Sabtu, 04 September 2004

HAK MOGOK DI TENGAH SITUASI KRISIS

Oleh : Dita Sari

Secara formal, berbagai perangkat UU maupun Konvensi telah mencantumkan hak mogok di antara pasal-pasalnya. Di hampir seluruh negeri, mogok resmi dinyatakan sebagai hak buruh, meski dalam prosedur dan pelaksanaannya sering timbul tindakan-tindakan yang tidak konsisten, bahkan represif, dari pengusaha maupun penguasa. Walaupun demikian, pengakuan formal Negara terhadap hak mogok telah menyediakan amunisi bagi gerakan buruh untuk terus menagih konsistensi dan menggugat perlindungan terhadap hak mogok itu sendiri, terlepas dari upaya tak kenal lelah dari pemerintah maupun pengusaha untuk mempersempit ruang kebebasan melakukan pemogokan. Jika gerakan buruh mampu berkembang menjadi gerakan sosial politik yang diperhitungkan, maka kedua proses tarik menarik ini akan menghasilkan konsesi (baca : kebebasan) yang lebih besar bagi kaum pemogok. Namun jika gerakan buruh semakin melemah dan terpecah-pecah, maka bersiap-siaplah menuai represi sebagai konsekuensi melakukan pemogokan.

Secara prinsip, dalam situasi apapun, mogok tetap merupakan hak buruh. Judul di atas bukan bermakna mempertanyakan sejauh mana hak itu tetap dimiliki oleh buruh di tengah krisis ekonomi yang kian parah. Tulisan ini bermaksud untuk memberi gambaran sejauh mana situasi krisis ekonomi menjamin atau mengancam perlindungan hak mogok. Juga untuk menganalisa sejauh mana efektivitas penggunaan hak mogok dalam memenangkan tuntutan buruh di tengah kolapsnya dunia usaha. Menempatkan pemogokan sebagai senjata yang tepat, dengan sasaran dan waktu yang tepat, akan memberi peluang besar bagi kemenangan kasus yang tengah dihadapi, sekaligus positif dalam membangkitkan semangat gerakan buruh secara keseluruhan.

Krisis Globalisasi dan Demokrasi

Selama ini banyak anggapan yang menyatakan bahwa perkembangan globalisasi otomatis akan menciptakan demokratisasi. Globalisasi dimaknai sebagai menghilangnya batas-batas negara, yang berarti tiap-tiap negara semakin membuka dirinya untuk menyerap berbagai produk yang membanjir masuk, dimana nilai-nilai demokrasi adalah salah satu di antaranya. Globalisasi, yang mengharuskan pengurangan campur tangan pemerintah dalam kehidupan sipil, dianggap bakal menyediakan dukungan bagi penciptaan demokratisasi.

Kenyataannya adalah : demokrasi bukan anak kandung globalisasi. Demokrasi adalah gagasan dan praktek politik yang telah hadir jauh sebelum globalisasi neoliberal menunjukkan kuasanya di muka bumi. Demokrasi adalah hasil dari kemenangan kapitalisme melawan sistem tuan tanah (feodalisme) di Eropa pada abad ke-18. Sejarah demokrasi adalah sejarah kemenangan hak-hak individual kelas menengah-atas Eropa melawan hak-hak istimewa para raja dan kaum bangsawan yang diklaim sebagai pusaka warisan Tuhan. Sebagai gagasan, ia bahkan diciptakan oleh para filsuf berjanggut dari Yunani, jauh sebelum kelahiran Yesus dan Muhammad.

Karenanya, globalisasi tidaklah secara otomatis melahirkan demokrasi sepenuh-penuhnya. Justru dalam situasi krisis global, berbagai tidnakan-tindakan anti demokrasi terjadi di seluruh belahan bumi. Krisis ekonomi telah mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk menghidupkan industri-industri pembuatan alat-alat perang, untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya (baja, listrik, logam), serta menikmati keuntungan yang besar dari penjualan senjata. Perang Irak dan Afghanistan bukan diciptakan semata-mata demi penguasaan dan pengamanan jalur minyak. Namun lebih dari itu, untuk memastikan agar produksi dan transaksi penjualan senjata dapat bergulir, sehingga timbul nilai tambah dan keuntungan besar bagi sejumlah kapitalis dalam negeri Amerika.

Parlemen di negeri-negeri Eropa dan AS kemudian mengesahkan berbagai produk perundang-undangan anti teroris, termasuk Indonesia. Era kebebasan sipil telah berlalu, karena kini atas nama upaya memberantas terorisme yang mereka ciptakan sendiri, kontrol, pengawasan dan campur tangan negara dalam kehidupan sipil, kian besar.

UU 13/2003

Kepentingan untuk mengendalikan gerakan buruh menjadi lebih besar dari yang sebelumnya. Para kapitalis global yang panik akibat ketidakmampuan pasar menyerap barang-barang produksinya, menuntut kemudahan-kemudahan berusaha, segala fasilitas, termasuk membatasi hal-hal yang dapat memberi peluang bagi pembesaran gerakan buruh. Kapitalisme yang tengah sakit renta karena keusangannya menuntut perlakuan-perlakuan istimewa, pasar domestik yang ramah produk asing, pasar tenaga kerja yang fleksibel, kemudahan bea impor, penghapusan subsidi, dll. Dalam situasi ekonomi politik global semacam inilah, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan diajukan dan akhirnya disahkan.

Hak Mogok diatur dalam pasal 137-145. Meskipun dinyatakan bahwa mogok kerja adalah hak dasar buruh, namun hak ini dilaksanakan di bawah kondisi : sebagai akibat dari gagalnya perundingan. Padahal dalam banyak kasus, pengusaha tidak mau bertemu apalagi berunding dengan SP/SB. Pembatasan kondisi ini juga bermakna bahwa pemogokan untuk memprotes kebijakan publik yang merugikan seluruh rakyat (kenaikan listrk, air, BBM) adalah tidak dikenal alias dianggap tidak sah. Juga pemogokan sebagai bentuk solidaritas atas nasib sesama kaum buruh, juga tidak dimungkinkan.

Pasal 136 ayat 2 juga membuat hak mogok menjadi sulit diterapkan alias mustahil. Pasal ini menyatakan bahwa ketika perundingan mengalami deadlock, maka penyelesaian perselisihan harus dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dimana tak ada ruang untuk mogok.

Pasal 140 yang mengharuskan pemberitahuan 7 hari sebelum pemogokan juga suliat diterima akal. Salah satu isi pemberitahuannya adalah penetapan tanggal kapan berakhir pemogokan. Padahal kapan pemogokan diakhiri tidak sepenuhnya bergantung pada para buruh, namun sangat dipengaruhi oleh reaksi pengusaha dan penguasa atas tuntutan para buruh. Jika dalam prakteknya, pemogokan ternyata berjalan lebih lama daripada yang tercantum dalam surat pemberitahuan, berarti pemogokan itu dianggap liar dan tidak sah lagi, sehingga terbuka kemungkinan untuk dibubarkan.

UU 13/2003 menunjukkan kepada kita dua hal. Pertama, pengakuan dan perlindungan hak mogok sama sekali tidak konsisten dan bermuka dua. Kedua, globalisasi mensyaratkan situasi dan pasar tenaga kerja yang fleksibel, di antaranya adalah kepastian agar hak mogok tidak dapat digunakan dengan mudah dan sederhana oleh buruh

Negara Harus Bertanggungjawab

Banyaknya penutupan perusahaan semakin membuktikan bahwa amat besar keterbatasan institusi swasta dalam memenuhi hak-hak mendasar masyarakat. Penyediaan hak-hak dasar seperti pangan, perumahan, pekerjaan layak, kesehatan dan pendidikan adalah tanggung jawab negara yang tak tergantikan. Keterlibatan swasta selamanya bersifat temporer, terbatas cakupan dan luasnya, semata-mata mendukung. Karenanya, PHK-PHK massal yang terjadi hingga saat ini, haruslah membuka mata para buruh bahwa sasaran-sasaran tuntutan kita bukan lagi hanya pada perusahaan, namun juga pada lembaga-lembaga negara.

Pemogokan dan aksi-aksi kaum buruh, karenanya, jangan lagi sebatas menggelar tuntutan kepada para pengusaha untuk memberikan uang pesangon. Kekurangan jumlah pesangon yang diberikan perusahaan semestinya disubsidi oleh Negara, jika perusahaan sungguh tidak mampu. Tekanan-tekanan buruh ke kantor-kantor Departemen Sosial, Departemen Keuangan, Kantor Menko Kesra, bahkan ke Cikeas dan Istana presiden, adalah langkah panjang yang harus ditempuh para buruh saat ini. Tidak cukup lagi sekedar menggoyang pagar Depnaker, karena dalam banyak kasus institusi ini tidak lebih dari sekedar keranjang sampah dari kegagalan kapitalisme. Negara harus memprioritaskan anggarannya bagi pemenuhan hak-hak mendasar rakyat, bagi yang sedang bekerja ataupun yang tengah menganggur.

Sekecil dan seterbatas apapun hak mogok yang kita miliki, harus sungguh-sungguh dimanfaatkan secara maksimal. Di tengah kebangkrutan industri dalam negeri, campur tangan negara dalam melindungi rakyat dari serbuan globalisasi dan pasar bebas, semestinya lebih besar dari yang selama ini ada. Karenanya, hak mogok bukan lagi sekedar taktik untuk memenangkan tuntutan terhadap pengusaha, namun juga senjata untuk menagih janji perubahan yang telah digembar-gemborkan oleh presiden baru SBY selama ini.