tahun reformasi menghasilkan keberhasilan dan sekaligus kekalahan. Beberapa keberhasilan adalah tak ada lagi kekuasaan yang terpusat dengan adanya otonomi daerah, terpisahnya kepolisian dari militer, semakin dinamisnya gerakan sosial tani, buruh, masyarakat adat, dan perempuan, serta tumbuhnya semangat membela kemajemukan Indonesia.

Di sisi lain, reformasi masih belum membuahkan sistem peradilan yang mampu menghentikan siklus impunitas atas pelanggaran HAM sehingga mengakibatkan mengakarnya budaya kekerasan. Institusi negara pun gagal memberi sanksi tegas terhadap pelaku KKN, sementara pemerintah belum berhasil merumuskan ulang strategi ekonomi yang mengakibatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin terus melebar.

Komunitas intelegensi juga gagal menawarkan kepemimpinan bangsa yang mampu melepaskan Indonesia dari warisan sistem otoriterianisme Orde Baru, sementara warga pun gagal memaknai visi bangsa Indonesia yang damai dalam kemajemukan yang tampak dari merebaknya konflik dan kekerasan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan.

Globalisasi kapital melalui perusahaan multinasional dan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia yang dikuasai negara-negara kaya, mulai terasa dampaknya terhadap masyarakat secara langsung yang menyebabkan ekstraksi dari negara-negara berkembang, sementara negara kaya menutup pintu mereka untuk masuknya produk dan tenaga kerja dari negara berkembang.

"Definisi globalisasi bermacam-macam. Yang jelas, globalisasi dimotori kapital internasional yang bergerak semakin cepat keliling dunia mencari tenaga kerja termurah dan pasar serta keuntungan terbesar," kata Wieringa. Akibat dari globalisasi kapital itu bisa menjadi sebuah daftar panjang, mulai dari ketimpangan keuntungan antara negara-negara Barat dengan Afrika dan Asia, munculnya kelas menengah di negara berkembang yang berkultur konsumtif dan tidak menginvestasi kekayaan mereka untuk sesuatu yang produktif, perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, hingga munculnya gerakan agama dan kebudayaan yang konservatif dengan tafsiran agama yang patriarkhal, dan penciptaan baru kebudayaan "kuno" yang memperkuat kekuasaan patriarkhal.

"Semua proses ini engendered, punya relasi dan akibat yang memperkuat kekurangan kesetaraan jender. Akumulasi kapital ini dibangun atas kerja keras dan eksploitasi kerja perempuan dan buruh miskin laki-laki dan perempuan. Gerakan tradisional untuk melawan globalisasi akhirnya dibangun atas penindasan jiwa dan tubuh perempuan; perkembangan fundamentalisme agama membelokkan perhatian dari perlawanan sosial-ekonomi dan hak-hak perempuan," kata Wieringa.

BAGAIMANA perempuan bisa berperan untuk membangun masyarakat yang lebih demokratis? Baik Kamala, Wieringa, maupun Arimbi Heruputri menyarankan untuk membangun gerakan di tingkat lokal.

"Gerakan perempuan memfokuskan diri pada isu kewargaan, yaitu apa makna menjadi perempuan biasa dan sebagai warga negara, mempertanyakan hak-hak sebagai perempuan dan warga negara, apa kontribusi terhadap kehidupan kewarganegaraan.

Untuk ini tidak perlu menjadi politisi yang hebat-hebat, tetapi mulai dari politik keseharian seperti bagaimana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dikaitkan dengan sistem politik negara," kata Kamala.

Baik Kamala maupun Wieringa menyebutkan bahwa dalam berelasi dengan negara, perempuan bisa bekerja bersama-sama, tetapi tanpa kehilangan kemandirian. Hubungan itu harus sangat kritis dan terus-menerus melakukan analisis terhadap sepak terjang negara. Keduanya juga menyarankan untuk bekerja sama dengan gerakan sosial lain di luar gerakan perempuan karena kekuatan kapital global dan gerakan antidemokrasi sangat kuat.

Dalam gerakan yang lebih konkret, pengalaman lima tahun sebagai Sekretaris Jenderal KPI, menurut Nursyahbani, memberikan pembelajaran gerakan yang berkonfrontasi langsung dengan pemerintah tidak selalu produktif.

Akan lebih produktif bila lebih banyak perempuan di jajaran birokrat dan lembaga-lembaga politik yang memiliki perhatian terhadap masalah perempuan dan kelompok marjinal lain.

Pengalaman terakhir, demikian Nursyahbani, menunjukkan para perempuan di parlemen lebih mudah berbicara dengan laki-laki anggota parlemen untuk menyampaikan isu menyangkut perempuan. Dalam hal ini, gerakan perempuan di akar rumput bisa menjadi mitra yang kritis untuk para perempuan di birokrasi dan lembaga politik. Perjuangan gerakan perempuan masih panjang dan tantangannya semakin berat.

Seperti dikatakan Kamala, yang akan menuai buah dari gerakan ini bukan generasi saat ini, tetapi generasi yang akan datang. Ini pun sudah cukup menjadi alasan untuk menggalang kerja sama lintas budaya, kelas, jender, sosial, untuk masyarakat yang lebih demokratis. (NMP)

sumber: Harian Kompas Senin, 19 Januari 2004