INILAH.COM, Jakarta - Kenaikan harga BBM dilihat bak pisau yang terarah ke dada orang miskin. Sebab ini menjadi masalah hidup dan mati. Bukan lagi masalah politik dan ekonomi, tapi kemanusiaan.
"Kami tetap menggangap ada opsi-opsi lain, karena sama saja mengarahkan pisau ke dada orang miskin. Itu adalah persoalan hidup dan mati, dan kami menolak kenaikan harga BBM. Bagi kami, ini bukan masalah politik dan ekonomi, tapi sudah menyangkut masalah kemanusiaan," kata aktivis buruh Dita Indah Sari dalam diskusi 'Derita Rakyat Tak Berujung' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (10/5).
Apalagi, lanjut dia, kenaikan harga BBM bertepatan dengan peringatan 10 tahun reformasi. "Kita dapat kado reformasi dari pemerintah dengan kenaikan harga BBM 30 persen. Dalam perayaan 10 tahun reformasi, pemeritahan SBY sudah gagal. Terimakasih atas kadonya," cetusnya.
Kebijakan kenaikan harga BBM, menurut dia, akan semakin menambah beban orang banyak dan beban orang miskin, karena juga akan mengakibatkan sumber-sumber pekerjaan ditutup. Dampaknya bisa sampai 2-3 tahun.
"Kalau mau membantu orang miskin, tidak begitu caranya. Kalau subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya, tapi solusinya bukan BBM yang dinaikan, itu berarti mau membunuh tikus tapi sarangnya dibakar," ujar Dita.
Kalau mau mengurangi alokasi subsidi untuk orang kaya, usul dia, naikkan saja pajak kendaraan. Sebab lebih mudah menghitung orang kaya daripada orang miskin.
Sedangkan soal penghematan energi, menurut dia, atur saja jumlah kendaraan mobil, tentukan jam-jam mobil yang keluar. Jika 3 in 1 bisa diberlakukan, berarti pembatasan kendaran juga bisa dilakukan.
"Jadi soal penghematan, soal pengurangan angggaran buat orang kaya, caranya tidak dengan menaikkan harga BBM, karena yang merasakan dampaknya adalah orang menengah ke bawah," kata Dita.[L3]
Sabtu, 10 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar