Sabtu, 24 Februari 2007

Di Balik Perjuangan Buruh Indonesia

Dita Indah Sari adalah salah satu Anak Bangsa yang masih peduli dengan Tanah Air Indonesia ini. Mungkin keberadaan Dita menjadi salah satu alasan kenapa Republik ini masih bertahan sampai hari ini. Biarpun pernah menjadi penghuni hotel predo di era Orde Baru, aktivis buruh ini tidak pernah membenci, dendam atau menyalahkan negara ini. Malah rasa nasionalisme-nya mulai terusik ketika melihat bagaimana baik sumber daya alam dan manusia negara ini dieksploitasi habis-habisan oleh imperalisme negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan Internasional berkedok bantuan/investasi asing. Sekarang ini Dita aktif menjadi Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan menjadi salah satu Ketua Umum Partai Politik di Indonesia.

Dita menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM) berjudul “Di Balik Perjuangan Buruh Indonesia” di Padepokan One Earth-Ciawi, Sabtu 24 Februari 2007. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Bapak Amin Hasan Bukhori, wakil pimpinan redaksi majalah Poultry Business.

Komitmen Dita dalam memperjuangkan hak-hak hidup buruh bersumber dari rasa empati dirinya yang begitu besar pada nasib sesama manusia dalam menjalani kehidupan, seperti yang dikatakan kemudian oleh Bapak Anand Krishna-spiritualis penggagas NIM. Dita sendiri bukan berasal dari keluarga yang kekurangan, tapi pengalaman pribadi dan interaksi dengan kaum buruh membuat dirinya berkomitmen untuk memperjuangkan nasib orang-orang yang termarginalkan ini. Untuk usahanya ini, Dita mendapatkan penghargaan Wertheim Award (1997), dan Magsaysay Award untuk kategori Emergent Leadership (2001). Dita juga sempat menolak Penghargaan dan hadiah uang dalam jumlah yang cukup besar yang diberikan Human Rights Award di tahun 2002, karena Award ini disponsori oleh sebuah perusahaan sepatu terkenal yang dianggapnya masih saja menindas kaum buruh di Indonesia.

Bagi Dita dan teman-temannya di kalangan pergerakan, definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerja di bawah perintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja dikaburkan di jaman Orde Baru sebagai upaya pengkotak-kotakan dan pecah belah, sehingga definisi terpecah menjadi buruh, pekerja, pegawai, kaum professional, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatan buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politik penguasa saat itu.

Padahal buruh itu besar sekali peranannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangun peradaban. Karena jumlahnya yang besar, maka buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Di jaman Orde Baru, kaum buruh dipersempit ruang geraknya dengan hanya diperbolehkan mempunyai satu serikat buruh saja. Serikat buruh yang lain langsung diberangus bila berani muncul. Tapi di jaman reformasi ini, data terakhir terdapat 100 serikat buruh di tingkat nasional saja, belum termasuk serikat pekerja/buruh di daerah-daerah. Tapi apakah dengan lebih banyaknya serikat pekerja, maka nasib buruh di Indonesia menjadi lebih baik? Jawabannya Tidak.

Di jaman reformasi telah terjadi de-industrialisasi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hasilnya, jumlah buruh yang mencari pekerjaan menjadi melimpah sehingga kekuatan bargin buruh menjadi jauh berkurang. Apalagi dari 100 serikat pekerja yang ada saat ini tidak padu dan terkesan bekerja sendiri-sendiri. Kemudian, diperparah dengan masuknya Dana Moneter Internasional (IMF) yang memaksa pemerintah Indonesia mencabut subsidi-subsidi, dan larangan impor barang-barang jadi. Akibatnya kaum buruh yang termasuk dalam kaum miskin perkotaan menjadi korban yang paling menderita.

Bagi kalangan pengusaha, memberikan pesangon pada buruh tetap amatlah berat. Di era pemerintahan Megawati, maka dibuat aturan khusus perburuhan yang memperbolehkan penggunaan sistem kontrak bagi buruh tidak tetap. Maka banyak pabrik-pabrik dan industri melakukan sistem outsourcing dalam merekrut pekerja-pekerjanya. Karena persaingan mendapatkan pekerjaan begitu ketat akibat melimpahnya tenaga kerja, maka kadang kala pekerja menyetujui suatu kontrak kerja yang kadang isinya melanggar ketentuan UU.
Persentase biaya yang harus dikeluarkan seorang pengusaha di Indonesia untuk ongkos buruh biasanya hanya berkisar antara 7-10% dari total biaya produksi. Kadang angka tersebut mencapai 15% untuk pekerja di Industri padat-karya/berteknologi tinggi.

Tapi hal terburuk adalah ketika Pemerintah terkesan enggan bersusah payah memberantas korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D). Biasanya BUMN yang berkinerja buruk akan dijual ke pihak swasta/asing dengan harapan korupsi di tubuh BUMN itu akan hilang begitu diserahkan ke pihak non-pemerintah. Tapi biasanya BUMN seperti ini tak laku dijual dengan harga yang wajar sebelum “disehatkan” terlebih dahulu. Pertanyaannya, bila bisa disehatkan atau sudah sehat kenapa harus dijual?

Kekhawatiran buruh rata-rata adalah ketika perusahaan berpindah tangan ke pihak lain, maka hak karyawan akan diubah dari karyawan tetap menjadi karyawan kontrak.

Sekarang ini, timbul kekhawatiran karyawan Pertamina bila BUMN ini diprivatisasikan. Pertamina sudah sering kali kehilangan kontrak sebagai operator pertambangan, maupun hak pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) ke seluruh Indonesia. Pertamina kalah bersaing dengan perusahaan minyak asing lainnya. Yang ditakuti adalah ketika Pertamina diprivatisasikan, maka Pertamina malah dijauhkan dari kontrak-kontrak kerja perminyakan atau dibangkrutkan sehingga tidak lagi menjadi tangan pemerintah untuk mengontrol sumber-sumber alam yang mempengaruhi kehidupan rakyat banyak.

Kejadian ini sudah terjadi dalam skala provinsi di Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya), di mana kontrol BUMD ini terhadap Air Bersih di Jakarta sudah beralih ke Thames PAM Jaya/TPJ (Inggris) maupun PAM Lyonnaisse Jaya/Palyja (Perancis). Padahal UUD’45 pasal 33 mengamanatkan bahwa sumber-sumber alam yang mempengaruhi kesejahteraan hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara.

Jadi persoalan buruh di Indonesia sebenarnya sudah mulai meluas menjadi masalah nasional karena sebagai warga Indonesia, kita sudah kehilangan kontrol atas tanah dan air di negara sendiri. Apa jadinya sebuah negara yang tidak punya kontrol atas tanah dan air di wilayahnya sendiri?

Contoh lain adalah ketika proyek Busway baru mulai berjalan. Texmaco yang mempunyai keahlian dan fasilitas untuk membuat bus penumpang sudah menawarkan bus buatan dalam negeri dengan harga kurang dari sepertiga harga bus impor dari Korea dan China. Tapi tawaran ini ditolak oleh Gubernur DKI Jakarta dengan berbagai alasan. Padahal dengan mendapatkan proyek pengadaan bus untuk Busway, kemungkinan besar Texmaco masih bisa diselamatkan dan 25,000 buruh mungkin masih bisa bekerja.

Demikian pula yang terjadi pada ASEAN Fertilizer di Aceh. Pabrik pupuk ini ditutup karena tidak adanya pasokan gas untuk memproduksi pupuk. Padahal Aceh adalah salah satu wilayah penghasil gas terbesar di Indonesia, tapi hasil produksinya sudah dijual kepada Korea dan Jepang secara jangka panjang. Penutupan pabrik ini mengakibatkan 4000 karyawan diputuskan hubungan kerja (PHK) dan mengurangi suplai pupuk yang sebenarnya esensial bagi negara agraria seperti Indonesia.

Bagi yang masih bekerja pun, nasib buruh tidak bisa dibilang lebih baik. Menurut survei yang pernah dilakukan di tahun 2006, misalnya, upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di DKI Jakarta sebesar Rp. 1,3 juta/bulan Sedangkan untuk tahun 2006, setelah subsidi BBM dicabut, maka angka itu diperkirakan berkisar antara Rp. 1,4-1,5 juta tanpa tunjangan sampai dengan Rp. 1,8-2 jt per bulan dengan tunjangan. Tapi sekarang ini Upah Minimum Komulatif (UMK) Jakarta hanya sebesar Rp. 925,000,-/bulan. Jadi biasanya para buruh menyiasati kekurangan itu dengan cara mengkredit/mencicil barang-barang kebutuhannya.

Tapi biasanya cara-cara kredit seperti ini hanya akan menjebak para buruh pada perangkap berikutnya, yakni Konsumerisme.

Masalah produktivitas buruh di Indonesia juga sering dipertanyakan. Dita pun menyetujui bahwa produktivitas sangat penting untuk diperhitungkan dalam UMK. Tapi harap diingat bahwa produktivitas kerja manusia sangat erat kaitannya dengan produktivitas mesin/teknologi yang digunakan. Jadi misalnya, sulit membandingkan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 1970-an di Indonesia dengan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 2000-an di Vietnam.

Para aktivis buruh sebenarnya sudah menyadari bahwa sekarang ini pemerintah adalah institusi di negara ini yang paling bertanggung jawab atas nasib buruh. Pengusaha sudah bangkrut, sehingga suplai buruh di pasar tenaga kerja menjadi meningkat. Pemerintah sendiri tidak mampu mengkontrol kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, mengimplementasikan program pendidikan gratis, ataupun jaminan kesehatan minimal. Jadi buruh sudah berada di posisi yang terjepit di antara krisis ekonomi, permainan politik, gejolak sosial, dll. Makanya dalam keadaan seperti ini, bila ada momen-momen kenaikan gaji, maka buruh menjadi tidak rasional dalam mengajukan tuntutan terhadap manajemen perusahaan.

Pemerintah juga diharapkan tegas dan memfokuskan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harusnya punya keberanian untuk menyelidiki dugaan tindak korupsi di BUMN maupun Bank-Bank swasta, di mana para pekerjanya sangat banyak. Jangan hanya fokus ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja. Tapi KPK sepertinya tidak berani mengusik terlalu jauh korupsi di BUMN-BUMN atau Bank-Bank Swasta karena mereka akan berhadapan dengan para penguasa lama.

Pemerintah sendiri juga tidak tegas dan terkesan kompromis terhadap tekanan kelompok-kelompok yang cenderung berusaha men-disintegrasi-kan negara ini ke arah kesukuan, kelompok tertentu maupun agama. Toleransi agama selama ini terjadi karena pemaksaan bukan karena kesadaran. Problem utamanya adalah kita tidak bangga menjadi orang Indonesia. Rakyat menjadi tidak percaya diri karena para pemimpin juga tidak percaya diri maupun tidak punya keberanian, seperti Eva Morales di Bolivia maupun Hugo Chavez di Venezuela. Tidak adanya karakater maupun kemandirian dari pemimpin bangsa, membuat bangsa ini menjadi bangsa yang pragmatis.

Bapak Anand Krishna dalam memberikan kata-kata penutup untuk diskusi kali ini sangat setuju dengan Dita Indah Sari bahwa problem utama dari permasalahan bangsa ini adalah tidak ada rasanya kebanggaan dalam diri rakyat Indonesia. Maka solusinya adalah membangkitkan kebanggaan menjadi Orang Indonesia dengan segala cara dan segala energi.

Rasa bangga bisa muncul ketika kita mempunyai kepercayaan diri dan keberanian. “Maka pemimpin seperti Dita, amatlah sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sekarang ini,” kata Bapak Anand Krishna. Pemimpin yang mau melayani sesama tanpa diskriminasi, tanpa pamrih, dan berani melawan kekuasaan tanpa memakai kekerasan.

Gandhi, misalnya, berani melawan Kerajaan Inggris dengan Swadeshi (self-sufficient) atau kemandirian ekonomi. Waktu itu kapas ditanam dan dihasilkan di India. Kemudian dibawa ke Inggris, untuk diolah menjadi Kain Katun atau pakaian jadi dan dijual kembali ke India dengan harga yang tinggi. Keuntungan dari penjualan kain dan pakaian ini nantinya akan kembali ke tanah Inggris. Gandhi mengetahui hal ini dan mengajak masyarakat India untuk menolak menggunakan produk impor kain/pakaian dari Inggris. Gandhi memberi teladan dengan memintal kain untuk membuat pakaiannya sendiri. Begitu juga ketika perdagangan garam di India dimonopoli oleh (penjajah) Inggris, maka Gandhi mengajak masyarakat India untuk berjalan bersama ke tepi pantai dan membuat sendiri garam dari air laut. Tindakan sederhana itu dilakukan tanpa kekerasan dan bertujuan untuk membangkitkan India dari cengkaraman Kerajaan Inggris.

Solusi lainnya adalah kita perlu pemimpin dan orang-orang yang punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Negara kita mengalami krisis seperti ini karena rasa empati seakan hilang. “As long as it doesn’t affect me, I don’t care,” begitulah biasanya pendapat kita. Sikap masa bodoh membuat bangsa ini menjadi melemah.

Makanya, penderitaan buruh karena sistem kontrak kemungkinan besar tidak akan diekspos atau dibongkar media karena industri media sendiri banyak menggunakan karyawan kontrak.
Dalam suatu kesempatan, Bapak Anand Krishna juga bertemu dengan seorang Bankir. Bankir ini memberikan 3 resep jitu kaum imperialis untuk menguasai Indonesia :

• Kelompok Agama harus dikuasai dan didengar oleh masyarakat. Kemudian kaitan bencana alam dan penderitaan dengan dosa dan kemurkaan Allah. Dengan cara –cara pembodohan massal seperti itu, masyarakat dengan mudah diperbudak oleh kelompok agama yang dikuasi oleh imperialisme-imperialisme asing.

• Kelompok Orang-Orang Pinter harus dibiayai. Berikan mereka beasiswa ke luar negeri, lalu beberapa tahun kemudian mereka akan pulang dan menjadi “the next mafia berkeley.” Ini terjadi karena selama beberapa tahun di luar negeri atau selama mendapat bantuan, orang-orang ini tanpa sadar akan dirubah sehingga terbiasa dengan standar kebutuhan hidup yang tinggi. Bila sudah terbiasa nyaman, maka dana bantuan akan langsung dihentikan. Cara seperti ini akan langsung menjatuhkan mental/semangat seseorang & kontribusi orang-orang pintar ini untuk membela ibu pertiwi akan berkurang karena mereka harus mencari nafkah bagi pemenuhan standar kehidupan mereka yang baru.

• Kelompok Orang-Orang Bodoh tapi punya jaringan atau koneksi yang luas. Biasanya adalah pengusaha-pengusaha nasional yang sudah hampir bangkrut tapi tiba-tiba mereka mendapatkan dana segar untuk mempertahankan kerajaan bisnis mereka. Kelompok ini seringkali menjadi kaki tangan imperialisme di Indonesia.

Indonesia memang sudah diplot untuk menjadi negara budak, dieksploitasi sumber daya alamnya untuk kemakmuran negara-negara imperialis. Kita sudah cukup lama dibohongi oleh kalangan tertentu bahwa bila kita fanatis terhadap ajaran agama/paham tertentu maka kita dpat lebih berguna bagi negara, atau agama. Padahal semua itu adalah cara-cara kaum imperalis yang berusaha melakukan pembodohan massal bagi rakyat Indonesia dengan cara menjauhkan diri kita dari tradisi kebudayaan Nusantara.

Dan, sekarang ini bukan hanya negara-negara Barat saja yang menjadi pelaku imperalis, tapi juga negara-negara Asia termasuk Arab Saudi. VS Naipaul, penulis buku Among the Believers (1981), sudah meramalkan negara-negara Islam seperti Iran, Pakistan, Malaysia, Indonesia akan mudah “diadu-domba” untuk dikuasai bila tradisi asli kebudayaan di negara-negara tersebut tidak dijaga dengan baik. Dalam suatu wawancara, Presiden Pakistan Pervez Musharraf menyalahkan Perdana Menteri Nawaz Sharif atas kekacauan-kekacauan yang terjadi saat ini karena sebelumnya telah memberikan banyak konsensi pada kelompok garis keras Islam, yang berusaha merubah kebudayaan Pakistan dengan kebudayaan Arab.

Demikian pula dalam Serat Centhini yang diterjemahkan oleh Dr. Suwito Santoso, memuat cerita bagaimana Sunan Kali Jaga berusaha memasukkan kembali gamelan ke dalam mesjid. Intinya, kembali ke nilai-nilai budaya asli akan memperkuat sendi-sendi pertahanan dan keamanan suatu negara. Presiden Soekarno harus mengutip Kitab Sutasoma dalam menyampaikan maksud beliau tentang pentingnya kebudayaan dalam pembentukan suatu negara dan perkembangan national character building, tapi kita sekarang lebih beruntung karena kita hanya perlu kembali memahami ajaran-ajaran Soekarno.

Solusinya memang hanya satu, yaitu menimbulkan kembali kebanggaan sebagai rakyat Indonesia. Kita perlu orang-orang yang berpaham altruisme (bekerja tanpa pamrih/tanpa mengharapkan bayaran) untuk membangun Indonesia menuju kejayaan. (ajb).

Diambil dari: Joehanes.blogsome.com