Senin, 03 November 2003

Efektifkah Bipartit sebagai Mekanisme Penyelesaian Konflik?

Oleh: Dita Indah Sari

KALANGAN pengusaha nasional (Apindo) dalam berbagai kesempatan telah melemparkan wacana perlunya mengedepankan bipartit sebagai mekanisme penyelesaian konflik. Bipartism bermakna penyelesaian konflik perburuhan melalui dialog dan negosiasi di antara dua pihak, buruh dan pengusaha, tanpa campur tangan atau diperantarai pemerintah. Bipartit secara formal bertujuan mencari solusi konflik tanpa mediator/wasit.

Dalam situasi krisis, saat jumlah pengangguran hampir mencapai angka 40 juta, relasi kerja yang longgar, fleksibel, dan individual adalah problem besar bagi buruh karena semakin melemahkan posisi tawarnya.

Kapitalisme Orde Baru

Namun, menarik untuk melihat satu situasi yang mendorong kalangan dunia usaha menekankan bipartit sebagai solusi bagi konflik perburuhan, yang berkonsekuensi mengurangi peran pemerintah dalam penyelesaian problem. Hal ini kontras dengan realitas bahwa selama tiga puluh tahun di bawah pemerintah Soeharto, dunia usaha menggantungkan eksistensi dan keberlangsungannya kepada pemerintah Orde Baru. Relasi yang harmonis dengan pihak istana dan petinggi militer (kronisme) menjadi syarat untuk memperoleh peluang berusaha, menikmati proteksi, tender, atau memenangkan kompetisi bisnis. Banyak perusahaan besar menempatkan perwira/mantan militer dan birokrat sebagai komisaris atau salah satu pemegang sahamnya meski tidak memiliki kompetensi apa pun.

Saat itu, struktur ekonomi nasional yang kuat dan berakar tidak pernah benar-benar dibangun, terutama di sektor pertanian, karena menggantungkan pendapatan dengan cara menguras kekayaan alam (minyak, tambang, dan hutan). Industri nasional lain, seperti sepatu serta tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak dibangun di atas basis teknologi dan perkembangan tenaga produktif yang maju karena industri dasar yang menjadi pendukungnya tidak integratif dan luput dikembangkan. Ketergantungan bahan baku, teknologi, pasar, dan modal terhadap asing amat besar, jadi lebih mirip industri perakitan.

Penyelesaian konflik perburuhan pada masa itu represif dan tidak demokratis. Polisi dan angkatan bersenjata menjadi unsur terdepan dalam meredam gerakan buruh. Hal ini diketahui jelas, bahkan didukung dunia usaha. Karena itu, pada zaman itu konsep Hubungan Industrial Pancasila bermakna keuntungan sebesar-besarnya bagi dunia usaha dan birokrasi dengan buruh yang murah dan patuh.

Karena itu, jika saat ini terjadi satu pergeseran drastis fungsi pemerintah di mata dunia usaha, ini merupakan satu hal yang berharga untuk dikaji. Aneka kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap kian kontraproduktif bagi perkembangan berbagai sektor industri. Ketidakjelasan berbagai peraturan baru yang dikeluarkan menimbulkan ketidakpastian hukum. Korupsi dan kolusi di kalangan birokrasi pusat hingga daerah menjadi parasit dan ekonomi biaya tinggi bagi peningkatan produktivitas dan keuntungan berbagai sektor industri. Penyelesaian konflik perburuhan yang diperantarai pemerintah juga dilihat sebagai satu mekanisme panjang, birokratis, dan mahal sehingga tidak efisien dan tidak kompetitif. Kalangan pengusaha menganggap penyelesaian konflik perburuhan melalui dialog langsung dengan serikat pekerja adalah penyelesaian yang lebih murah.

Dalam situasi seperti ini, penjualan domestik menurun karena minimnya daya beli masyarakat akibat kenaikan bahan bakar minyak, listrik, biaya sekolah, dan meningkatnya biaya produksi. Gabungan Perusahaan Farmasi pesimismis atas target pasar farmasi tahun 2003 sebesar Rp 17,8 triliun dapat dicapai karena daya beli rakyat rendah. Meski obat merupakan salah satu kebutuhan pokok, tampaknya tak menjadi prioritas rakyat karena tingginya harga kebutuhan pokok utama, yaitu pangan, sandang, dan perumahan (Bisnis Indonesia, 28/7). Adapun Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia Jawa Tengah mengeluhkan penjualan sektor ritel di provinsi itu, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, yang jauh dari target yang diharapkan (Kompas, 23/5). Hal ini diperparah dengan berbagai kebijakan liberalisasi perdagangan (liberalisasi impor) dan penyelundupan.

Akumulasi dampak krisis global yang tidak mampu diselesaikan pemerintah nasional telah berdampak pada penutupan sejumlah perusahaan domestik dan asing. Liberalisasi perdagangan menuntut pemerintah nasional untuk mengurangi/menghapuskan segala bentuk subsidi dan proteksi. Hal ini membuat pengusaha nasional yang tengah terdesak lalu melihat pemerintah sulit untuk diharapkan sebagai agen perubahan. Krisis kepercayaan semakin membesar.

Bagi kaum buruh

Jika di kalangan pengusaha, bipartit dilihat sebagai upaya yang relatif ideal dalam kondisi seperti ini, bagi kaum pekerja hal ini merupakan satu solusi pragmatis dan jalan pintas yang tidak akan banyak mengubah inti persoalan. Mengapa demikian?

Pertama, karena bipartit itu sendiri merupakan konsekuensi dari praktik globalisasi di level praktis, di mana fungsi negara sebagai pelindung orang miskin semakin tiada. Penegasan terhadap penggunaannya adalah sekadar memformalisasi hal-hal yang telah menjadi mekanisme global di tingkat nasional.

Kedua, jika pemerintah ada di luar proses penyelesaian, kekuasaan akan kian imun dari berbagai bentuk tekanan publik sehingga jika terjadi kemacetan atau dampak sosial akibat konflik tak terselesaikan, negara tak bisa dituntut tanggung jawabnya lagi.

Ketiga, penyelesaian dengan bipartit membutuhkan jaminan penegakan hukum kuat, situasi ekonomi yang stabil, dan serikat buruh yang kokoh.

Sementara selama ini, banyak pengusaha yang melanggar hak buruh tidak diproses secara hukum sehingga tidak ada keadilan. Serikat buruh pun belum mampu tampil sebagai kekuatan yang berwibawa dan efektif.

Dalam situasi seperti ini, bipartit tampaknya menjadi upaya untuk melepaskan diri dari keharusan berkonfrontasi dengan birokrasi yang tak efektif dan korup dalam menyelesaikan konflik. Bipartit tidak akan mengubah kebobrokan birokrasi, namun sekadar meminimalisasi kehadirannya. Meski demikian, ia tetap akan hadir dan dominan dalam bentuk lain karena ia merupakan tangan- tangan kekuasaan yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke unit terendah.

Meski demikian, pada level praktis, segala upaya untuk menyelesaikan persoalan secara lebih sederhana dan cepat penting untuk didukung. Dibutuhkan transparansi dari kalangan pengusaha dalam proses ini. Untuk jangka pendek, penyelesaian konflik dan menyangkut hal-hal yang lebih "teknis" sifatnya, bipartit dapat mempermudah dan memperlancar banyak hal. Bahkan fungsi bipartit sebenarnya dapat diperluas untuk mengkritisi atau menolak kebijakan pemerintah yang merugikan seluruh kelas sosial.

Namun, sebagai sebuah metode penyelesaian konflik, bipartit bukan pola tepat untuk penyelesaian seluruh konflik. Sebelum krisis, secara alamiah, posisi kaum pekerja lebih lemah dari kaum pengusaha yang menguasai alat produksi. Apalagi setelah krisis.

Karena itu, bagi kaum pekerja penyelesaian persoalan melalui bipartit harus dilihat secara selektif dengan memperhitungkan jika unsur negara dilibatkan cenderung akan merugikan kepentingan kaum pekerja. Hal ini harus dilihat sebagai solusi temporer. Mengapa?

Karena negara seharusnya menyediakan segala jaminan kebijakan politik dan infrastruktur sosial ekonomi yang dibutuhkan orang miskin, termasuk buruh dan dunia usaha. Hal ini diakukan agar konflik- konflik sosial tidak gampang meledak. Ini merupakan kebutuhan sekaligus tantangan kaum buruh. Sebuah tugas, di mana perjuangan politik bersama- sama dengan gerakan demokratik lain sudah saatnya dilancarkan dengan gigih sehingga sebuah pemerintahan yang berpihak pada kaum pekerja menjadi kenyataan.

Bagi kaum pekerja, situasi krisis sebenarnya tidak menyediakan banyak alternatif karena bargaining position yang kian lemah. Reformasi berbagai perangkat UU dan perubahan kebijakan mikro seperti pengurangan PPh dan kenaikan upah ternyata tidak membawa perbaikan kesejahteraan. Karena itu, solusi politik perlu menjadi agenda bersama dari gerakan kaum pekerja dalam rangka mendorong perubahan lebih mendasar. Gerakan buruh jangan lagi hanya terpaku pada upaya untuk menuntut hal-hal normatif yang menjadi kebutuhan mendesaknya.

Serikat buruh juga harus tampil sebagai kekuatan politik nyata yang dapat diperhitungkan berbagai kelompok yang ada, terutama pemerintah. Organisasi buruh bersama gerakan demokrasi harus dapat menawarkan satu alternatif bagi transformasi ekonomi politik yang lebih fundamental. Juga satu konsep pemerintahan baru yang dapat menjalankan agenda reformasi total yang telah diselewengkan elite politik yang berkuasa saat ini.

Persoalan kesejahteraan akan terjawab jika gerakan demokrasi mampu menjadi kekuatan yang dapat mengambil alih kepemimpinan dalam menjalankan agenda reformasi total.

Pertanyaan yang sama seharusnya diajukan kepada para pengusaha domestik, terutama kalangan menengah ke bawah, yang tengah menghadapi problem besar bagi kelangsungan hidupnya. Eksistensinya pun kian terpinggirkan oleh liberalisasi pasar dan perdagangan serta korupsi dan kolusi yang kian mencekik. Karena itu, kalangan pengusaha nasional jangan bersikap reaktif terhadap berbagai upaya gerakan demokrasi untuk melakukan perubahan secara mendasar. Justru sebaliknya, harus ada satu sikap tegas terhadap berbagai kebijakan makro ekonomi pemerintah yang lebih banyak menguntungkan kapitalisme global. Segala kebijakan politik yang hasil akhirnya membebaskan pelaku korupsi dan kolusi juga harus konsisten ditolak. Dukungan besar terhadap perjuangan demokrasi sudah saatnya diberikan meski untuk tujuan akhir yang mungkin berbeda. Terlebih jika pilihan lain jauh lebih buruk bagi kepentingan kaum pekerja maupun pengusaha.

Selasa, 01 Juli 2003

Dita Indah Sari

AKTIVIS buruh ini hobinya menyanyi. Pernah ikut marching band dan paduan suara di kampus, akhirnya ia berkenalan dengan gerakan mahasiswa. Dua awards dari luar negeri belakangan diterimanya sebagai penghargaan atas jasanya membela kaum buruh.

Dita terlahir dari keluarga kelas menengah, anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya anggota fraksi Golkar di DPRD Sumatra Utara dan ibunya bekerja di perusahaan asing. Secara ekonomi, ia tidak mengalami hambatan apa pun di masa kecilnya.

Keterlibatannya dalam gerakan diawali dengan diskusi-diskusi, belajar teori-teori progresif, bersama mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta. Dari kegiatan mahasiswa, ia terjun ke gerakan buruh, 1994. Hidup bersama mereka, Dita memberikan pendidikan politik, termasuk tentang hak-hak buruh. Di situlah ia menemukan korelasi antara kenyataan di lapangan dan teori yang dipelajarinya dari buku-buku.

Tinggal bersama buruh, di Citeureup, putri Medan ini pernah menemukan anak seorang buruh yang kekurangan gizi. Badannya tampak gembur sekali, karena orangtuanya tak mampu membeli susu, apalagi bedak. Simpatinya pun muncul. “Sejak itulah saya berjanji kepada diri sendiri untuk terjun memperjuangkan nasib kaum buruh,” kata Dita.

Pertama kali aktif di perburuhan, ia sempat sakit. Kesulitan menyesuaikan diri ia alami: mandi harus antre, minum air yang tidak sehat, lingkungan kumuh yang sering dilanda banjir sampai sebatas dada. Tapi, Dita pantang menyerah.

Demi komitmennya kepada gerakan, ia meninggalkan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Juga berhenti meminta uang dari orangtuanya. Ibunya sangat kecewa. Kehidupan yang sangat minim ia jalani, dari soal makan, transpor, sampai perlengkapan perempuan.

Tindak represif aparat kerap menimpanya tatkala Dita memimpin pemogokan buruh. Pada aksi buruh tekstil di PT Great Indah River di Jalan Raya Bogor, Februari 1995, ia ditangkap dan ditahan selama 24 jam di Polwiltabes Bogor. Karena memimpin aksi pemogokan di sejumlah pabrik di Tandes Surabaya, Maret dan Juli 1996, Dita bersama Coen Husain Pontoh dan M. Soleh ditangkap, diadili, dan divonis enam tahun penjara. “Kemudian kami bertiga dihukum di LP Medaeng, Surabaya,” tutur Dita.

Suatu ketika, LP Medaeng rusuh dan terbakar. Para narapidana melakukan “pemberontakan”. Blok yang ditempati Dita juga terbakar dan ia terperangkap. Setelah ruangan hampir terbakar, “Saya baru bisa dikeluarkan. Seluruh pakaian, buku, dan pledoi saya hangus,” papar pengagum Nelson Mandela dan Bunda Theresia ini.

Kejadian itu berakibat ia bersama Coen dan Soleh dituding sebagai provokatornya. Lalu Dita dipindahkan ke LP Wanita di Malang, sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke LP Tangerang. Di penjara Tangerang, ia pernah menolong napi yang melahirkan di kamar mandi. Ia bertugas memegang senter supaya dokter bisa menjahit dengan benar. Karena gemetar, arah senter tidak memfokus. Atas usul sang aktivis, si anak diberi nama Septi Budiman. Dita dibebaskan pada Agustus 1999.

Atas dedikasinya memperjuangkan nasib kaum buruh, Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia ini dua kali memperoleh penghargaan. Pertama, Wertheim Award, 1997. Kedua, hadiah prestisius Magsaysay Award dari Yayasan Ramond Magsaysay Filipina, 2001, untuk kategori emergent leadership. Dita dinilai bersikap teguh dan konsisten pada kepentingan rakyat pekerja dan dalam memperjuangkan demokrasi Indonesia.

Saat-saat senggang, di antara kesibukannya yang padat, Dita masih sempat menonton teater dan membaca karya sastra. Ia suka membaca puisi Pablo Neruda, Shakespeare. Olahraganya lari pagi.

diambil dari : TEMPO

Minggu, 06 April 2003

Dita Sari: Saddam Dibutuhkan sebagai Pemimpin

SEBELUM agresi militer koalisi AS dan Inggris menyerbu Irak, aktivis buruh Indonesia Dita Indah Sari berada di Negeri Seribu Satu Malam selama lima belas hari. Banyak hal yang berhasil dia tangkap. Apa pandangan rakyat Irak tentang pemimpin mereka, Saddam Hussein? Apa pula reaksi rakyat atas perang yang mengancam? Berikut wawancara Suara Merdeka dengan perempuan yang dulu sangat ''bermasalah'' bagi Orde Baru itu, di Sekretariat DPP Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan.

Baru-baru ini Anda mengunjungi Irak, mengapa ke sana?

Saya ke Bagdad bersama Asian Peace Mission atau misi perdamaian dari Asia. Misi ini melibatkan beberapa negara-negara Asia seperti Filipina, India, Pakistan, Thailand, dan Indonesia. Kelima negara tersebut, ada yang diwakili secara lengkap oleh unsur parlemen, aktivis civil society, dan NGO. Dari Indonesia hanya saya. Itu pun dari NGO atau lembaga swadaya masyarakat perjuangan buruh

Kedatangan kami ke Irak adalah sebagai upaya terakhir untuk mencegah agresi militer AS dan Inggris ke negara tersebut. Selain itu, juga sebagai upaya menggalang solidaritas dengan rakyat Irak. Kami juga berhasrat mengetahui lebih dalam segala yang dirasakan rakyat Irak. Kami ingin tahu pendapat-pendapat murni yang keluar dari mulut rakyat Irak mengenai pemimpin dan negeri mereka. Kami meninggalkan Irak 19 Maret lalu.

Apa saja Anda lakukan?

Saya dan kawan-kawan melihat dan mendengar langsung dampak sanksi ekonomi yang sudah dua belas tahun dikenakan kepada Irak. Pendapat-pendapat mereka tentang perang dan persiapan mereka menghadapi perang juga menjadi perhatian kami.

Bagaimana sikap rakyat Irak terhadap perang?

Sebelum perang berlangsung kondisi mereka sudah parah akibat embargo. Terjadi penurunan kualitas hidup rakyat Irak. Banyak anak kekurangan gizi, sehingga diperkirakan mencapai 25% dari jumlah keseluruhan anak. Banyak anak putus sekolah. Yang ini malah lebih besar lagi, sampai 30%. Seperti itulah gambaran masyarakat Irak. Saat kami bertanya, apakah banyak yang masih optimistis, mereka bilang, ''Ya kami masih optimistis menghadapi hidup''. Kalaupun ada yang pasrah atau kesannya menyerah, hanya sedikit.

Apakah motivasi rakyat berperang itu sebagai tanda kesetiaan kepada Saddam atau lebih disebabkan oleh semangat nasionalisme Irak?

Hal itu juga yang sering kami tanyakan kepada seluruh lapisan masyarakat Irak. Begitu juga tentang pandangan mereka terhadap Saddam. Termasuk dari kalangan orang muda intelek sampai masyarakat yang bodoh, saat menghadapi Saddam terbelah menjadi dua.

Pertama, Saddam memang dianggap memiliki sisi buruk. Karena itu, mereka mengaku tidak suka, bahkan marah kepada Saddam. Dia dipandang sangat otoriter. Di Irak tidak pernah boleh ada oposisi dan konstitusi mereka juga mengatur khusus tentang itu. Oposisi dianggap sebagai tindakan subversi dan hukumannya sangat berat.

Jadi, demokrasi oleh Saddam memang dibungkam habis. Selain itu, rakyat juga marah, karena banyak politik luar negeri Saddam yang ujung-ujungnya membuat mereka hidup menderita. Seperti inisiatif Saddam menyerbu Iran yang menyebabkan perang Iran-Irak. Begitu banyak prajurit gugur, begitu banyak orang cacat, janda, dan anak yatim.

Mereka juga tahu kalau saat perang Iran-Irak, Saddam juga didukung AS. Saat itu AS sangat anti terhadap revolusi Iran yang sukses di bawah kepemimpinan Khomeini. Begitu juga ketika Saddam menginvasi Kuwait. Sampai akhirnya wilayah Irak dibombardir dan diembargo ekonomi.

Tetapi di sisi lain ada juga kebanggaan mereka terhadap Saddam yang dengan tegas berani melawan AS secara terbuka, di tengah negara-negara Arab lain yang menghamba-hamba kepada negara itu. Dan, sikap Saddam tersebut dinilai mampu membangkitkan harga diri bangsanya.

Mengenai nasionalisme?

Kalau bicara mengenai nasionalisme, hal itu tidak terlepas dari peradaban Irak yang sudah berumur ribuan tahun. Sejak masih bernama Mesopotamia, Irak sudah memiliki jiwa untuk mandiri sebagai negara besar yang selalu memberikan perlawanan sengit kepada para agresor.

Jadi, sejarah Irak dipenuhi dengan panglima-panglima perang yang memimpin rakyatnya melawan penyerbu asing. Seperti Salahudin Al Ayubi yang memimpin perang salib melawan gabungan negara-negara Eropa yang dipimpin Richard the Lion Heart. Banyak juga panglima perang mereka saat melawan imperalisme Inggris.

Selain itu, semangat Pan Arab dalam melawan zionisme Israel yang didukung AS juga melahirkan nasionalisme. Timur Tengah kan selalu menjadi ajang konflik. Penyebabnya adalah zionis Israel dan AS sebagai sekutunya. Jadi, perlu muncul tokoh Arab yang mampu menyatukan berbagai kepentingan untuk melawan musuh utama tersebut.

Saya yakin banyak warga negara-negara Arab lain yang mau berjuang untuk Saddam Hussein. Saddamlah yang dianggap sebagai tokoh paling bersemangat untuk mempersatukan Arab. Jadi, saya melihat militansi rakyat Arab itu bukan karena agama.

Perjalanan sejarah peradaban besar yang panjanglah penyebabnya. Selain itu, mereka memiliki kesadaran untuk mengalahkan musuh bersama. Ia juga merupakan perwujudan sikap murni bangsa-bangsa besar lain yang anti segala bentuk penjajahan.

Di Indonesia, saat Islam masuk, hinduisme jatuh. Begitu Belanda masuk, nilai-nilai Islam dan nilai luhur lain terkooptasi dan dijadikan penghamba.

Kalau di Arab nilai-nilai itu tidak mudah begitu saja terkikis. Sebab, kebudayaan mereka memang mantap. Saat ini kita juga mengalami penghancuran nasionalisme yang telah dipupuk Bung Karno, oleh rezim Soeharto. Padahal saat Bung Karno muncul, nasionalisme bangsa ini benar-benar sedang tumbuh-tumbuhnya dan masih perlu dipupuk lagi. Sayang, nasionalisme itu langsung dihancurkan rezim baru proimperialisme Barat.

Apakah saat mewawancarai mereka, Anda tidak dimata-matai oleh orang-orang pemerintah?

Kami berbicara dengan warga sipil dan orang-orang pemerintah. Orang-orang pemerintah selalu mendampingi kami dan bertindak sebagai penerjemah. Rakyat berani ngomong apa adanya kepada kami, walaupun disaksikan orang-orang pemerintah.

Ya, mungkin karena apa yang dikatakan juga objektif. Yaitu memandang Saddam dalam dua sisi. Selain itu, juga tidak ada kata-kata kasar yang ditujukan kepada Saddam. Mereka tetap menuturkan apa adanya, termasuk keluhan-keluhan mereka terhadap Saddam. Itu saja.

Namun, ada yang menarik. Ketika mereka mengatakan bahwa pada saat-saat seperti itu hanya Saddamlah yang mereka butuhkan untuk mempersatukan bangsa Irak. Saddamlah pemersatu bangsa Irak untuk menghadapi semua serangan. ''Tanpa Saddam, pastilah kami tercerai-berai menghadapi AS,'' kata mereka.

Rakyat menyatakan, mereka tidak ingin Saddam terusir dari Irak. Waktu kami di sana Saddam memang sudah secara tegas menyatakan tidak akan meninggalkan Irak. Jadi, walaupun juga membenci Saddam, di sisi lain mereka masih butuh Saddam sebagai pemimpin.

Dan, Saddam sudah jadi simbol nasional mereka. Kalaupun nanti terpaksa harus melakukan gerilya kota, tetap harus ada pemimpin karismatik. Bagdad bisa saja jatuh, tapi bila Saddam masih ada, perlawanan terjadi dan masih bisa mengklaim negara juga masih ada.

Apakah Anda pernah menemui rakyat Irak yang mengharapkan kehadiran AS?

Kami pernah berdialog dengan rakyat di alun-alun Bagdad, dekat pasar rakyat. Kami secara terbuka mengajak mereka berdiskusi soal AS dan janji-janjinya. Dari semua orang yang diajak bicara, tidak ada satu pun yang menggantungkan harapan pada AS. Apalagi percaya pada janji-janjinya.

Kami pernah berbicara dengan mahasiswa, bahkan ada mahasiswa program doktor. Biasanya kesadaran orang muda lebih kritis dalam menelaah. Saya tanyakan bagamana pendapat mereka tentang AS yang katanya mau meliberalisasi kehidupan di Irak. ''Bukankah AS ingin membuat kehidupan lebih demokratis?'' kata saya.

Mereka tidak begitu saja percaya. Mereka menilai orang yang gembar-gembor akan membebaskan Irak justru ingin memenjarakan Irak pada rezim baru.

Soal etnis di Irak, kan ada penganut Syiah, Kurdi, dan sebagainya. Apakah ada gejala disintegrasi?

Itu memang menjadi kekhawatiran juga, namun kecil sekali kemungkinan mereka untuk melakukan disintegrasi. Saddam identik dengan pemerintahan Suni. Mereka bukan mayoritas, tetapi menguasai pemerintahan. Saat ini memang ada oposisi dari kaum Syiah, tetapi tidak terang-terangan. Saddam itu antifundamentalisme.

Tetapi dalam situasi seperti itu, mustahil bila kaum Syiah mau mendukung AS untuk bersama-sama menjatuhkan Saddam. AS juga musuh wahid kaum Syiah. AS dulu mendukung rezim diktator yang dipimpin Syah Iran Reza Pahlevi yang menindas kaum Syiah dan ulamanya di negeri sendiri.

Kalaupun kaum Syiah Irak benci terhadap Saddam, berbagai referensi tentang sejarah kejahatan AS terhadap Syiah sudah cukup bagi mereka untuk tidak berpaling ke AS. Apalagi sampai bekerja sama. Yang jadi masalah, apakah mereka mau bergabung dengan Saddam untuk mempertahankan negaranya dalam menghadapi AS.

Bagaimana soal ide pemerintahan transisi yang nantinya akan diisi oleh kaum oposisi Irak di luar negeri seperti Hamid Karzai di Afganistan?

Itu kecil sekali kemungkinannya. Oposisi mereka sebagian besar berasal dari suku Kurdi. Di Kurdi sendiri ada beberapa faksi yang berselisih paham.

Lebih parah mana dengan Indonesia?

Bila dilihat dari segi demokrasi, di sana demokrasi memang tidak ada. Di sini kan kita masih boleh bilang turunkan Mega-Hamzah. Kalau di sana hal itu jelas tidak dimungkinkan, karena konstitusi secara tegas melarang dan ancaman hukumannya berat, bahkan sampai hukuman mati. (Hartono Harimurti-72k)