Tangerang, Sinar Harapan: Setelah sempat ”menginap” di sel tahanan, akhirnya Polres Metro Tangerang, Jumat (9/11) pagi melepas delapan orang, termasuk Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Dita Indah Sari.
Mereka ditahan menyusul terjadinya bentrok aparat kepolisian dengan ribuan karyawan perwakilan 15 cabang Matahari Departemen Store se-Jabotabek di Gedung Menara Matahari, Lippo Karawaci, Kamis (8/11) siang.Kasat Serse Polres Metro Tangerang, Inspektur Polisi Satu (Iptu) Chandra Sukmana kepada SH, Jumat (9/11) pagi, delapan orang termasuk Dita Indah Sari hanya diminta keterangan bertalian dengan penyelenggaraan aksi unjuk rasa tersebut yang tidak memiliki izin.”Jadi, tidak benar kalau kami melakukan penahanan. Kami hanya memeriksa saja kok,” kata Chandra Sukmana.
Sementara itu, Ketua FNPBI Dita Indah Sari yang dihubungi SH, Jumat (9/11) pagi mengatakan, dirinya dilepas polisi sekitar pukul 04.00 Jumat (9/11) dini hari.”Sekitar pukul empat dini hari saya dan tujuh rekan lainnya dilepas. Siang ini (maksudnya Jumat,9/11-red) kami kembali mengelar aksi unjuk rasa di kantor Depnakertrans Tangerang,” ujarnya.
Dita mengatakan, aksi unjuk rasa terpaksa dilakukan untuk memprotes tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menyikapi demo pada hari Kamis (8/11).”Kami mengutuk tindak kekerasan aparat terhadap aktivis buruh. Akibatnya, delapan orang buruh luka di bagian kepala. Sedangkan, puluhan lainnya luka akibat terinjak-injak saat mencoba lari dari kejaran petugas,” katanya.
Sebelumnya, Sulistiono, salah seorang aktivis FNPBI yang dihubungi SH via telepon mengakui, pihak polisi setempat telah menahan Dita Indah sari bersama tujuh buruh lainnya di antaranya Desi, Nurhasah, Izul, M. Yasir, Yudi, Amran serta Wiwin. ”Menurut informasi terakhir yang saya dapatkan sampai dengan Kamis malam mereka masih berada di dalam ruangan pemeriksaan. Sekjen FNPBI, Ilhamsyah dan beberapa teman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah meluncur ke Polres Metro Tangerang,” ungkapnya.Selain itu, Sulistiono juga menyatakan bahwa dari kedelapan orang yang ditahan tersebut, dua orang mengalami luka di bagian kepala akibat pukulan petugas. ”Dua orang itu yakni Nurhasah dan Izul,” tambahnya.Waka Polres Metro Tangerang, Komisaris Pol Paulus Waterpauw membenarkan bahwa pihaknya memang telah menahan sejumlah aktivis termasuk Dita Indah Sari. ”Adapun alasan penahanan tersebut karena mereka dianggap telah melanggar UU No 9 tahun 1998 dengan melakukan demo tanpa izin,” ujarnya.
Dia juga menyatakan, bahwa pihaknya telah memberikan tolerasi dengan mempersilakan buruh-buruh tersebut melakukan orasi sampai pukul 14.00 WIB. ”Tapi ternyata buruh-buruh tersebut tetap ingin bertahan. Akhirnya pukul 15.00, kami terpaksa membubarkan aksi mereka karena telah dianggap mengganggu ke-tertiban umum,” tambah Paulus.
Siap Berunding
Bentrokan antara petugas dan karyawan perwakilan 15 cabang Matahari Departemen Store Se-Jabotabek meledak sekitar pukul 15.15 WIB. Saat itu sekitar 1 SSK yang terdiri dari gabungan anggota Brimob dan Sabhara Polres Tangerang yang gagal melakukan pendekatan persuasif mencoba membubarkan para demonstran.
Ketika itu, sempat terjadi aksi dorong-mendorong selama beberapa menit sebelum akhirnya para demonstran lari menuju ke arah Lippo Super Mall dan memblokir jalan di depan pusat perbelanjaan itu selama 15 menit. Aksi para buruh baru membubarkan diri setelah tahu ada seorang rekannya jatuh pingsan.
Menurut keterangan yang berhasil dikumpulkan SH, para karyawan 15 cabang Matahari Grup itu menuntut agar perusahaan memberikan uang makan sebesar Rp 10.000 serta uang transport sebesar Rp 8.000 kepada mereka. Namun hingga saat ini pihak manajemen perusahaan belum juga memenuhi tuntutan itu sehingga mereka melakukan aksi tersebut.
Humas Menara Matahari, Hari Sadewo yang dihubungi SH menyatakan, pihaknya bersedia berunding dengan karyawan asalkan tidak ada pihak ketiga yang ikut campur dalam urusan ini. ”Selama ada yang ikut campur, kami tidak bisa menanggapi,” katanya. (wib)
Jumat, 09 November 2001
Rabu, 24 Januari 2001
Dita Sari: Tak Adil Mengkambinghitamkan Buruh
Liputan6.com, Jakarta: Potensi penerimaan dari sektor sepatu dan tekstil sangat besar. Karena itu para aktivis buruh mendesak pemerintah mengganjal rencana para pengusaha untuk merelokasi industri ke Cina dan Vietnam. Maklum, para pengusaha berdalih memindahkan lokasi usaha karena aksi unjuk rasa buruh. Namun, sejauh ini, pemerintah belum menerima proposal mereka. Nah, untuk mengetahui masalah tersebut Bayu Sutiyono berbincang dengan Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Persepatuan Indonesia Djimanto dan Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Dita Indah Sari di Studio SCTV Jakarta, Rabu (24/1) siang.
Djimanto ingin meluruskan berita yang dinilainya simpang siur. "Pengusaha akan melakukan diversifikasi bukan relokasi," kata dia menegaskan. Diversifikasi, tambah dia, adalah melebarkan usaha ke luar negeri. Karena itu, menurut dia, para pengusaha tak perlu melapor kepada Departemen Perdagangan dan Industri.
Djimanto membenarkan, persoalan yang menohok langsung industri adalah aksi mogok dan unjuk rasa para buruh. Menurut dia, para buruh berdemonstrasi tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku. Dia menganggap tuntutan para buruh berlebihan dan negosiasi selalu mentok. Hal tersebut dibenarkan Dita. Namun, dia mengingatkan tindakan buruh bukan tanpa sebab.
Para buruh berunjuk rasa karena upah mereka jauh dari kata sejahtera. Apalagi, rencana relokasi dan diversifikasi mengancam kehidupan mereka. Dia menduga, para pengusaha mengambil langkah tersebut untuk mencari keuntungan yang lebih besar dan menghindari ekonomi biaya tinggi. Apalagi, upah buruh di Cina dan Vietnam terbilang minim. Sebab, pemerintah dua negara tersebut merepresif gerakan buruh. Sebagai jalan tengah, Dita mengusulkan pemerintah menerbitkan peraturan untuk memperketat ekspansi ke luar negeri. Jangan sampai buruh menjadi kambing hitam atas alasan tersebut. "Itu tidak fair" kata dia.
Djimanto membenarkan pendapat Dita. Tapi, tentu saja dia membantah keputusan pengusaha semata-mata mengejar keuntungan. Jurus itu ditempuh untuk tetap menghidupkan perusahaan. Dia menyangkal berniat hengkang lantaran tak lagi mendapat berbagai fasilitas. Sebab, para buruh menuduh, selama Orde Baru perusahaan tersebut terlampau dimanja dengan keunggulan komparatif. "Itu dilakukan supaya perusahaan kian mantap," kata dia.(TNA)
Djimanto ingin meluruskan berita yang dinilainya simpang siur. "Pengusaha akan melakukan diversifikasi bukan relokasi," kata dia menegaskan. Diversifikasi, tambah dia, adalah melebarkan usaha ke luar negeri. Karena itu, menurut dia, para pengusaha tak perlu melapor kepada Departemen Perdagangan dan Industri.
Djimanto membenarkan, persoalan yang menohok langsung industri adalah aksi mogok dan unjuk rasa para buruh. Menurut dia, para buruh berdemonstrasi tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku. Dia menganggap tuntutan para buruh berlebihan dan negosiasi selalu mentok. Hal tersebut dibenarkan Dita. Namun, dia mengingatkan tindakan buruh bukan tanpa sebab.
Para buruh berunjuk rasa karena upah mereka jauh dari kata sejahtera. Apalagi, rencana relokasi dan diversifikasi mengancam kehidupan mereka. Dia menduga, para pengusaha mengambil langkah tersebut untuk mencari keuntungan yang lebih besar dan menghindari ekonomi biaya tinggi. Apalagi, upah buruh di Cina dan Vietnam terbilang minim. Sebab, pemerintah dua negara tersebut merepresif gerakan buruh. Sebagai jalan tengah, Dita mengusulkan pemerintah menerbitkan peraturan untuk memperketat ekspansi ke luar negeri. Jangan sampai buruh menjadi kambing hitam atas alasan tersebut. "Itu tidak fair" kata dia.
Djimanto membenarkan pendapat Dita. Tapi, tentu saja dia membantah keputusan pengusaha semata-mata mengejar keuntungan. Jurus itu ditempuh untuk tetap menghidupkan perusahaan. Dia menyangkal berniat hengkang lantaran tak lagi mendapat berbagai fasilitas. Sebab, para buruh menuduh, selama Orde Baru perusahaan tersebut terlampau dimanja dengan keunggulan komparatif. "Itu dilakukan supaya perusahaan kian mantap," kata dia.(TNA)
Selasa, 23 Januari 2001
Peluh Buruh Berbau Politik
CUCURAN keringat buruh setiap hari menetes di mesin-mesin industri. Selama roda industri berputar, selama itu pula buruh memeras keringatnya. Namun, manakala putaran mesin tak juga mendongkrak nasibnya, kaum buruh pun mengeluarkan senjata pemungkasnya: mogok.
Pemogokan buruh pertama kali terjadi di Manchester, Inggris, akhir 1819. Ribuan buruh berunjuk rasa dan merusak sejumlah pabrik dan mesin-mesin industri. Mereka menolak menjadi budak industri, menuntut pengurangan jam kerja, dan meminta kenaikan upah. Hampir seabad kemudian, 1916, aksi mogok mulai terjadi di bumi Nusantara. Peristiwanya di Semarang.
Aksi ini melibatkan puluhan buruh anggota Serikat Pegawai Trem dan Kereta Api yang dimotori Semaun, tokoh Sarekat Islam (SI) sayap kiri. Dalam aksi mogok ini, sejumlah pegawai pribumi menuntut kanaikan gaji, lantaran upah mereka jauh lebih kecil ketimbang gaji orang bule. Berdasarkan catatan Robert van Niel dalam bukunya, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, pada 1911 hingga 1920-an sedang berkembang gerakan buruh.
Pada waktu itu, kalangan pribumi yang bekerja di lembaga pemerintah kolonial membentuk organisasi buruh di lingkungan kerjanya. Misalnya, pegawai Bea Cukai membentuk Serikat Buruh Bea Cukai pada 1911. Setahun kemudian lahir Persatuan Guru. Pada 1916 berdiri Persatuan Pegawai Pegadaian dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah.
Selain itu, juga terbentuk organisasi buruh di lingkungan perusahaan dan perkebunan. Serikat Pekerja Trem dan Kereta Api lahir tahun 1912, Serikat Buruh dan Tani dibentuk tahun 1917. Dua tahun sebelumnya, bangsawan Pakualaman, Yogyakarta, RM Suryopranoto, mendirikan organisasi buruh perkebunan yang terkenal dengan nama Personel Fabrik Bond (FPB).
Gerakan buruh di zaman Belanda sarat dengan warna politik. Hampir semua tokoh buruh di masa itu terlibat pergolakan politik melawan pemerintah kolonial. Contohnya, Suryopranoto, yang juga kakak kandung tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Ia semula memperjuangkan kesejahteraan buruh perkebunan tebu. Belakangan, ia membawa buruh untuk melawan Belanda.
Sikap Suryopranoto bergeser setelah unsur buruh sayap kiri pimpinan Semaun, yang berpusat di Semarang, memperoleh tempat di lingkungan buruh perkebunan. Pejuang Sarekat Islam ini terpaksa menyesuaikan diri dengan propaganda politik sayap kiri. ''Ia lebih mendekatkan buruh kepada gerakan revolusioner. Langkah Suryopranoto, berlainan dengan gerakannya semula,'' tulis Robert van Niel.
Bahkan, pada Kongres Sarekat Islam IV, Mei 1919, Suryopranoto mengusulkan rencana menggerakkan buruh untuk melawan ketidakadilan Pemerintah Belanda. Ia bergandeng tangan dengan Semaun, membentuk sentral organisasi buruh yang bernama Persatuan Perhimpunan Kaum Buruh (PPKB), Agustus 1920. Semaun terpilih sebagai Ketua PPKB, wakilnya Suryopranoto, dan sekretarisnya Agus Salim.
Prakteknya, PPKB terbelah dua; kelompok revolusioner yang berpusat di Semarang di bawah komando Semaun. Sebagaimana diketahui, Semaun adalah tokoh Sarekat Islam ''merah'' yang memproklamasikan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Moskow pada 1920.
Kelompok lainnya adalah buruh radikal, berpusat di Yogyakarta. Pemimpinnya Suryopranoto. Ningrat yang pernah bekerja sebagai mandor di kebun tebu ini menyerukan pemogokan total di kalangan buruh perkebunan tebu, Maret 1920. Karena keterampilannya mengorganisasikan buruh mogok, Suryopranoto dijuluki si Raja Mogok.
Kaum buruh di zaman Belanda secara ekonomi tak banyak mendapatkan keuntungan dari gerakan mogok yang mereka lakukan. ''Golongan komunis, pada waktu itu, ingin mempergunakan pemogokan sebagai senjata politik untuk mendapatkan kekuasaan,'' tulis Robert van Niel.
Di masa awal kemerdekaan, buruh menjadi ''kuda tunggangan'' para politikus. Ini bisa dilihat dari lahirnya Barisan Buruh Indonesia (BBI), November 1945. PKI membentuk Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Mei 1947. Pada tahun yang sama, Partai Muslimin mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia. Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), yang berdiri setahun kemudian, berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut pengamat perburuhan, Dr. Payaman J. Simanjuntak, partai politik kala itu memobilisasikan massa buruh untuk meraih kemenangan pada Pemilihan Umum 1955. Bahkan, SOBSI terang-terangan mengibarkan bendera komunis. Organisasi buruh ini berkali-kali melakukan aksi mogok di berbagai perusahaan perkebunan di Jawa dan di Sumatera.
''Karena itu, di zaman Orde Baru, setiap ada pemogokan buruh selalu dikaitkan dengan komunisme,'' kata Payaman Simanjuntak, alumnus Universitas Boston, Amerika Serikat, yang mendalami masalah buruh ini. Penguasa Orde Baru menjinakkan buruh dengan menggabungkan seluruh organisasi buruh dalam Ferderasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), pada 1973.
Lembaga ini kemudian berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), November 1985. Sejak saat itu, organisasi buruh harus meninggalkan warna partainya. Lagi-lagi, buruh menjadi alat politik penguasa. Hampir semua pengurus SPSI tercatat sebagai anggota Golkar.
Selain itu, menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat SPSI Hikayat Atika Karwa, pemerintah juga tak segan-segan memasukkan orang-orangnya dalam jajaran kepengurusan, baik di tingkat pusat maupun daerah. ''Saat itu, SPSI menjadi wadah buruh yang bergantung pada kekuasaan,'' kata Hikayat.
Pemerintah Orde Baru mengharamkan organisasi buruh di luar SPSI, termasuk Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dibentuk Dr. Muchtar Pakpahan, April 1992. Muchtar dihukum tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan, November 1994. Ia didakwa menghasut demo buruh di Medan, yang berlangsung lima bulan sebelumnya.
Nasib serupa juga menimpa Ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) Dita Indah Sari, 25 tahun. Dita ditangkap petugas keamanan ketika puluhan ribu buruh di Surabaya berunjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum regional, Juni 1996. Ia didakwa melakukan tindak pidana subversif, dihukum enam tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Mei 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, Dita dibebaskan Presiden B.J. Habibie, Agustus 1999.
Kini, sederet nama baru organisasi buruh lahir. Berdasarkan data di Departemen Tenaga Kerja, hingga akhir Juni lalu, ada 58 organisasi buruh. Dua organisasi buruh membawa bendera Islam. Yaitu, Sarbumusi yang membawa bendera NU, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia.
Juga terdaftar, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia dan SBSI. Kedua organisasi ini mencantumkan asas sosialis demokrasi. Ada pula gerakan buruh marhaen, yaitu Kesatuan Buruh Marhaenis, yang dipimpin M. Pasaribu.
Semangat membentuk organisasi pekerja bukan cuma dimonopoli buruh pabrik. Di kalangan pekerja berdasi dan kaum profesional, kini ada kecenderungan menghimpun diri dalam organisasi pekerja. Karyawan bank membentuk Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (Fokuba).
Pengurus organisasi buruh kini juga bervariasi. Ada veteran aktivis buruh masa lalu, politisi, aktivis kampus, dan kaum profesional. Bangkotan buruh kawakan, Agus Sudono dan Bomer Pasaribu, masih terdapat dalam kepengurusan serikat buruh. Tokoh bawah tanah dalam gerakan buruh semasa Soeharto, seperti Muchtar Pakpahan dan Dita Indah Sari, masih tampil dalam gerakan buruh. Muchtar memimpin SBSI. Dita yang dulu memimpin PPBI kini memimpin FNPBI.
Tampilnya sejumlah tokoh memimpin organisasi buruh itu belum dapat mengangkat kehidupan buruh yang kini terpuruk diterjang badai krismon. Salah satu penyebabnya, menurut Hikayat Atika, karena pemerintahan Abdurrahman Wahid lebih banyak membela kepentingan pemilik modal.
''Buktinya, sampai saat ini belum ada kebijakan yang mendukung perjuangan buruh,'' kata Hikayat. Ia mengingatkan, kalau buruh terus tertindas, mungkin akan terjadi revolusi sosial.
Ini ancaman serius, rupanya.
Sumber: Gatra
Pemogokan buruh pertama kali terjadi di Manchester, Inggris, akhir 1819. Ribuan buruh berunjuk rasa dan merusak sejumlah pabrik dan mesin-mesin industri. Mereka menolak menjadi budak industri, menuntut pengurangan jam kerja, dan meminta kenaikan upah. Hampir seabad kemudian, 1916, aksi mogok mulai terjadi di bumi Nusantara. Peristiwanya di Semarang.
Aksi ini melibatkan puluhan buruh anggota Serikat Pegawai Trem dan Kereta Api yang dimotori Semaun, tokoh Sarekat Islam (SI) sayap kiri. Dalam aksi mogok ini, sejumlah pegawai pribumi menuntut kanaikan gaji, lantaran upah mereka jauh lebih kecil ketimbang gaji orang bule. Berdasarkan catatan Robert van Niel dalam bukunya, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, pada 1911 hingga 1920-an sedang berkembang gerakan buruh.
Pada waktu itu, kalangan pribumi yang bekerja di lembaga pemerintah kolonial membentuk organisasi buruh di lingkungan kerjanya. Misalnya, pegawai Bea Cukai membentuk Serikat Buruh Bea Cukai pada 1911. Setahun kemudian lahir Persatuan Guru. Pada 1916 berdiri Persatuan Pegawai Pegadaian dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Pemerintah.
Selain itu, juga terbentuk organisasi buruh di lingkungan perusahaan dan perkebunan. Serikat Pekerja Trem dan Kereta Api lahir tahun 1912, Serikat Buruh dan Tani dibentuk tahun 1917. Dua tahun sebelumnya, bangsawan Pakualaman, Yogyakarta, RM Suryopranoto, mendirikan organisasi buruh perkebunan yang terkenal dengan nama Personel Fabrik Bond (FPB).
Gerakan buruh di zaman Belanda sarat dengan warna politik. Hampir semua tokoh buruh di masa itu terlibat pergolakan politik melawan pemerintah kolonial. Contohnya, Suryopranoto, yang juga kakak kandung tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Ia semula memperjuangkan kesejahteraan buruh perkebunan tebu. Belakangan, ia membawa buruh untuk melawan Belanda.
Sikap Suryopranoto bergeser setelah unsur buruh sayap kiri pimpinan Semaun, yang berpusat di Semarang, memperoleh tempat di lingkungan buruh perkebunan. Pejuang Sarekat Islam ini terpaksa menyesuaikan diri dengan propaganda politik sayap kiri. ''Ia lebih mendekatkan buruh kepada gerakan revolusioner. Langkah Suryopranoto, berlainan dengan gerakannya semula,'' tulis Robert van Niel.
Bahkan, pada Kongres Sarekat Islam IV, Mei 1919, Suryopranoto mengusulkan rencana menggerakkan buruh untuk melawan ketidakadilan Pemerintah Belanda. Ia bergandeng tangan dengan Semaun, membentuk sentral organisasi buruh yang bernama Persatuan Perhimpunan Kaum Buruh (PPKB), Agustus 1920. Semaun terpilih sebagai Ketua PPKB, wakilnya Suryopranoto, dan sekretarisnya Agus Salim.
Prakteknya, PPKB terbelah dua; kelompok revolusioner yang berpusat di Semarang di bawah komando Semaun. Sebagaimana diketahui, Semaun adalah tokoh Sarekat Islam ''merah'' yang memproklamasikan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Moskow pada 1920.
Kelompok lainnya adalah buruh radikal, berpusat di Yogyakarta. Pemimpinnya Suryopranoto. Ningrat yang pernah bekerja sebagai mandor di kebun tebu ini menyerukan pemogokan total di kalangan buruh perkebunan tebu, Maret 1920. Karena keterampilannya mengorganisasikan buruh mogok, Suryopranoto dijuluki si Raja Mogok.
Kaum buruh di zaman Belanda secara ekonomi tak banyak mendapatkan keuntungan dari gerakan mogok yang mereka lakukan. ''Golongan komunis, pada waktu itu, ingin mempergunakan pemogokan sebagai senjata politik untuk mendapatkan kekuasaan,'' tulis Robert van Niel.
Di masa awal kemerdekaan, buruh menjadi ''kuda tunggangan'' para politikus. Ini bisa dilihat dari lahirnya Barisan Buruh Indonesia (BBI), November 1945. PKI membentuk Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Mei 1947. Pada tahun yang sama, Partai Muslimin mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia. Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), yang berdiri setahun kemudian, berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut pengamat perburuhan, Dr. Payaman J. Simanjuntak, partai politik kala itu memobilisasikan massa buruh untuk meraih kemenangan pada Pemilihan Umum 1955. Bahkan, SOBSI terang-terangan mengibarkan bendera komunis. Organisasi buruh ini berkali-kali melakukan aksi mogok di berbagai perusahaan perkebunan di Jawa dan di Sumatera.
''Karena itu, di zaman Orde Baru, setiap ada pemogokan buruh selalu dikaitkan dengan komunisme,'' kata Payaman Simanjuntak, alumnus Universitas Boston, Amerika Serikat, yang mendalami masalah buruh ini. Penguasa Orde Baru menjinakkan buruh dengan menggabungkan seluruh organisasi buruh dalam Ferderasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), pada 1973.
Lembaga ini kemudian berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), November 1985. Sejak saat itu, organisasi buruh harus meninggalkan warna partainya. Lagi-lagi, buruh menjadi alat politik penguasa. Hampir semua pengurus SPSI tercatat sebagai anggota Golkar.
Selain itu, menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat SPSI Hikayat Atika Karwa, pemerintah juga tak segan-segan memasukkan orang-orangnya dalam jajaran kepengurusan, baik di tingkat pusat maupun daerah. ''Saat itu, SPSI menjadi wadah buruh yang bergantung pada kekuasaan,'' kata Hikayat.
Pemerintah Orde Baru mengharamkan organisasi buruh di luar SPSI, termasuk Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dibentuk Dr. Muchtar Pakpahan, April 1992. Muchtar dihukum tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan, November 1994. Ia didakwa menghasut demo buruh di Medan, yang berlangsung lima bulan sebelumnya.
Nasib serupa juga menimpa Ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) Dita Indah Sari, 25 tahun. Dita ditangkap petugas keamanan ketika puluhan ribu buruh di Surabaya berunjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum regional, Juni 1996. Ia didakwa melakukan tindak pidana subversif, dihukum enam tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Mei 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, Dita dibebaskan Presiden B.J. Habibie, Agustus 1999.
Kini, sederet nama baru organisasi buruh lahir. Berdasarkan data di Departemen Tenaga Kerja, hingga akhir Juni lalu, ada 58 organisasi buruh. Dua organisasi buruh membawa bendera Islam. Yaitu, Sarbumusi yang membawa bendera NU, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia.
Juga terdaftar, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia dan SBSI. Kedua organisasi ini mencantumkan asas sosialis demokrasi. Ada pula gerakan buruh marhaen, yaitu Kesatuan Buruh Marhaenis, yang dipimpin M. Pasaribu.
Semangat membentuk organisasi pekerja bukan cuma dimonopoli buruh pabrik. Di kalangan pekerja berdasi dan kaum profesional, kini ada kecenderungan menghimpun diri dalam organisasi pekerja. Karyawan bank membentuk Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (Fokuba).
Pengurus organisasi buruh kini juga bervariasi. Ada veteran aktivis buruh masa lalu, politisi, aktivis kampus, dan kaum profesional. Bangkotan buruh kawakan, Agus Sudono dan Bomer Pasaribu, masih terdapat dalam kepengurusan serikat buruh. Tokoh bawah tanah dalam gerakan buruh semasa Soeharto, seperti Muchtar Pakpahan dan Dita Indah Sari, masih tampil dalam gerakan buruh. Muchtar memimpin SBSI. Dita yang dulu memimpin PPBI kini memimpin FNPBI.
Tampilnya sejumlah tokoh memimpin organisasi buruh itu belum dapat mengangkat kehidupan buruh yang kini terpuruk diterjang badai krismon. Salah satu penyebabnya, menurut Hikayat Atika, karena pemerintahan Abdurrahman Wahid lebih banyak membela kepentingan pemilik modal.
''Buktinya, sampai saat ini belum ada kebijakan yang mendukung perjuangan buruh,'' kata Hikayat. Ia mengingatkan, kalau buruh terus tertindas, mungkin akan terjadi revolusi sosial.
Ini ancaman serius, rupanya.
Sumber: Gatra
Langganan:
Postingan (Atom)