Rabu, 08 November 2006

Dita Indah Sari: “Perempuan Perkotaan Menolak“

Dita Indah Sari, Ketua Partai Rakyat Demokratik, menyatakan bahwa proses demokrasi terpecah belah pasca krisis ekonomi. Hal ini disebabkan tidak ada satu suara dalam menggerakkan roda demokrasi. Setelah krisis ekonomi, kondisi buruh Indonesia juga semakin buruk. Kondisi ini diperparah dengan angka penggangguran yang cukup tinggi setelah banyak perusahaan dan investasi asing keluar dari Indonesia. Alasan ini telah digunakan pemerintah untuk semakin menekan buruh. Industri di Indonesia tidak mampu berkembang secara maksimal karena industri dasar tidak dibangun di Indonesia untuk menopang industri lain.

Masih menurut Dita, keluarnya investasi asing tersebut dikarenakan harga listrik di Indonesia tertinggi di Asia; rumitnya birokrasi yang menambah biaya produksi; dan setengah penduduk Indonesia miskin. Ketiga faktor tersebut menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia lebih rendah dibanding negara lain. Penerima Ramon Magsaysay Award for Emergent Leadership tahun 2003 tersebut juga memaparkan bahwa standard upah minimum internasional sebesar 100 Euro/bulan tidak diterapkan oleh pemerintah. Upah minimum buruh di Indonesia hanya sekitar 80 Euro/bulan. Hal ini mengakibatkan menurunnya tingkat produksi dan konsumsi.

Perusahaan asing di Indonesia lebih banyak beroperasi dalam bidang pertambangan yang tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal, sementara jumlah perusahaan manufaktur yang bersifat padat karya sangat sedikit. Hal ini mengakibatkan menaiknya tingkat pengangguran di Indonesia, kata Dita Indah Sari dalam kunjungannya bersama Amalia Pulungan ke SOAI (Suedostasien Informationsstelle)-Asienhaus, Essen, Jerman, Sabtu (09/09/2006) lalu.

Kondisi Indonesia semakin diperburuk dengan adanya privatisasi sektor publik, antara lain: 1. Air, kebutuhan air Jakarta dengan penduduk sekitar 11.000.000 telah diambil alih oleh perusahaan air Perancis, Lyonesse. 2. Bank, BCA dan Danamon telah dimiliki oleh perusahaan asing gabungan dari Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, dan Hongkong. 3. Indosat telah dijual ke BUMN Singapura. Dan masih banyak sektor lain, papar Ketua PPBI tersebut.

Dita menyayangkan bahwa demo revisi UU Buruh yang dilakukan di 8 kota di Indonesia pada 1 Mei tidak dapat dilanjutkan menjadi program yang mendukung kehidupan buruh. Setelah demo, aksi berhenti begitu saja tanpa tindak lanjut. Hal ini, ungkap Dita, disebabkan terpecahnya suara buruh, karena 40 % pekerja adalah pekerja tetap, sedangkan sisanya adalah pekerja kontrak. Suara buruh menjadi sangat sulit untuk disatukan untuk menaikkan daya tawar mereka sendiri dihadapan modal. Dita dalam ulasan penutupnya menyatakan bahwa pemerintah harus melindungi dan memberikan dukungan pada industri dalam negeri dari ancaman modal asing yang seringkali mematikan industri lokal.

Dalam kunjungan tersebut, Amalia Pulungan menambahkan bahwa dengan kondisi tersebut, buruh perempuan semakin memiliki daya tawar rendah di hadapan modal. Dengan gencarnya arus globalisasi, perempuan mendapatkan tekanan dari dua arah, yaitu sistem ekonomi neoliberal dan dari tradisi dan pemahaman keagamaan yang patriarkis. Dita menambahkan bahwa kondisi buruh perempuan perkotaan juga diperparah dengan diterapkannya Perda Sharia yang melarang perempuan keluar rumah di atas jam 10 malam. Hal ini menyebabkan perempuan mengalami kesulitan menuju pabrik ketika bekerja shift malam. Buruh perempuan yang biasanya berboncengan motor dengan kolega laki-laki juga akhirnya tidak bisa dilakukan karena adanya Perda Anti Maksiat dan Pelacuran. Perempuan perkotaan menolak Perda-Perda diskriminatif tersebut karena menyebabkan mereka sulit mengakses kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan di malam hari, seperti bekerja shift malam di pabrik, persiapan pasar subuh dini hari, dan lain-lain.

Amalia menambahkan bahwa kondisi perempuan Indonesia diperparah dengan tingginya angka buta huruf dan kematian saat melahirkan. Hal itu disebabkan oleh pemotongan subsidi yang cukup besar dalam sektor kesehatan. Bahkan angka tersebut lebih tinggi daripada Pakistan, sesal Amalia Pulungan, Direktor Program Institut Global Justice yang sempat menjadi peneliti di Debt Watch dan wartawan Matra dan Australian Financial Review tersebut. Dalam paparan akhirnya, Amalia menyatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, WTO, IMF telah memperburuk kondisi ekonomi negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Hal itu dikarenakan sokongan mereka pada sistem ekonomi pasar bebas telah mengakibatkan Pemerintah membatasi subsidi kebutuhan dasar semua warga negaranya, tidak terkecuali kebutuhan perempuan.

Kunjungan yang diprakarsai oleh Koordinator FEID (Forum Eropa Indonesia untuk Demokrasi), Arif Harsana, tersebut dihadiri oleh 35 aktivis LSM dari Swedia, Jerman, Prancis, dan Belanda. Arif Harsana dalam kesempatan terpisah menjelaskan bahwa kunjungan ini dilakukan untuk menjalin kerjasama antar jaringan LSM di Indonesia dan Eropa dalam mendukung pemulihan proses demokrasi dan hak-hak perempuan di Indonesia pasca runtuhnya Soeharto dan krisis ekonomi. (dc)

Senin, 17 April 2006

Revisi UU Ketenagakerjaan dan Masa Depan Buruh

Dita Indah Sari

Ribut-ribut revisi Undang-undang Ketenagakerjaan belum surut. Cara dan proses pembahasan ulang revisi itu, yang disepakati dalam pertemuan di Istana Negara 7 April lalu, tetap dikritik organisasi-organisasi buruh. Mereka tetap akan demonstrasi walau sudah ada “perdamaian” yang diwasiti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sejak awal mendorong revisi, mengingatkan organisasi buruh soal “aturan main” yang disepakati di Istana. Sejumlah kalangan pun tidak habis pikir dengan sikap para pekerja yang dituduh memperumit keadaan.

Namun, sebelum lebih banyak tudingan dialamatkan kepada para pekerja, saya kira kita memahami argumentasi mereka. Penolakan ini adalah cermin bangkitnya kesadaran baru di kalangan pekerja. Para buruh makin sadar bahwa pemerintah Indonesia adalah sumber kian terpuruknya kesejahteraan dan kepastian kerja mereka.

Hilang Kepercayaan

Bagi buruh, draft maut itu mencerminkan posisi sejati pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan. Draf ini memperlihatkan orientasi sejati pemerintah SBY. Ia mempreteli berbagai perlindungan dan kepastian kerja para buruh. Menurut draft ini, era pasar bebas dan liberalisasi harus diikuti dengan aturan tenaga kerja yang lebih fleksibel. Tujuannya, para investor tergiur dan betah bertanam modal di Indonesia. Sialnya bagi buruh. “Lebih fleksibel” berarti jumlah pesangon makin kecil. Pemecatan dipermudah. Kontrak kerja diperpanjang. Sistem outsourcing diterapkan tanpa batas.

Keputusan SBY untuk mengabaikan draft maut itu, saya nilai bukan karena keberpihakan SBY terhadap buruh. Sikap ini diambil SBY akibat kuatnya tekanan dari demonstrasi jalanan. Pengalihan proses pembahasannya kepada lembaga tripartit pun tetap saya anggap sebagai rencana melancarkan revisi melalui pintu lain. Lagipula, dengan keputusan ini, artinya tuntutan utama buruh agar revisi dibatalkan, sebenarnya telah ditolak pemerintah.

Menyoal Tripartit

Akibatnya, buruh memandang lembaga tripartit dengan pesimis. Pertama, posisi buruh di situ pun jelas minoritas. Pemerintah dan pengusaha telah berada dalam kubu yang sama: revisi harus terjadi. Kedua, perwakilan dari pihak serikat pekerja tak dapat dianggap sebagai representasi suara kaum buruh karena dalam forum tripartit tak semua serikat buruh terwakili. Keputusan dari tripartit tidak mungkin akan mengikat sikap seluruh serikat buruh yang tidak duduk dalam lembaga ini.

Penegasan Jusuf Kalla bahwa proses ini akan terus berlangsung meski demontrasi tetap digelar, membuktikan bahwa pemerintah ingin merevisi UU Ketenagaankerjaan ini dengan segala konsekuensinya. Pemerintah tak merasa perlu mereorganisasi tripartit sehingga komposisinya lebih demokratis. Penolakan sebagian organisasi pekerja dipandang sebagai “melanggar aturan main” --yang ternyata disepakati secara sepihak—daripada sebagai peringatan yang patut dipikirkan.

Solusi Alternatif

Revisi yang akan dibahas ini sangat vital bagi pekerja. Cerah gelapnya masa depan buruh ditentukan dari keberpihakan isi UU Ketenagakerjaan. Solusinya, proses pembahasan yang lebih terbuka adalah suatu keharusan.

Bagi kalangan serikat pekerja ada satu hal mendesak untuk dilakukan: konsolidasi menyatukan sikap. Perlu ada satu meja bersama dimana berbagai serikat, baik itu bagian dari tripartit atau bukan, bisa duduk dan membahas masa depan perlindungan buruh dalam era kapitalisme global ini.

Kaum buruh telah satu suara menolak revisi. Mengapa pula tak bisa satu suara dalam membahas alternatifnya? Paling tidak, dalam forum besar itu dapat dihasilkan prinsip-prinsip dasar perlindungan para pekerja, terutama dalam hal kontrak, outsourcing, uang pesangon dan upah. Jika forum ini terlalu luas untuk menelurkan hal-hal yang sangat detail, biarlah itu dilakukan oleh mekanisme lain. Saya yakin forum ini bisa terwujud dalam waktu cepat karena serikat-serikat buruh memang menanti satu tempat untuk menyusun langkah bersama.

Penting ada pegangan dan koridor bersama yang dibuat secara bersama oleh serikat-serikat pekerja. Mungkin memang makan waktu lebih panjang, tapi proses demokratis jangan sampai diabaikan. Proses ini pula yang ikut menentukan seberapa besar kepercayaan kepada pemerintah SBY bisa dipulihkan.

Konsekuensinya, jika pilihan ini dijalankan, maka proses pembahasan revisi yang difasilitasi oleh pemerintah mesti dihentikan. Kita semua kembali ke posisi status quo. UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 tetap diberlakukan untuk sementara.

Saya juga ingin mengajak para pemimpin serikat pekerja untuk terlibat dalam upaya memperjuangkan perlindungan bagi industri domestik kita yang tengah bangkrut. Berbagai sumber ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi adalah biang keladi kebangkrutan. Mulai dari beban pungutan liar, korupsi, mahalnya biaya energi (solar, listrik dan gas), rusakya infrastruktur, suku bunga yang melangit, ketegantungan pada bahan impor, dan banyak lagi.

Semua problem ini harus menjadi bagian dari perjuangan kaum buruh. Sudah bukan masanya lagi serikat pekerja hanya concern pada soal-soal sektornya semata. Di tengah proses kebangkrutan negeri ini, serikat buruh tak bisa lagi membatasi diri, menghindar dari tanggung jawab sosial politiknya. Kesejahteraan bagi para buruh, tampaknya tak bakal tercapai tanpa keterlibatan buruh dalam perjuangan politik Indonesia. ***


*)Dita Indah Sari aktivis buruh dari Partai Rakyat Demokratik.