CUCURAN keringat buruh setiap hari menetes di mesin-mesin industri. Selama roda industri berputar, selama itu pula buruh memeras keringatnya. Namun, manakala putaran mesin tak juga mendongkrak nasibnya, kaum buruh pun mengeluarkan senjata pemungkasnya: mogok.
Pemogokan buruh pertama kali terjadi di Manchester, Inggris, akhir 1819. Ribuan buruh berunjuk rasa dan merusak sejumlah pabrik dan mesin-mesin industri. Mereka menolak menjadi budak industri, menuntut pengurangan jam kerja, dan meminta kenaikan upah. Hampir seabad kemudian, 1916, aksi mogok mulai terjadi di bumi Nusantara. Peristiwanya di Semarang.
Aksi ini melibatkan puluhan buruh anggota Serikat Pegawai Trem dan Kereta Api yang dimotori Semaun, tokoh Sarekat Islam (SI) sayap kiri. Dalam aksi mogok ini, sejumlah pegawai pribumi menuntut kanaikan gaji, lantaran upah mereka jauh lebih kecil ketimbang gaji orang bule. Berdasarkan catatan Robert van Niel dalam bukunya, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, pada 1911 hingga 1920-an sedang berkembang gerakan buruh.
Pada waktu itu, kalangan pribumi yang bekerja di lembaga pemerintah kolonial membentuk organisasi buruh di lingkungan kerjanya. Misalnya, pegawai Bea Cukai membentuk Serikat Buruh Bea Cukai pada 1911. Setahun kemudian lahir Persatuan Guru. Pada 1916 berdiri Persatuan Pegawai Pegadaian dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah.
Selain itu, juga terbentuk organisasi buruh di lingkungan perusahaan dan perkebunan. Serikat Pekerja Trem dan Kereta Api lahir tahun 1912, Serikat Buruh dan Tani dibentuk tahun 1917. Dua tahun sebelumnya, bangsawan Pakualaman, Yogyakarta, RM Suryopranoto, mendirikan organisasi buruh perkebunan yang terkenal dengan nama Personel Fabrik Bond (FPB).
Gerakan buruh di zaman Belanda sarat dengan warna politik. Hampir semua tokoh buruh di masa itu terlibat pergolakan politik melawan pemerintah kolonial. Contohnya, Suryopranoto, yang juga kakak kandung tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Ia semula memperjuangkan kesejahteraan buruh perkebunan tebu. Belakangan, ia membawa buruh untuk melawan Belanda.
Sikap Suryopranoto bergeser setelah unsur buruh sayap kiri pimpinan Semaun, yang berpusat di Semarang, memperoleh tempat di lingkungan buruh perkebunan. Pejuang Sarekat Islam ini terpaksa menyesuaikan diri dengan propaganda politik sayap kiri. ''Ia lebih mendekatkan buruh kepada gerakan revolusioner. Langkah Suryopranoto, berlainan dengan gerakannya semula,'' tulis Robert van Niel.
Bahkan, pada Kongres Sarekat Islam IV, Mei 1919, Suryopranoto mengusulkan rencana menggerakkan buruh untuk melawan ketidakadilan Pemerintah Belanda. Ia bergandeng tangan dengan Semaun, membentuk sentral organisasi buruh yang bernama Persatuan Perhimpunan Kaum Buruh (PPKB), Agustus 1920. Semaun terpilih sebagai Ketua PPKB, wakilnya Suryopranoto, dan sekretarisnya Agus Salim.
Prakteknya, PPKB terbelah dua; kelompok revolusioner yang berpusat di Semarang di bawah komando Semaun. Sebagaimana diketahui, Semaun adalah tokoh Sarekat Islam ''merah'' yang memproklamasikan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Moskow pada 1920.
Kelompok lainnya adalah buruh radikal, berpusat di Yogyakarta. Pemimpinnya Suryopranoto. Ningrat yang pernah bekerja sebagai mandor di kebun tebu ini menyerukan pemogokan total di kalangan buruh perkebunan tebu, Maret 1920. Karena keterampilannya mengorganisasikan buruh mogok, Suryopranoto dijuluki si Raja Mogok.
Kaum buruh di zaman Belanda secara ekonomi tak banyak mendapatkan keuntungan dari gerakan mogok yang mereka lakukan. ''Golongan komunis, pada waktu itu, ingin mempergunakan pemogokan sebagai senjata politik untuk mendapatkan kekuasaan,'' tulis Robert van Niel.
Di masa awal kemerdekaan, buruh menjadi ''kuda tunggangan'' para politikus. Ini bisa dilihat dari lahirnya Barisan Buruh Indonesia (BBI), November 1945. PKI membentuk Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Mei 1947. Pada tahun yang sama, Partai Muslimin mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia. Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), yang berdiri setahun kemudian, berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut pengamat perburuhan, Dr. Payaman J. Simanjuntak, partai politik kala itu memobilisasikan massa buruh untuk meraih kemenangan pada Pemilihan Umum 1955. Bahkan, SOBSI terang-terangan mengibarkan bendera komunis. Organisasi buruh ini berkali-kali melakukan aksi mogok di berbagai perusahaan perkebunan di Jawa dan di Sumatera.
''Karena itu, di zaman Orde Baru, setiap ada pemogokan buruh selalu dikaitkan dengan komunisme,'' kata Payaman Simanjuntak, alumnus Universitas Boston, Amerika Serikat, yang mendalami masalah buruh ini. Penguasa Orde Baru menjinakkan buruh dengan menggabungkan seluruh organisasi buruh dalam Ferderasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), pada 1973.
Lembaga ini kemudian berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), November 1985. Sejak saat itu, organisasi buruh harus meninggalkan warna partainya. Lagi-lagi, buruh menjadi alat politik penguasa. Hampir semua pengurus SPSI tercatat sebagai anggota Golkar.
Selain itu, menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat SPSI Hikayat Atika Karwa, pemerintah juga tak segan-segan memasukkan orang-orangnya dalam jajaran kepengurusan, baik di tingkat pusat maupun daerah. ''Saat itu, SPSI menjadi wadah buruh yang bergantung pada kekuasaan,'' kata Hikayat.
Pemerintah Orde Baru mengharamkan organisasi buruh di luar SPSI, termasuk Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dibentuk Dr. Muchtar Pakpahan, April 1992. Muchtar dihukum tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan, November 1994. Ia didakwa menghasut demo buruh di Medan, yang berlangsung lima bulan sebelumnya.
Nasib serupa juga menimpa Ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) Dita Indah Sari, 25 tahun. Dita ditangkap petugas keamanan ketika puluhan ribu buruh di Surabaya berunjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum regional, Juni 1996. Ia didakwa melakukan tindak pidana subversif, dihukum enam tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Mei 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, Dita dibebaskan Presiden B.J. Habibie, Agustus 1999.
Kini, sederet nama baru organisasi buruh lahir. Berdasarkan data di Departemen Tenaga Kerja, hingga akhir Juni lalu, ada 58 organisasi buruh. Dua organisasi buruh membawa bendera Islam. Yaitu, Sarbumusi yang membawa bendera NU, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia.
Juga terdaftar, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia dan SBSI. Kedua organisasi ini mencantumkan asas sosialis demokrasi. Ada pula gerakan buruh marhaen, yaitu Kesatuan Buruh Marhaenis, yang dipimpin M. Pasaribu.
Semangat membentuk organisasi pekerja bukan cuma dimonopoli buruh pabrik. Di kalangan pekerja berdasi dan kaum profesional, kini ada kecenderungan menghimpun diri dalam organisasi pekerja. Karyawan bank membentuk Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (Fokuba).
Pengurus organisasi buruh kini juga bervariasi. Ada veteran aktivis buruh masa lalu, politisi, aktivis kampus, dan kaum profesional. Bangkotan buruh kawakan, Agus Sudono dan Bomer Pasaribu, masih terdapat dalam kepengurusan serikat buruh. Tokoh bawah tanah dalam gerakan buruh semasa Soeharto, seperti Muchtar Pakpahan dan Dita Indah Sari, masih tampil dalam gerakan buruh. Muchtar memimpin SBSI. Dita yang dulu memimpin PPBI kini memimpin FNPBI.
Tampilnya sejumlah tokoh memimpin organisasi buruh itu belum dapat mengangkat kehidupan buruh yang kini terpuruk diterjang badai krismon. Salah satu penyebabnya, menurut Hikayat Atika, karena pemerintahan Abdurrahman Wahid lebih banyak membela kepentingan pemilik modal.
''Buktinya, sampai saat ini belum ada kebijakan yang mendukung perjuangan buruh,'' kata Hikayat. Ia mengingatkan, kalau buruh terus tertindas, mungkin akan terjadi revolusi sosial.
Ini ancaman serius, rupanya.
Sumber: Gatra
Selasa, 23 Januari 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar