Selasa, 01 Juli 2003

Dita Indah Sari

AKTIVIS buruh ini hobinya menyanyi. Pernah ikut marching band dan paduan suara di kampus, akhirnya ia berkenalan dengan gerakan mahasiswa. Dua awards dari luar negeri belakangan diterimanya sebagai penghargaan atas jasanya membela kaum buruh.

Dita terlahir dari keluarga kelas menengah, anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya anggota fraksi Golkar di DPRD Sumatra Utara dan ibunya bekerja di perusahaan asing. Secara ekonomi, ia tidak mengalami hambatan apa pun di masa kecilnya.

Keterlibatannya dalam gerakan diawali dengan diskusi-diskusi, belajar teori-teori progresif, bersama mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta. Dari kegiatan mahasiswa, ia terjun ke gerakan buruh, 1994. Hidup bersama mereka, Dita memberikan pendidikan politik, termasuk tentang hak-hak buruh. Di situlah ia menemukan korelasi antara kenyataan di lapangan dan teori yang dipelajarinya dari buku-buku.

Tinggal bersama buruh, di Citeureup, putri Medan ini pernah menemukan anak seorang buruh yang kekurangan gizi. Badannya tampak gembur sekali, karena orangtuanya tak mampu membeli susu, apalagi bedak. Simpatinya pun muncul. “Sejak itulah saya berjanji kepada diri sendiri untuk terjun memperjuangkan nasib kaum buruh,” kata Dita.

Pertama kali aktif di perburuhan, ia sempat sakit. Kesulitan menyesuaikan diri ia alami: mandi harus antre, minum air yang tidak sehat, lingkungan kumuh yang sering dilanda banjir sampai sebatas dada. Tapi, Dita pantang menyerah.

Demi komitmennya kepada gerakan, ia meninggalkan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Juga berhenti meminta uang dari orangtuanya. Ibunya sangat kecewa. Kehidupan yang sangat minim ia jalani, dari soal makan, transpor, sampai perlengkapan perempuan.

Tindak represif aparat kerap menimpanya tatkala Dita memimpin pemogokan buruh. Pada aksi buruh tekstil di PT Great Indah River di Jalan Raya Bogor, Februari 1995, ia ditangkap dan ditahan selama 24 jam di Polwiltabes Bogor. Karena memimpin aksi pemogokan di sejumlah pabrik di Tandes Surabaya, Maret dan Juli 1996, Dita bersama Coen Husain Pontoh dan M. Soleh ditangkap, diadili, dan divonis enam tahun penjara. “Kemudian kami bertiga dihukum di LP Medaeng, Surabaya,” tutur Dita.

Suatu ketika, LP Medaeng rusuh dan terbakar. Para narapidana melakukan “pemberontakan”. Blok yang ditempati Dita juga terbakar dan ia terperangkap. Setelah ruangan hampir terbakar, “Saya baru bisa dikeluarkan. Seluruh pakaian, buku, dan pledoi saya hangus,” papar pengagum Nelson Mandela dan Bunda Theresia ini.

Kejadian itu berakibat ia bersama Coen dan Soleh dituding sebagai provokatornya. Lalu Dita dipindahkan ke LP Wanita di Malang, sebelum akhirnya dipindahkan lagi ke LP Tangerang. Di penjara Tangerang, ia pernah menolong napi yang melahirkan di kamar mandi. Ia bertugas memegang senter supaya dokter bisa menjahit dengan benar. Karena gemetar, arah senter tidak memfokus. Atas usul sang aktivis, si anak diberi nama Septi Budiman. Dita dibebaskan pada Agustus 1999.

Atas dedikasinya memperjuangkan nasib kaum buruh, Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia ini dua kali memperoleh penghargaan. Pertama, Wertheim Award, 1997. Kedua, hadiah prestisius Magsaysay Award dari Yayasan Ramond Magsaysay Filipina, 2001, untuk kategori emergent leadership. Dita dinilai bersikap teguh dan konsisten pada kepentingan rakyat pekerja dan dalam memperjuangkan demokrasi Indonesia.

Saat-saat senggang, di antara kesibukannya yang padat, Dita masih sempat menonton teater dan membaca karya sastra. Ia suka membaca puisi Pablo Neruda, Shakespeare. Olahraganya lari pagi.

diambil dari : TEMPO