Sigit Kurniawan - Elshintanewsroom, Kurang lebih sepekan lagi, kaum buruh di seantero jagat ini akan merayakan Hari Buruh atau yang dikenal dengan May Day. Tepat 1 Mei, kaum buruh di Indonesia pun akan bersama merayakannya. Biasanya, seperti tahun sebelumnya, kegiatan May Day itu akan diisi dengan beragam acara, seperti aksi turun ke jalan, demonstrasi, orasi, pagelaran musik, dan sebagainya yang pada intinya bagaimana kaum buruh menyuarakan aspirasi mereka, menyampaikan tuntutan mereka. Dan itu selalu disuarakan setiap Hari Buruh tiba.
Adalah Dita Indah Sari, salah satu aktivis buruh Indonesia, menyebut tiga tahun terakhir atau periode 2006-2008 sebagai puncak terburuk bagi nasib kaum buruh di Indonesia. Parameternya, adalah bagaimana buruh tak pernah bisa memperbaiki nasib mereka. Dan lagi-lagi persoalan upah buruh yang ternyata tidak dapat mengejar kenaikan harga sembako akhir-akhir ini.
Dita menyebut, kaum buruh saat ini sangat terpukul dengan terjadinya tiga kenaikan, yaitu kenaikan karbohidrat berupa beras, kenaikan protein yaitu naiknya harga minyak goreng dan kedelai serta kenaikan energi berupa minyak tanah dan gas.
Persoalan upah yang kecil memang kerap menjadi teriakan kaum buruh. Belum lagi persoalan hak-hak buruh yang kerap diabaikan oleh para pemilik modal atau pengusaha, seperti upah yang tak dibayar, kenaikan upah yang tak sesuai, hak cuti yang tak didapat, PHK sepihak, dll. Buntutnya, buruh hanya bisa berteriak, protes, hingga bermuara pada aksi turun kejalan, berdemonstrasi.
Idealnya, siapapun apalagi kaum buruh (pekerja), menginginkan agar dalam hubungan industrial terjalin pola hubungan yang harmonis, kondusif dan saling menguntungkan, dimana buruh/pekerja dapat menjalankan aktivitas mereka dengan baik dan tanpa tekanan yang tak berdasar. Semua ini tentu dengan harapan agar produktivitas yang tinggi dapat tercipta. Dan hasil maksimal yang diharapkan pengusaha pun akan tercapai. Dan lagi, semua ini akan kembali kepada buruh yang akan menikmati hasil dari apa yang sudah mereka lakukan.
Pekerja adalah asset yang harus dipelihara dan dijaga sudah seharusnya ada di benak pengusaha atau pemilik modal. Kesejahteraan buruh/pekerja sudah sepatutnya menjadi perhatian. Kesejahteraan bukan lagi milik sekelompok orang yang hanya bisa bermanis muka, menekan buruh demi menyenangkan pengusaha. Kesejahteraan adalah milik semua, ya buruh ya pekerja.
Dan bercermin dari penghargaan ''A Tribute To Woman 2008'' yang diterima oleh Dita Indah Sari, bukan semata untuk dirinya namun akan menjadi spirit dan dedikasi bagi perjuangan kaum buruh Indonesia. Semoga.
Kamis, 24 April 2008
Rabu, 23 April 2008
Dita Indah Sari memperoleh penghargaan "Ten Most Oustanding Women"
Jakarta, Berdikari- Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Papernas, Dita Indah Sari, memperoleh penghargaan sebagai "salah satu dari sepuluh tokoh yang paling memberi inspirasi pada perempuan Indonesia". Acara penghargaan yang bertajuk "Tribute to Women" digelar pada Selasa malam (22/04) di Sky Building Plaza Semanggi oleh Kantor Berita Antara.
Selain Dita, penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono juga diterima oleh Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Ayu Utami (Penulis), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Di posting dari : berdikari Online
Selain Dita, penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono juga diterima oleh Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Ayu Utami (Penulis), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Di posting dari : berdikari Online
Rabu, 02 April 2008
Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi
Oleh Dita Indah Sari
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Langganan:
Postingan (Atom)