Minggu, 31 Agustus 2008

Hati-hati dengan Kata-kata

Oleh Dita Indah Sari

Kata adalah senjata,
kata adalah bumerang (Subcomandante Marcos)

Di tengah-tengah meluasnya kegelisahan rakyat yang harap-harap cemas semoga keputusan ini dibatalkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan. Menurut Kalla, jika kenaikan harga BBM batal, sama artinya dengan membatalkan kebijakan pemerintah memberikan bantuan langsung tunai kepada orang miskin. ”Jadi, setiap ada demonstrasi menyatakan tak setuju (kenaikan harga BBM), sama dengan mengurangi rezeki orang miskin” (Kompas, 8/5 halaman 18).

Mulutmu harimaumu, begitu pesan pepatah. Mulailah berhati-hati dengan kata-kata karena cepat atau lambat dapat menuai badai. Dengan kata-kata itu, Wakil Presiden berniat menyampaikan kepada kita bahwa bantuan dari pemerintah hanya berhak diterima rakyat jika harga BBM dinaikkan.

Artinya, rakyat baru berhak dapat sesuatu dari pemerintah setelah pemerintah mengambil sesuatu dari kita. Terima dulu kenaikan ini, baru kemudian bantuan kami kucurkan ke tanganmu. Ini sama artinya pemerintah sejatinya tidak memberikan apa-apa, nol, kosong, hampa.

Ini mirip dengan kebijakan tukar guling atau jual beli yang nilainya pun sama sekali tidak setara. Bagaimana mungkin bisa setara jika Departemen Sosial sendiri menyatakan bahwa efektivitas bantuan langsung tunai (BLT) hanya sekitar 54,96 persen, sementara sekitar 45 persen rumah tangga miskin penerima BLT menyatakan bahwa bantuan itu tidak meringankan biaya hidup mereka yang kian berat pascakenaikan harga BBM sebesar 120 persen awal Oktober 2005?

Adu domba
Pemberian BLT adalah ganti rugi, bukan ganti untung. Persoalan utama negeri ini adalah rendahnya daya beli dan pendapatan untuk dapat hidup layak, maka solusinya adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja bagi puluhan juta orang yang menganggur. BLT sama sekali bukanlah solusi. Apalagi jika peluang untuk menciptakan lapangan kerja itu justru dirusak sendiri oleh kenaikan harga BBM industri yang memukul sektor usaha menengah-bawah.

Pernyataan Wakil Presiden dengan terang benderang menunjukkan kepada kita karakter asli pemerintahan ini. Pemerintah baru mau memberi jika yakin telah ada sesuatu yang diambil dari rakyatnya. Segala bentuk program kesejahteraan sosial adalah kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang memberinya mandat. Kenapa harus menunggu dulu kenaikan harga BBM, listrik, atau pencabutan subsidi-subsidi lainnya?

Rencana kenaikan harga BBM selalu mengundang reaksi. Demonstrasi di berbagai kota sudah merebak. Sungguh tidak senonoh pernyataan yang menyamakan demonstrasi ini dengan upaya mencegah rakyat miskin mendapat rezeki. Tampaknya ini lebih dari sekadar sikap tidak sensitif, tidak peka dan tuli terhadap kegelisahan rakyat atas situasi yang makin pahit.

Pernyataan ini adalah cermin kepanikan dan kekalapan pemerintah sehingga reaksi-reaksi protes yang sesungguhnya wajar terjadi dalam alam demokrasi pun kemudian dicitrakan sedemikian rupa. Untuk membenarkan kebijakannya, pemerintah melalui Wakil Presiden mempertentangkan orang miskin dengan para mahasiswa dan demonstran. Apa belum cukup negeri kita ini dicabik-cabik konflik horizontal, sampai harus ditambah lagi dengan membuat arena konflik baru: demonstran vs orang miskin? Mahasiswa vs orang miskin? Penerima BLT vs penolak kenaikan harga BBM?

Solusi terakhir

Dua kali kenaikan harga minyak dalam pemerintahan SBY- JK (Maret dan Oktober 2005), kata-kata pemerintah selalu sama: ini adalah solusi terakhir. Jika ini yang terakhir, apa solusi mendasar yang pertama? Solusi yang kedua, keempat, ketujuh? Bagaimana berjalannya? Signifikan atau tidak? Kalau gagal, di mana gagalnya? Bagi kita masih gelap.

Banyak sudah alternatif solusi yang disampaikan kepada pemerintah. Presiden menyatakan bahwa dirinya telah membaca ribuan pesan singkat (SMS), artikel, dan opini masyarakat menyangkut kenaikan harga BBM. Sejak kenaikan harga BBM tahun 2005, opsi-opsi lain sudah diajukan kepada pemerintah. Namun, kebijakan tetap bergeming. Apa benar presiden memerhatikan dengan serius masukan dari publik sejak tiga tahun yang lalu?

Mengapa pemerintah tidak pernah menanggapi opsi pengurangan atau penjadwalan pembayaran utang luar negeri untuk menghemat anggaran kita? Mengapa usulan soal perbaikan bagi hasil pertambangan minyak, terutama pengurangan biaya cost recovery, tidak pernah mulai dijalankan? Apa ada upaya serius memberantas korupsi dalam proses produksi dan distribusi minyak, gas, dan listrik? Apakah pemerintah tidak pernah terusik dan malu dengan kenyataan bahwa sebagai negara besar penghasil minyak, keadaan kita malah lebih buruk dibandingkan dengan negara yang miskin sumber daya alam seperti Thailand? Jika konversi energi memang menjadi program pemerintah, mengapa sebagian besar gas alam kita justru dijual ke Jepang?

Daripada membuat komentar yang menyakitkan hati tentang tukar guling yang tidak setara, atau tentang demonstran yang menzalimi rezeki orang miskin, lebih baik opsi-opsi di atas ditanggapi. Namun, jika ternyata memang tak ada lagi hal baik yang tersisa untuk disampaikan, maaf, diam sajalah.

Dita Indah Sari MPP Papernas

Rabu, 27 Agustus 2008

PBR: Caleg Aktivis Lebih Baik daripada Artis

JAKARTA, RABU - Sejumlah partai berlomba-lomba menggaet kalangan selebritis untuk dijadikan calon legislatif dalam pemilu 2009. Partai Bintang Reformasi (PBR) justru memilih menjaring aktivis untuk dijadikan caleg.

"Kami memilih aktivis karena mereka itu relatif bersih dan terjun langsung ke lapangan jadi sudah berpengalaman bersentuhan dengan masyarakat," ujarRusman Ali, Sekretaris Jenderal Partai Bintang Reformasi, di sela-sela acara Kompas Political Gathering di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (27/8).

Nama aktivis yang masuk dalam daftar caleg PBR antara lain ativis Serikat Buruh Dita Indah Sari dan Yusuf Lakaseng (Kontras). Rusman mengatakan aktivis lebih dipilih karena menurutnya untuk menjadi caleg yag diukur kinerjanya bukan popularitasnya.

"Meski nama artis mampu mendongkrak popularitas partai, tapi kami tidak mau pakai cara seperti itu," ujarnya.

Ia juga menambahkan kuota caleg perempuan PBR mencapai 44,35 persen dari apa yang diatur Undang-Undang sebesar 30 persen. Untuk Pemilu 2009, PBR mengusung 368 orang caleg, dengan 160 orang caleg perempuan dan 206 caleg laki-laki.

"Kami sadar perempuan itu punya peran penting untuk menggolkan agenda-agenda bangsa untuk menghadapi krisis, semoga harapan ini bisa terwujud," tuturnya.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Indonesia: Labour militant Dita Sari to run in 2009 elections

By Vannessa Hearman, 16 August 2008
Indonesian labour activist and chairperson of the Deliberative Council of the National Liberation Party of Unity (Papernas), Dita Sari, has declared that she will run for the Star Reform Party (PBR) in the 2009 legislative elections.Sari and around 40 other Papernas members have declared their intention to contest the elections as part of the PBR.

Sari will occupy the number one position on the party’s candidate list for an electoral district in Central Java that incorporates the towns of Klaten, Boyolali, Sukoharjo and the city of Solo.
According to Indo Pos, the district where Sari will run is a hotly contested area, with other candidates including Puan Maharani, daughter of former president Megawati Sukarnoputri, running for the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and Hidayat Nurwahid, speaker of the People’s Consultative Assembly from the Prosperity and Justice Party (PKS).
Klaten, Boyolali, Sukoharjo and Solo were strongholds of the Indonesian Communist Party (PKI) during the 1950s and ’60s. It was in these areas where the worst massacres in Central Java took place in 1965-66, as General Suharto seized power and physically exterminated the PKI.
Dita Sari’s decision to run under the banner of the PBR, a party that began as an Islamic party, has created controversy. Papernas has been targeted consistently by right-wing Islamic groups, such as the Defenders of Islam Front (FPI), and dubbed the new PKI.

Some Indonesian political commentators have posed the question of how anti-communist forces will respond to this instance of left activists running inside a party that has Islamic origins. It is understood that Papernas has been in negotiations with the PBR leadership since at least 2007 to discuss a joint platform or some form of electoral collaboration in 2009.
PBR

The PBR began as a split from the United Development Party (PPP), a party that was created out of the forced amalgamation of a number of Islamic parties in 1973 and sanctioned by the Suharto’s New Order dictatorship.

The PPP was recognised as one of three parties, alongside Suharto’s Golkar party and the Indonesian Democratic Party (PDI), allowed to exist and run in elections throughout the New Order period.

The key founder of PBR, Zainuddin MZ, an Islamic religious leader with a huge following, was a member of PPP until he and several others left to establish PPP Reformasi in 2002. PPP Reformasi was established in the aftermath of Suharto’s 1998 overthrow, when restrictions to establish and join political parties were lifted.

Zainuddin argued that PPP Reformasi was to be “the smiling party” — leaving behind notions of “political revenge and sins” of the past and intent on reforming the political and economic system of the country.

Zainuddin explained that the party stood against corruption, in favour of justice for the poor and for “clean” politics. At an extraordinary meeting of the party in 2003, its name was changed to PBR, the Star Reform Party. Zainuddin left the PBR last year. Some PBR leaders, such as Bursah Zanubi, have their political origins in the Islamic Students’ Association (HMI).

Sari explained that Papernas would continue to exist and not be liquidated into PBR. She told Indo Pos that she was not perturbed by PBR’s Islamic origins, pointing to the aspects of the PBR program that she agreed with — for example economic independence, free from foreign domination, the abolition of the foreign debt and prioritising development of the rural economy.
She argued that Papernas had made strenuous efforts to meet the requirements to be registered as a party able to participate in the elections, however only 34 parties have successfully met all the bureaucratic requirements to run.

Deputy secretary-general of PBR’s central leadership board, Yusuf Lakaseng, argued that there were common areas of struggle between Papernas and the PBR. He said, “Indeed we are opening ourselves up towards the activist currents”. In the 2004 elections, PBR only achieved 2.5% of the vote but will be aiming for around 7% in these 2009 elections. Lakaseng is confident of achieving this target, as the party now has set up structures throughout the country, compared to four years earlier. The party claims 780,000 members and 60,000 branches.

Youth

According to Lakaseng, himself a former member of the predominantly young People’s Democratic Party (PRD — the left-wing party that helped found Papernas and that Sari is also a leader of), the PBR is prioritising youth candidates. The PBR is putting in place a quota system of 60% for candidates below the age of 40. The party also aims to have women compose 30% of its fielded candidates.

Chairperson Bursah Zanubi said that his party tried to embrace as many young people as possible, with 30 legislative candidates under the age of 30 and a policy of two maximum terms on the leadership board of the party.
On July 12, Zanubi explained to Kompas that his party would focus on the issues of food and constructing an economy oriented to the needs of people and workers. He said that the PBR would campaign through meetings, discussions and gatherings, aiming for 50-100 people at each event.

Sari said that no party was completely “clean”, but that the challenge in Indonesian electoral politics was to “seek the best out of the worst”.
In response to the case of PBR parliamentarian Buylan Royan, who arrested on June 30 under order of the Corruption Eradication Commission, the PBR central leadership board sacked him from the position two days later and declared its willingness to cooperate with the commission’s investigation.

Royan was accused of receiving bribes for procurement of government patrol boats.

Jumat, 15 Agustus 2008

'Tchuus' Penindasan

Taher Heringuhir

Sudah saatnya buruh bicara soal politik dan kekuasaan. Tidak cukup perjuangan buruh hanya menuntut kenaikan upah, karena sudah terlalu banyak kebijakan ekonomi yang semakin membuat keadaan buruh terpuruk.

Dita Indah Sari, perempuan aktivis buruh hingga kini masih berkoar demi ketidakadilan nasib kaum marjinal ini. Kali ini.bukan lagi berteriak lantang dengan TOA tetapi kini lebih srategis perjuangannya dengan terjun menjadi ketua umum partai politik PRD/Partai Rakyat Demokratik-bukan peserta pemilu 2009-melanjutkan perjuangan Budiman Sudjatmiko dkk.

"Tidak ada artinya lagi bila hanya berkutat pada tuntutan kenaikan gaji. Saatnya buruh bicara kekuasaan agar orang-orang yang duduk di parlemen baik pusat maupun daerah serta yang duduk di kabinet bukan lagi orang-orang yang merugikan kita tapi bersimpati dan punya hati terhadap kita," katanya kepada penulis dua bulan lalu di Plaza Semanggi.

Paparannya sederhana tapi fundamental. Menurut dia, saat ini buruh dan rakyat terpukul oleh tiga kenaikan sekaligus. Pertama, kenaikan harga kebutuhan karbohidrat a.l beras dan tepung.

Kedua, kenaikan harga kebutuhan protein misalnya minyak goreng dan kacang kedelai. Dan ketiga, membumbungnya harga bahan energi semisal minyak tanah dan gas. Sementara kenaikan gaji buruh hanya sekitar 10-15% per tahun. Tentu saja keadaan itu memprihatikan karena buruh tidak bisa mengejar kenaikan harga tersebut.

Menurut dia itu adalah kondisi pertama yang dihadapi buruh hingga konsekuensinya dalam mengejar kekurangan gaji, buruh harus kerja lembur 12 jam, padahal normalnya delapan jam kerja.

"Ini kerja di luar manusia normal tentunya membuka peluang eksploitasi buruh," katanya.

Kondisi kedua adalah terkait sistem kerja. Semua perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourching atau yayasan. Kamis lalu (14/8) ribuan massa dari Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga menentang adanya sistem yayasan itu. Bahkan, perempuan ini menyoroti dunia media massa yang tak luput dari penerapan outsourching.

"Terutama di dunia media, banyak sekali dari mulai wartawan sampai editor masih dikontrak bahkan setelah bekerja selama dua tahun belum diangkat-angkat jadi karyawan, seandainya diputus ya pasti tidak dapat pesangon," lanjut khawatir.

Dita punya keingingan agar pemerintah harus melakukan perlindungan terhadap industri terutama nasib buruh lantaran jumlah buruh yang di PHK atau dipekerjakan dengan sistem kontrak mulai bertambah, terus dan terus.

Dia mewakili Partai Rakyat Demokratik ingin menyatakan bahwa kinerja kepemimpinan Presiden SBY sekarang tidak maksimal lantaran konsidi kerja semakin buruk.

Sebenarnya bila PRD mampu menjadi salah satu peserta pemilu 2009 dia mengatakan target jangka panjang adalah menekan pemerintah agar mengupayakan berbagai hal untuk melindungi industri dalam negeri. Dia menyanggah bahwa buruh anti terhadap pengusaha atau industri.

"Jangan dianggap buruh itu anti terhadap industri atau pengusaha. Kami menganggap kalau industri kita mati atau sakit maka yang paling menderita adalah buruh. Padahal buruh yang bekerja jumlahnya besar, kontribusi buat ekonomi juga besar karena mereka membayar pajak. Buruh ikut membangun peradaban, tapi mereka tidak dihargai sama sekali, itu yang kami perjuangkan sejak tahun 90-an," tegasnya.

Aktifis yang pernah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan di Malang dan Tangerang ini mengharapkan semoga harga BBM stabil serta tarif listrik juga harus murah agar urat nadi industri di Indonesia dapat lebih efisien dan kompetitif.

Kesetaraan Perempuan
Ditanya mengenai kondisi perempuan di Indonesia, Dita mengatakan ada dua kunci dalam proses penyetaraan peran perempuan. Pertama, perbaikan ekonomi sehingga semakin banyak perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Kedua, kontribusi media massa dalam penulisan tema-tema perempuan.

"Saya fikir dalam hal ini sosialisasi ke tengah-tengah masyarakat tanpa diikuti sosialisasi di media massa akan sangat tidak efektif. Wartawan-wartawan dari pers harus kita rangkul mengenai keserataraan gender, sehingga ketika mereka menulis maka pemikiran yang tertuang akan lebih adil, tidak melihat semata-mata fisiknya yang lemah lebut," ujarnya.

Dia mengungkapkan pekerja media juga menjadi bagian dari proses demokrasi bangsa ini oleh karena itu bila media melakukan pencitraan yang buruk terhadap wanita PRD akan mengkritik dan memberi masukan.

Menanggapi penghargaan yang diberikan padanya sebagai satu dari 10 perempuan Indonesia yang berprestasi, dia mengatakan penghargaan tersebut sebenarnya bukan untuknya.

Secara personifikasi memang dia yang mendapatkan namun menurut dia itu adalah pertanda pergerakan buruh kini bisa diterima di masyarakat menengah ke atas, bukan merupakan lagu gerakan yang menakutkan. Tentu saja dia sumringah ketika penulis mengucapkan selamat kepadanya.

Diambil dari : http://tahersaleh.blogspot.com

Kamis, 14 Agustus 2008

Dita: PBR Berani Menerima Papernas

Kamis, 14 Agustus 2008, 10:44:18 WIB

Laporan: Teguh Santosa

Jakarta, myRMnews. Mantan Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Dita Indah Sari tercatat sebagai calon legislatif dari Partai Bintang Reformasi (PBR).

Sebelum menerima tawaran sebagai caleg dari PBR, Dita mendapatkan tawaran dari berbagai parpol, termasuk PDI Perjuangan.

Menurut Dita, banyak faktor mengapa dirinya menerima tawaran nyaleg dari partai pimpinan Bursah Zarnubi tersebut.

“Banyak pertimbangan yang saya ambil, termasuk PBR menerima jaringan yang saya bawa,” katanya kepada myRMnews, Kamis (14/8).

Sebelumnya, Dita tercatat sebagai salah satu ketua dan pencetus Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Partai ini merupakan partai jaringan aktivis buruh dari FNPBI dan mahasiswa (LMND/Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi). Aktivis Papernas juga bekas aktivis Partai Rakyat Demokratik pimpinan Budiman Sujatmiko saat itu.

Kata Dita, salah satu pertimbangan penting mengapa dirinya menerima tawaran PBR adalah karena PBR berani menerima jaringan Papernas di 23 provinsi di Indonesia.

“Kalau partai lainnya, hanya menerima saya sebagai pribadi, tetapi tidak mengakomodasi kepentingan Papernas,” katanya.

Dita dicalonkan pada daerah pemilihan V Jawa Tengah. Dapil ini dikenal sebagai dapil neraka, karena tokoh-tokoh terkemuka parpol juga tercatat sebagai caleg pada dapil ini, seperti Puan Maharani dari PDIP dan Hidayat Nur Wahid dari PKS. [min]

Diambil dari : http://www.myrmnews.com

Selasa, 12 Agustus 2008

Dita Siap Bersaing di ‘Grup Neraka’

SEMARANG —Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) Dita Indah Sari siap maju menjadi anggota DPR RI. Pada pemilu 2009, Dita maju setelah dicalonkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di daerah pemilihan Jateng V meliputi Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Kota Surakarta.
”Saya akan maju di Jateng V. Ibarat sepakbola piala Eropa, Jateng V termasuk grup neraka” tutur Dita kepada Radar Semarang usai pembukaan musya-warah kerja wilayah I DPW PBR Jateng di GOR Satria.

Wilayah Jateng V memang bsia dikatakan sebagai ’grup neraka’ Banyak nama-nama beken yang akan bertarung memperebutkan jatah 8 kursi di DP Jateng V. Seperti putri mantan presiden Megawati, Puan Maharani (PDIP), ketua MPR Hidayat Nur Wahid (PKS), pebulutangkis Icuk Su-giarto (PPP), artis Tamara Geraldine (PDS), putri sulung mantan presiden Soeharto Siti Hardiyati Indra Rukmana atau Mbak Tutut (PKPB), dan GKR Wandansari atau Gusti Moeng (PD).

Mantan tahanan politik di era orde baru ini memilih bergabung dengan PBR setelah Papernas gagal menjadi peserta pemilu. Berulangkali aktivis dan kegiatan Papernas mendapat gangguan secara fisik oleh kelompok tertentu karena dicap sebagai partai yang kekiri-kirian. Mengapa Dita akhirnya memilih bergabung dengan PBR yang berasas Islam? Dita tidak mempersoalkan hal itu. Sebab, banyak program PBR yang sejalan dengan idealismenya.
“Garis perjuangan PBR mirip dengan kami, seperti kemandirian ekonomi yang tidak bergantung kepada pihak asing, penghapusan utang luar negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas,” tuturnya.

Ketua Umum DPP PBR Bursah Zarnubi menjelaskan, pihaknya tidak ikut-ikutan partai lain yang memasang artis sebagai caleg. “Kami lebih memilih aktivis daripada artis,” tuturnya.
Dengan memasang aktivis, dalam pemilu 2009 PBR me-nargetkan bisa meraup 7 persen suara.

Senin, 11 Agustus 2008

Kuota 30 Persen Caleg Perempuan:Faktor Eksternal Menghambat

[JAKARTA] Perempuan Indonesia sebetulnya memiliki kapabilitas untuk berkiprah ke dunia politik dengan menjadi anggota legislatif. Namun, langkah tersebut dihambat sejumlah faktor eksternal, seperti budaya maskulin dalam partai politik, dana, dan keluarga. Kondisi tersebut menyulitkan parpol memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan.

Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)

Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.

Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.

Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.

Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.

Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.

Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.

Tak Serius

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.

Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.

Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.

Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.

Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]

Sumber : Suara Pembaruan

Sabtu, 09 Agustus 2008

Faktor Eksternal Menghambat

[JAKARTA] Perempuan Indonesia sebetulnya memiliki kapabilitas untuk berkiprah ke dunia politik dengan menjadi anggota legislatif. Namun, langkah tersebut dihambat sejumlah faktor eksternal, seperti budaya maskulin dalam partai politik, dana, dan keluarga. Kondisi tersebut menyulitkan parpol memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan.

Demikian rangkuman pendapat caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR), Dita Indah Sari, caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Marrisa Haque, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masruchah, aktivis perempuan Sarah Leri Mboeik, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto, dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Suprayogo, yang dihimpun SP, Sabtu (9/8)

Menurut Dita, secara internal perempuan telah siap terjun ke arena politik. Sayangnya, kesiapan itu dihambat oleh faktor eksternal, yakni minimnya ruang yang diberikan parpol dan keluarga yang menghambat. "Banyak sarjana perempuan yang kapabel di bidang politik. Tetapi, langkah mereka dihambat parpol atau keluarga," katanya.

Sedangkan, Marissa melihat masalah finansial masih menjadi faktor penghambat. "Sudah saatnya perempuan menjadi agen perubahan. Perempuan harus menunjukkan tidak berpolitik, seperti kaum laki-laki yang melakukan korupsi, manipulasi, dan praktik ijazah palsu, untuk menjadi anggota legislatif. Perempuan harus membawa masyarakat menjauh dari jurang kehancuran," katanya.

Senada dengannya, Masruchah menyatakan parpol belum mendorong kader perempuan berkiprah di lembaga legislatif, karena memang tidak ada pengkaderan yang baik dari tingkat desa hingga nasional. Akhirnya, parpol mencari caleg dari luar untuk memenuhi kuota perempuan.

Sarah Mboeik menyatakan kaum perempuan masih merasa berpolitik adalah dunia yang kasar dan menyeramkan, sehingga alergi menjalaninya. "Mekanisme parpol yang sensitif terhadap gender membuat perempuan sulit bergiat dalam politik," katanya.

Secara terpisah, Wakil Direktur Demos Indonesia Anton Pradjasto menyatakan belum terpenuhinya kuota perempuan merupakan kegagalan parpol melakukan pendidikan politik. "Jangankan pendidikan politik kepada perempuan, kepada masyarakat pun masih minim. Kuota itu hanya langkah awal menuju struktur politik yang proporsional," katanya.

Sedangkan, Imam Suprayogo mengatakan kesulitan parpol merekrut perempuan terjadi karena lembaga politik dianggap masih "nakal" dan tidak mewakili konstituen. "Makanya banyak perempuan yang hebat enggan ke lembaga ini, kecuali mereka yang menjadikan legislatif sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah semata," ujarnya.

Tak Serius

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak serius mendorong partai politik (parpol) memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal itu tercermin dari penerbitan Peraturan KPU 18/2008 yang tidak mewajibkan parpol memenuhi kuota tersebut.

Menurut Masruchah, terbitnya Peraturan KPU 18/2008 menunjukkan KPU secara kelembagaan tidak sungguh-sungguh menjalankan amanat UU Pemilu Legislatif.

Sesuai pemantauan KPI, lanjutnya, salah satu dalih KPU menerbitkan peraturan tersebut adalah di daerah-daerah tertentu di Indonesia masih ada larangan atau tabu memajukan perempuan menjadi caleg.

Pendapat senada disampaikan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya, pemberian kuota 30 persen caleg perempuan masih setengah hati, sehingga tidak ada sanksi yang tegas apabila parpol tidak memenuhinya.

Menanggapi hal itu, anggota KPU Sri Nuryanti menyatakan pihaknya tetap tidak akan memberikan sanksi lebih keras yang melampaui ketentuan UU 10/2008. [128/ASR/HDS/070]

Sumber: suara pembaruan

Jumat, 08 Agustus 2008

Kuota Caleg Muda PBR 60 Persen

Jakarta–Partai Bintang Reformasi (PBR) memprioritaskan calon anggota legislatif dari kalangan muda. Sebanyak 60 persen caleg PBR berusia di bawah 40 tahun. Sisanya untuk caleg berusia di bawah 50 tahun dan di atas 50 tahun. Namun, mayoritas dari kalangan muda.
“PBR menyediakan kuota yang banyak bagi orang-orang muda,” kata Dita Indah Sari kepada SH di Jakarta, Kamis (7/8). Sebelumnya, Dita menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Partai di Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas).

Namun, setelah Papernas tak lolos verifikasi, Dita bergabung dengan PBR. Dita akan dijadikan caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah V. Dita mengatakan PBR memang menerapkan beberapa prinsip yang mengutamakan orang muda di dalam peraturan internal partainya. “Salah satunya adalah aturan yang mengharuskan bahwa kader PBR yang sudah dua periode menjabat di eksekutif partai, tidak diperbolehkan menjabat lagi,” kata Dita.

Selain konsisten di dalam merekrut caleg muda, Dita juga melihat PBR merupakan partai yang pro rakyat. “Karenanya, saya tidak melihat bahwa PBR ini partai yang berasaskan Islam atau bukan, tetapi ada banyak persamaan gagasan antara saya dengan PBR,” jelasnya.
Gagasan itu, seperti penghapusan hutang luar negeri, kemandirian negara tanpa harus tergantung dari hutang luar negeri, dan konsentrasi pembangunan terhadap pedesaan dan kaum muda.

Minggu, 03 Agustus 2008

Dita Indah Sari Jadi Caleg PBR

Satu Dapil dengan Puan Maharani dan Hidayat Nurwahid
JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Persatuan Pembebasan
Nasional (Papernas) Dita Indah Sari memutuskan menjadi caleg dari
Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berasas Islam. Aktivis buruh itu
mendapat nomor urut satu di daerah pemilihan (dapil) Jateng V yang
meliputi Klaten, Boyolali, Sukoharjo, dan Kota Solo.

Dapil Jateng V termasuk "zona panas" dalam Pemilu 2009. Sebab,
sejumlah tokoh penting partai lain juga memastikan diri ikut
berkompetisi di dapil itu. Mereka, misalnya, Puan Maharani -putri
Megawati Soekarnoputri- (PDI Perjuangan), Ketua MPR Hidayat Nurwahid
(PKS), atlet bulu tangkis senior Icuk Sugiarto (PPP), dan GKR
Wandansari atau Gusti Mung (Partai Demokrat).

"Dita memang bukan orang Jateng. Tapi, suaminya yang Jateng," kata
Wakil Sekjen DPP PBR Yusuf Lakaseng setelah launching nomor urut 29
PBR dalam Pemilu 2009 di Kantor DPP PBR, Tebet, Jakarta Selatan,
kemarin (2/8).

Menurut dia, direkrutnya Dita sebagai caleg PBR karena adanya kesamaan
segmentasi perjuangan PBR dengan Dita yang juga mantan ketua umum
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) itu. "Kami
memang membuka diri terhadap kalangan aktivis," ujarnya.

Apalagi, imbuh Yusuf, partainya juga memprioritaskan tokoh-tokoh muda
yang usianya masih di bawah 40 tahun. Kuota yang dipatok juga nggak
main-main, yaitu mencapai 60 persen dari total caleg PBR. "Ini untuk
mendorong percepatan regenerasi politik," tegasnya.

Dita Indah Sari yang lahir di Medan pada 30 Desember 1972, contohnya,
kata Yusuf, baru berusia 36 tahun.

Yusuf menambahkan, pada Pemilu 2004 lalu, PBR hanya mendapat 2,7
persen suara. Untuk Pemilu 2009, lanjutnya, PBR berani mematok target
minimal 7 persen suara. "Soalnya, struktur partai kami sekarang sudah
terbangun di seluruh provinsi se-Indonesia, " kata Yusuf yang menjadi
caleg dari dapil Sulawesi Tengah itu.

Ketika dikonfirmasi, Dita Indah Sari membenarkan bahwa dirinya menjadi
caleg PBR di dapil Jateng. Tidak khawatir harus bersaing dengan
sederet nama tokoh-tokoh populer dari partai lain? "Bagi saya, justru
ini tantangan besar," jawabnya, lantas tertawa.

Dita mengaku tidak mempersoalkan PBR yang berasas Islam. Sebab, banyak
program PBR yang sejalan dengannya. Misalnya, kemandirian ekonomi yang
tidak bergantung kepada pihak asing, opsi penghapusan utang luar
negeri, dan pembangunan ekonomi di pedesaan sebagai prioritas. "Saya
melihat PBR sebagai partai yang mencoba mengenalkan asas Islam dalam
pengertian yang lebih terbuka," ujarnya.

Apalagi, imbuh Dita, dalam pemilu mendatang, PBR menerapkan sistem
suara terbanyak sebagai penetapan caleg terpilih. "Meksipun belum
sempurna dan nggak mungkin ada partai yang sempurna, semua ini bisa
memberikan rasa nyaman kepada kami," kata peraih penghargaan Ramon
Magsaysay Award tahun 2001 itu.

Lantas, bagaimana dengan Papernas? "Eksistensi Papernas tetap ada,
nggak hilang dan nggak lebur ke PBR," tegasnya.

Ketua DPP PBR Bursah Zarnubi menyampaikan, partainya berupaya
merangkul kaum muda sebanyak-banyaknya. Bahkan, 30 caleg PBR,
ungkapnya, masih berusia di bawah 30 tahun. Hanya ada kuota 15-20
persen untuk caleg yang berusia di atas 50 tahun. "Pemilih pemula
harus melek politik. Jangan sampai partai ini jadi oligarki," katanya.

Menyangkut agenda konvensi capres yang akan dilakukan PBR, Bursah
menegaskan, fungsionaris DPP, termasuk dirinya, tidak diperbolehkan
mengikuti konvensi. "Biar adil dan fair sehingga orang nggak ragu-ragu
dengan komitmen PBR. Kalau ada orang PBR yang maju, pasti ada sentimen
internal," bebernya.

Dalam acara launching nomor urut 29 dari PBR, turut hadir Wakil Ketua
Umum Raden Muhammad Syafi'i dan Sekretaris Jenderal PBR Rusman Ali.
Acara tersebut ikut diramaikan artis Dewi Yul dan Franky Sahilatua.
Dewi kabarnya tengah "dirayu" PBR untuk menjadi salah satu calegnya.
Politisi senior Partai Golkar yang juga mantan Ketua DPR Akbar
Tandjung juga datang belakangan. (pri)


diambil dari : www.indopos.co.id