Kamis, 24 Mei 2007

Buruh Perempuan; Kemanusiaan dan Produktivitas yang Tersia-sia

Oleh : Dita Indah Sari

Penulis adalah Dewan Pertimbangan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Ketua Umum PRD.

Tulisan ini bermaksud menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme.

Globalisasi neoliberal, sebagai sekumpulan strategi ekonomi dan politik, telah lama dianggap sebagai penyebab utama kemiskinan, stagnasi ekonomi, bahkan timbulnya kekerasan dan perang di berbagai belahan bumi. Sejumlah ekonom, aktivis, politisi dan penulis seperti Vandana Shiva, Noam Chomsky, Hugo Chavez, Walden Bello, James Petras, Susan George, Naomi Campbell, dan banyak lagi, telah memublikasikan setumpuk argumen, data dan fakta yang menguatkan penilaian ini. Meskipun lembaga-lembaga keuangan internasional dan pemerintah setempat selalu mencoba untuk menyajikan fakta-fakta yang bertolak belakang, namun fakta bahwa daya beli dan produktivitas rakyat kian hari kian menurun, tidak mungkin lagi bisa dibantah, dimanipulasi atau ditutup-tutupi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membongkar kembali berbagai data dan statistik tentang tingkat kemiskinan yang telah ramai dipublikasikan sebelumnya. Sebaliknya, saya ingin sekali lagi menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme. Ini juga sekaligus untuk menjawab tuduhan dari pemerintah dan sejumlah ekonom tentang keengganan masuknya investor ke Indonesia akibat sejumlah peraturan yang dianggap terlalu pro buruh. Politik kambing hitam dan stigmatsasi semacam ini mesti selalu kita luruskan, agar mereka yang sesungguhnya adalah korban, tidak sekaligus harus memikul beban sebagai terdakwa.

Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberalisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.

Solusi neoliberalisme

Beberapa jalan keluar dari strategi ekonomi neoliberal yang telah umum diterapkan di negeri-negeri miskin adalah :

1. Pemotongan anggaran belanja Negara.

Menurut strategi neoliberal, kebijakan anggaran pemerintah diprioritaskan untuk melayani swasta, bukan untuk kepentingan publik yang “tidak produktif” dan tidak bisa memperbesar serta memperluas jangkauan operasi modal. Karena itu anggaran untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik lainnya harus dikurangi/dihapus. Bahkan menurut mereka, subsidi itu hanya akan memuat rakyat “malas” dan “tak produktif”.

Bagi para buruh, mahalnya biaya pendidikan adalah malapetaka, karena membuat kelompok ini menjadi sangat rendah daya tawarnya serta rentan akan tindak kekerasan dan ketidakadilan. Sebagai contoh, dari bulan Januari-April 2004, hanya 10,75% TKI kita yang ditempatkan di sektor formal di luar negeri. Selebihnya, yaitu 89,25% terdampar ke sektor informal. Di sektor informal ini, 93,5%-nya adalah buruh migran perempuan, yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tingkat pendidikan amat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa dan budaya Negara tujuan, serta akses informasi dan teknologi. TKI perempuan kita yang mayoritas hanya lulusan SD sangat diminati oleh para majikan di Malaysia dan Singapura, karena dianggap patuh dan rajin. Ketidaktahuan mereka tentang hak-haknya menghasilkan sikap pasif saat mengalami pelecehan dan kekerasan. Cerita-cerita pilu tentang buruh migran perempuan kita di luar negeri, adalah bukti bahwa minimnya anggaran pendidikan Negara berdampak langsung terhadap kemampuan para buruh kita melindungi dirinya dari berbagai bentuk pelecehan dan ketidakadilan, serta meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.

Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Tidak heran jika Nusa Tenggara Barat, yang 17% perempuannya buta huruf, adalah pemasok terbesar perdagangan perempuan.

Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Ini merupakan pernyataan lempar batu sembunyi tangan, karena policy ekonomi pemerintahlah yang menciptakan situasi ini, ditambah kebijakan upah murah yang membuat buruh sukar meningkatkan skillnya. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum.

Semakin mahalnya biaya kesehatan adalah bencana bagi perempuan, terutama akibat kerentanan alat-alat reproduksinya. Untuk dapat sehat dan produktif, perempuan membutuhkan pasokan gizi dan zat besi yang lebih dari laki-laki, karena berbagai perubahan hormonal yang drastis dalam siklus hidupnya (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Tingkat kesehatan yang rendah pasti berdampak pada produktivitas serta kemampuan berpikir dan kecerdasan. Seperti lingkaran setan, lagi-lagi, perempuan pun kemudian lebih banyak menempati pekerjaan-pekerjaan kualitas rendahan.

2. Pemotongan subsidi-subsidi pemerintah dan liberalisasi pasar/perdagangan

Menurut strategi neoliberal, intervensi pemerintah ke dalam pasar harus dihapus. Subsidi adalah pemborosan anggaran dan distorsi pasar. Padahal, subsidi mestinya dilihat sebagai basis bagi industralisasi dan modernisasi, agar keuntungan dari industri dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

Maka, subsidi untuk sektor pertanian pun secara perlahan dikurangi. Harga pupuk, bibit, sewa traktor dan pestisida pun menjadi lebih mahal, sehingga petani merugi. Biaya produksi dengan harga jual menjadi amat tidak seimbang. Hasilnya, semakin banyak petani yang menjual tanahnya, lalu menjadi buruh tani atau pergi ke kota.

Persentase perempuan yang mengerjakan lahan sendiri di pedesaan karenanya merosot dari 20,6 ke 0,3% di tahun 1991 (survey BKKBN). Hilangnya akses kepemilikan atas tanah membuat kesetaraan gender menjadi kian sulit digapai, di tengah konservatisme pola pikir pedesaan. Maka, dengan tingkat pendidikan yang minim, menjadi buruh tani, buruh migran, pembantu rumah tangga di kota dan buruh pabrik adalah beberapa alternative yang harus dikerjakan oleh perempuan desa. Pelacuran/prostitusi lalu menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan jika sektor-sektor di atas juga tak tertembus oleh mereka. Di sisi lain, meskipun rata-rata perempuan di pedesaan Asia bekerja 13 jam lebih lama dari laki-laki, namun itu tidak cukup untuk menjamin kesetaraannya dalam negosiasi soal kepemilikan dan pengelolaan tanah. Dalam banyak kasus pertanahan, laki-laki sebagai kepala keluargalah yang kerap memiliki hak penuh untuk menentukan. Di sini terlihat jelas, bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan dan sumber kehidupannya dirampas, bukan saja oleh policy ekonomi Negara, namun juga oleh struktur social yang patriarkis.

Minimnya intervensi pemerintah juga mengakibatkan sektor riil ambruk. Pengurangan subsidi BBM, listrik, air dan telepon, serta tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor, membuat industri dalam negeri kita amat rapuh. Saat krisis ekonomi melanda, maka kebangkrutan industri dalam negeri ini menyisakan jutaan buruh yang ter-PHK. Pemerintah, dengan alasan menolak mengintervensi pasar, tetap tidak bersedia memberikan proteksi dan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Maka, sektor manufaktur, khususnya garmen, tekstil dan sepatu, dimana mayoritas buruhnya adalah perempuan, menjadi korban langsung dari situasi ini. Serbuan barang impor yang harganya lebih murah dengan kualitas baik, mempercepat kematian sektor riil kita.

Di sektor-sektor manufaktur lainnya, pengingkaran terhadap hak-hak buruh perempuan semakin sering terjadi. Akibat struktur industri nasional yang rapuh dan situasi krisis, maka sistem kerja kontrak menjadi pilihan ideal dalam hubungan kerja. Sistem kerja permanen dianggap tidak efisien dan tidak praktis. Maka, dalam kontrak-kontrak kerja, hak-hak buruh perempuan atas jaminan dan perlindungan reproduksinya, diabaikan. Proses produksi menjadi semakin terpecah ke dalam unit-unit skala kecil, semacam home industry. Relasi kerja menjadi semakin informal, meskipun tetap dijalankan oleh perusahaan resmi. Akibatnya, buruh perempuan yang hamil dan melahirkan sama sekali tidak ditanggung oleh pihak perusahaan. Bahkan, kehamilan sering dianggap sebagai penghambat produktivitas dan berpotensi menimbulkan resiko-resiko yang tidak dikehendaki di tempat kerja, sehingga kontrak kerja sering mencantumkan larangan untuk hamil selama batas waktu berlakunya kontrak.

Dengan situasi semacam ini, potensi para pekerja perempuan untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, betul-betul dihambat. Meskipun krisis ekonomi neoliberal mendorong semakin banyak perempuan untuk bekerja di luar rumah, namun nilai produktivitas dan sumbangannya tetap dianggap kecil bagi perputaran roda ekonomi. Terintegrasinya perempuan ke dalam lapangan kerja tidak serta-merta memperbaiki posisi sosialnya serta memberangus patriarki. Mengapa? Pertama, karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor-sektor rendah keterampilan. Kedua, karena posisi tawarnya sendiri di tempat kerja amat rendah akibat antrean jutaan pengangguran. Ketiga, karena aksesnya terhadap kepemilikan modal dan teknologi semakin dijauhkan, akibat keterbatasan pendidikan, kesehatan dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.

Maka, sudah pada saatnya tatanan ekonomi neoliberal serta para pendukungnya digugat keras. Reshuffle kabinet yang barusan dilakukan oleh Presiden SBY justru menunjukkan semakin teguhnya komitmen pemerintah ini untuk menerapkan strategi ekonomi neoliberal. Harapan perubahan bagi kaum perempuan, khususnya para pekerja perempuan yang dijjanjikan oleh SBY dalam masa kampanye, menjadi kian jauh untuk dijangkau. Sudah saatnya organisasi-organisasi perempuan secara tegas menyatakan bahwa pemerintah SBY tidak lagi bisa dipercaya untuk menjalankan janji-janjinyua sendiri, dan bahwa kita membutuhkan pemerintahan lain yang berani mengatakan “tidak!” kepada Bank Dunia, WTO, IMF dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.