Minggu, 06 April 2003

Dita Sari: Saddam Dibutuhkan sebagai Pemimpin

SEBELUM agresi militer koalisi AS dan Inggris menyerbu Irak, aktivis buruh Indonesia Dita Indah Sari berada di Negeri Seribu Satu Malam selama lima belas hari. Banyak hal yang berhasil dia tangkap. Apa pandangan rakyat Irak tentang pemimpin mereka, Saddam Hussein? Apa pula reaksi rakyat atas perang yang mengancam? Berikut wawancara Suara Merdeka dengan perempuan yang dulu sangat ''bermasalah'' bagi Orde Baru itu, di Sekretariat DPP Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan.

Baru-baru ini Anda mengunjungi Irak, mengapa ke sana?

Saya ke Bagdad bersama Asian Peace Mission atau misi perdamaian dari Asia. Misi ini melibatkan beberapa negara-negara Asia seperti Filipina, India, Pakistan, Thailand, dan Indonesia. Kelima negara tersebut, ada yang diwakili secara lengkap oleh unsur parlemen, aktivis civil society, dan NGO. Dari Indonesia hanya saya. Itu pun dari NGO atau lembaga swadaya masyarakat perjuangan buruh

Kedatangan kami ke Irak adalah sebagai upaya terakhir untuk mencegah agresi militer AS dan Inggris ke negara tersebut. Selain itu, juga sebagai upaya menggalang solidaritas dengan rakyat Irak. Kami juga berhasrat mengetahui lebih dalam segala yang dirasakan rakyat Irak. Kami ingin tahu pendapat-pendapat murni yang keluar dari mulut rakyat Irak mengenai pemimpin dan negeri mereka. Kami meninggalkan Irak 19 Maret lalu.

Apa saja Anda lakukan?

Saya dan kawan-kawan melihat dan mendengar langsung dampak sanksi ekonomi yang sudah dua belas tahun dikenakan kepada Irak. Pendapat-pendapat mereka tentang perang dan persiapan mereka menghadapi perang juga menjadi perhatian kami.

Bagaimana sikap rakyat Irak terhadap perang?

Sebelum perang berlangsung kondisi mereka sudah parah akibat embargo. Terjadi penurunan kualitas hidup rakyat Irak. Banyak anak kekurangan gizi, sehingga diperkirakan mencapai 25% dari jumlah keseluruhan anak. Banyak anak putus sekolah. Yang ini malah lebih besar lagi, sampai 30%. Seperti itulah gambaran masyarakat Irak. Saat kami bertanya, apakah banyak yang masih optimistis, mereka bilang, ''Ya kami masih optimistis menghadapi hidup''. Kalaupun ada yang pasrah atau kesannya menyerah, hanya sedikit.

Apakah motivasi rakyat berperang itu sebagai tanda kesetiaan kepada Saddam atau lebih disebabkan oleh semangat nasionalisme Irak?

Hal itu juga yang sering kami tanyakan kepada seluruh lapisan masyarakat Irak. Begitu juga tentang pandangan mereka terhadap Saddam. Termasuk dari kalangan orang muda intelek sampai masyarakat yang bodoh, saat menghadapi Saddam terbelah menjadi dua.

Pertama, Saddam memang dianggap memiliki sisi buruk. Karena itu, mereka mengaku tidak suka, bahkan marah kepada Saddam. Dia dipandang sangat otoriter. Di Irak tidak pernah boleh ada oposisi dan konstitusi mereka juga mengatur khusus tentang itu. Oposisi dianggap sebagai tindakan subversi dan hukumannya sangat berat.

Jadi, demokrasi oleh Saddam memang dibungkam habis. Selain itu, rakyat juga marah, karena banyak politik luar negeri Saddam yang ujung-ujungnya membuat mereka hidup menderita. Seperti inisiatif Saddam menyerbu Iran yang menyebabkan perang Iran-Irak. Begitu banyak prajurit gugur, begitu banyak orang cacat, janda, dan anak yatim.

Mereka juga tahu kalau saat perang Iran-Irak, Saddam juga didukung AS. Saat itu AS sangat anti terhadap revolusi Iran yang sukses di bawah kepemimpinan Khomeini. Begitu juga ketika Saddam menginvasi Kuwait. Sampai akhirnya wilayah Irak dibombardir dan diembargo ekonomi.

Tetapi di sisi lain ada juga kebanggaan mereka terhadap Saddam yang dengan tegas berani melawan AS secara terbuka, di tengah negara-negara Arab lain yang menghamba-hamba kepada negara itu. Dan, sikap Saddam tersebut dinilai mampu membangkitkan harga diri bangsanya.

Mengenai nasionalisme?

Kalau bicara mengenai nasionalisme, hal itu tidak terlepas dari peradaban Irak yang sudah berumur ribuan tahun. Sejak masih bernama Mesopotamia, Irak sudah memiliki jiwa untuk mandiri sebagai negara besar yang selalu memberikan perlawanan sengit kepada para agresor.

Jadi, sejarah Irak dipenuhi dengan panglima-panglima perang yang memimpin rakyatnya melawan penyerbu asing. Seperti Salahudin Al Ayubi yang memimpin perang salib melawan gabungan negara-negara Eropa yang dipimpin Richard the Lion Heart. Banyak juga panglima perang mereka saat melawan imperalisme Inggris.

Selain itu, semangat Pan Arab dalam melawan zionisme Israel yang didukung AS juga melahirkan nasionalisme. Timur Tengah kan selalu menjadi ajang konflik. Penyebabnya adalah zionis Israel dan AS sebagai sekutunya. Jadi, perlu muncul tokoh Arab yang mampu menyatukan berbagai kepentingan untuk melawan musuh utama tersebut.

Saya yakin banyak warga negara-negara Arab lain yang mau berjuang untuk Saddam Hussein. Saddamlah yang dianggap sebagai tokoh paling bersemangat untuk mempersatukan Arab. Jadi, saya melihat militansi rakyat Arab itu bukan karena agama.

Perjalanan sejarah peradaban besar yang panjanglah penyebabnya. Selain itu, mereka memiliki kesadaran untuk mengalahkan musuh bersama. Ia juga merupakan perwujudan sikap murni bangsa-bangsa besar lain yang anti segala bentuk penjajahan.

Di Indonesia, saat Islam masuk, hinduisme jatuh. Begitu Belanda masuk, nilai-nilai Islam dan nilai luhur lain terkooptasi dan dijadikan penghamba.

Kalau di Arab nilai-nilai itu tidak mudah begitu saja terkikis. Sebab, kebudayaan mereka memang mantap. Saat ini kita juga mengalami penghancuran nasionalisme yang telah dipupuk Bung Karno, oleh rezim Soeharto. Padahal saat Bung Karno muncul, nasionalisme bangsa ini benar-benar sedang tumbuh-tumbuhnya dan masih perlu dipupuk lagi. Sayang, nasionalisme itu langsung dihancurkan rezim baru proimperialisme Barat.

Apakah saat mewawancarai mereka, Anda tidak dimata-matai oleh orang-orang pemerintah?

Kami berbicara dengan warga sipil dan orang-orang pemerintah. Orang-orang pemerintah selalu mendampingi kami dan bertindak sebagai penerjemah. Rakyat berani ngomong apa adanya kepada kami, walaupun disaksikan orang-orang pemerintah.

Ya, mungkin karena apa yang dikatakan juga objektif. Yaitu memandang Saddam dalam dua sisi. Selain itu, juga tidak ada kata-kata kasar yang ditujukan kepada Saddam. Mereka tetap menuturkan apa adanya, termasuk keluhan-keluhan mereka terhadap Saddam. Itu saja.

Namun, ada yang menarik. Ketika mereka mengatakan bahwa pada saat-saat seperti itu hanya Saddamlah yang mereka butuhkan untuk mempersatukan bangsa Irak. Saddamlah pemersatu bangsa Irak untuk menghadapi semua serangan. ''Tanpa Saddam, pastilah kami tercerai-berai menghadapi AS,'' kata mereka.

Rakyat menyatakan, mereka tidak ingin Saddam terusir dari Irak. Waktu kami di sana Saddam memang sudah secara tegas menyatakan tidak akan meninggalkan Irak. Jadi, walaupun juga membenci Saddam, di sisi lain mereka masih butuh Saddam sebagai pemimpin.

Dan, Saddam sudah jadi simbol nasional mereka. Kalaupun nanti terpaksa harus melakukan gerilya kota, tetap harus ada pemimpin karismatik. Bagdad bisa saja jatuh, tapi bila Saddam masih ada, perlawanan terjadi dan masih bisa mengklaim negara juga masih ada.

Apakah Anda pernah menemui rakyat Irak yang mengharapkan kehadiran AS?

Kami pernah berdialog dengan rakyat di alun-alun Bagdad, dekat pasar rakyat. Kami secara terbuka mengajak mereka berdiskusi soal AS dan janji-janjinya. Dari semua orang yang diajak bicara, tidak ada satu pun yang menggantungkan harapan pada AS. Apalagi percaya pada janji-janjinya.

Kami pernah berbicara dengan mahasiswa, bahkan ada mahasiswa program doktor. Biasanya kesadaran orang muda lebih kritis dalam menelaah. Saya tanyakan bagamana pendapat mereka tentang AS yang katanya mau meliberalisasi kehidupan di Irak. ''Bukankah AS ingin membuat kehidupan lebih demokratis?'' kata saya.

Mereka tidak begitu saja percaya. Mereka menilai orang yang gembar-gembor akan membebaskan Irak justru ingin memenjarakan Irak pada rezim baru.

Soal etnis di Irak, kan ada penganut Syiah, Kurdi, dan sebagainya. Apakah ada gejala disintegrasi?

Itu memang menjadi kekhawatiran juga, namun kecil sekali kemungkinan mereka untuk melakukan disintegrasi. Saddam identik dengan pemerintahan Suni. Mereka bukan mayoritas, tetapi menguasai pemerintahan. Saat ini memang ada oposisi dari kaum Syiah, tetapi tidak terang-terangan. Saddam itu antifundamentalisme.

Tetapi dalam situasi seperti itu, mustahil bila kaum Syiah mau mendukung AS untuk bersama-sama menjatuhkan Saddam. AS juga musuh wahid kaum Syiah. AS dulu mendukung rezim diktator yang dipimpin Syah Iran Reza Pahlevi yang menindas kaum Syiah dan ulamanya di negeri sendiri.

Kalaupun kaum Syiah Irak benci terhadap Saddam, berbagai referensi tentang sejarah kejahatan AS terhadap Syiah sudah cukup bagi mereka untuk tidak berpaling ke AS. Apalagi sampai bekerja sama. Yang jadi masalah, apakah mereka mau bergabung dengan Saddam untuk mempertahankan negaranya dalam menghadapi AS.

Bagaimana soal ide pemerintahan transisi yang nantinya akan diisi oleh kaum oposisi Irak di luar negeri seperti Hamid Karzai di Afganistan?

Itu kecil sekali kemungkinannya. Oposisi mereka sebagian besar berasal dari suku Kurdi. Di Kurdi sendiri ada beberapa faksi yang berselisih paham.

Lebih parah mana dengan Indonesia?

Bila dilihat dari segi demokrasi, di sana demokrasi memang tidak ada. Di sini kan kita masih boleh bilang turunkan Mega-Hamzah. Kalau di sana hal itu jelas tidak dimungkinkan, karena konstitusi secara tegas melarang dan ancaman hukumannya berat, bahkan sampai hukuman mati. (Hartono Harimurti-72k)