Senin, 24 November 2008

HUKUM YANG BERWAJAH MANUSIAWI

Dita Indah Sari*

Eksekusi mati akhirnya dilakukan. Pada tengah malam tanggal 10 Nopember, terpidana kasus terorisme Amrozi dkk, ditembak mati di Cilacap, Jawa Tengah. Hari-hari menjelang ketiganya digiring ke hadapan regu tembak menjadi saat-saat yang sibuk bagi media massa. Masyarakat mengamati, menunggu dan sebagian mendesah lega setelah eksekusi akhirnya benar terjadi.

Pro-kontra soal hukuman mati sudah biasa. Eksekusi mati memang mencekam, sarat kengerian, bahkan bagi para pelaksananya. Eksekusi terpidana mati kasus pembunuhan Astini dan Sumiarsih di Jawa Timur, juga mencuatkan pro kontra. Penolakan dilontarkan. Hak azasi, dalam hal ini hak hidup yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun, menjadi pegangan utama. Diperkuat pula dengan prinsip bahwa hukuman dari negara harus bersifat “memperbaiki”, bukan membalas dendam. Seluruh argumen ini, menurut saya, sepenuhnya tepat dan berlaku bagi siapapun, termasuk bagi para teroris yang mencabut ratusan kehidupan seperti Amrozi dkk.

Perspektif Lain


Mendukung hak hidup para teroris dalam kasus ini terasa absurd, menggelikan bahkan kontradiktif. Untuk apa memberi hak hidup pada sekelompok orang yang tanpa ragu dan penyesalan merampas hak hidup ratusan orang lain? Dalam kasus ini, 90% orang tampaknya akan berayun mendukung prinsip hukuman sebagai pembalasan dendam, nyawa dibalas nyawa (an eye for an eye).

Namun ada sudut pandang lain yang perlu dipaparkan. Pelaku terorisme seringkali memiliki keyakinan yang kuat atas kebenaran tindakannya. Kematian, karenanya menjadi konsekuensi yang siap dipikul, bahkan dalam tahap tertentu, dinantikan, karena mati sebagai syuhada diyakini akan dianugerahi surga sebagai ganjarannya. Bom bunuh diri karenanya menjadi pilihan yang paling banyak digunakan, bukan hanya di Indonesia tapi oleh pelaku terorisme di negara lain.

Saya tidak melihat ada perbedaan yang terlalu jauh antara pelaksanaan eksekusi mati dengan bom bunuh diri. Secara teknis keduanya sama-sama aktivitas pembunuhan yang direncanakan dengan teliti, baik waktu, jam, tempat, cara, pelaku, korban, saksi, maupun akibatnya, meskipun secara prinsip keduanya tentu bertentangan. Para teroris pelaku bom bunuh diri tahu persis kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati . Para korban hukuman mati kurang lebih juga tahu kapan, dimana dan bagaimana mereka akan mati.

Intinya, hukuman mati yang mencekam ini bukanlah sesuatu yang “asing” bagi para terpidana teroris. Kepastian soal waktu, tempat dan cara kematian adalah bagian dari perencanaan bom bunuh diri, bagian dari aktivitas terorisme itu sendiri. Detik-detik menjelang eksekusi tembak dan detik-detik menjelang pelaku bom bunuh diri menekan saklar bom, bukankah sesungguhnya tidak jauh berbeda bagi para teroris itu sendiri? Ditambah dengan keyakinan akan kebenaran jihad yang mereka lakukan, maka kematian di depan regu tembak bukanlah menjadi sesuatu yang “menghukum”. Jika kita memandang hukuman mati sebagai sebuah “keadilan dan ganjaran yang setimpal’ bagi kejahatan mereka, saya khawatir para teroris justru memandang pelaksanaan eksekusi mati sebagai semacam stairway to heaven.

Karenanya dalam hal ini hukuman mati menjadi kehilangan efektivitasnya, kehilangan efek jeranya karena para terpidana teroris memiliki sudut pandang yang berbeda tentang kematian dan kehidupan daripada orang kebanyakan. Dan tentu saja, kehilangan tugas dan semangat “memperbaiki”, sebagaimana seharusnya sebuah sistem hukum yang benar.

Penjara dengan Keamanan Maksimum

Maximum Security Prison (penjara dengan keamanan maksimum) semestinya menjadi hukuman alternatif bagi pelaku terorisme, pembunuhan sadis bahkan koruptor kakap. Dalam maximum security prison bukan saja aspek ketat dan berlapisnya keamanan yang menjadi prioritas, tapi juga ketatnya disiplin dan batasan bagi para penghuninya. Konsep penjara ini sangat berbeda dengan Lapas Cipinang atau lembaga-lembaga pemasyarakatan lain di tanah air, karena di sini para narapidana memiliki hak yang jauh lebih terbatas dibanding penghuni lapas tersebut, terutama dalam aspek komunikasi dengan dunia luar dan sesamanya, serta sulitnya mendapat keringanan hukuman.

Penjara model ini tengah dibangun di Nusakambangan, dan mudah-mudahan penyakit kolusi dan sogok menyogok yang menjadi tradisi penjara-penjara lain di tanah air tidak berlaku di sini. Sangat penting untuk menjaga agar kita memiliki maximum security prison yang sungguh-sungguh secure dari gerogotan kolusi dan suap karena ini menjadi taruhan dari efektivitas negara mengatasi kejahatan-kejahatan besar semacam terorisme, korupsi dan perdagangan narkotika. Lapas-lapas sarat kolusi yang kita miliki selama ini tampaknya hanya menghasilkan regenerasi kejahatan ketimbang memperbaiki manusianya.

Hukuman mati tidak menghentikan kejahatan terorisme. Hukuman mati bahkan tidak pernah terbukti efektif menghentikan kejahatan apapun. Selama ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, penindasan dan diskriminasi ekonomi dan ataupun militer oleh barat terhadap Bangsa Palestina, bangsa Irak, Afganistan, Amerika Latin –apapun agama yang dipeluk oleh rakyatnya, dan ketergantungan terhadap asing tidak diatasi, ladang subur bagi terorisme tetap tersedia.

Sambutan besar terhadap jenazah Amrozi dkk di kampung halamannya pasca eksekusi adalah tanda bahwa di sana kematiannya dinilai bukan sebagai ganjaran tetapi justru adalah pengorbanan. Di sana, dia bukanlah pembunuh tetapi pahlawan, martir.
Amrozi jelas bukan pahlawan, meskipun saya setuju bahwa kejahatan politik dan ekonomi pemerintah Barat harus dilawan. Namun saya sepenuhnya menolak jika bangsa dan rakyat negeri-negeri Barat menjadi tumbal atas apa yang dilakukan oleh pemerintah mereka.

Hukum harus memperbaiki apa yang telah dirusak oleh keadaan ekonomi dan politik. Itulah tugas hukum sepenuh-penuhnya, membuat manusia menjadi manusia.
Cukup sudah Astini, Sumiarsih, Fabianus Tibo, Amrozi, dll.

*mantan narapidana politik

1 komentar:

Unknown mengatakan...

hae mbag dita...
gue iKa...
semesteR 7 FE UNS..
Lam kenaL yah...

mmm... teRus teRang gue punya pandangan sendiRI tentang haL ini mbak dita..

oia, mbak sukses caLeg na ya!
mama gue Ir. Sri Hartini, CaLeG DPRD Sukoharjo No. URut 2, DapiL 1 SukohaRJo (Bendosari, Nguter, SukohaRJo)...
semangat!!!!!!