TEMPO Interaktif, Jakarta:Reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah dinilai salah kaprah. Kebijakan pemerintah meningkatkan gaji pegawai departemen keuangan dan pemberian renumerasi kepada 7.500 pejabat negara tidak memiliki empati terhadap penderitaan rakyat.
"Pemerintah sudah tak nyambung dengan realitas yang dihadapi masyarakat," ujar Ketua Umum Komite Indonesia Bangkit, Rizal Ramli, dalam diskusi Reformasi Birokrasi di Restoran Bebek Bali, Selasa (13/11).
Menurut Rizal, reformasi birokrasi keliru jika hanya dilakukan dengan meningkatkan pendapatan birokrat. "Sekali lagi ini menunjukan simplifikasi masalah yang dilakukan oleh pemerintah," Rizal menambahkan.
Dia mengatakan, reformasi birokrasi mestinya dilakukan dengan peningkatan kompetensi, moral, dan kredibilitas pegawai serta penataan ulang birokrasi.
Pemerintah, kata Rizal, seharusnya memprioritaskan anggaran untuk mensejahterakan rakyat. "Kebutuhan pejabat sudah dibayar negara, gaji sudah tinggi, tidak perlu ditambah lagi," katanya.
Sebelumnya, Departemen Keuangan sudah menaikan gaji 62 ribu pegawainya. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tambahan anggaran Rp 4,37 triliun. Pemerintah juga telah memberikan renumerasi bagi 5000 pejabat negara dan berencana memberikan untuk sekitar 2000 pejabat negara lagi.
Anggaran itu, menurut Rizal, bisa menciptakan satu juta lapangan kerja dengan asumsi gaji perhari Rp 40.000 selama tiga bulan. "Uang itu seharusnya bisa menggerakkan sektor ekonomi," katanya.
Sementara itu, aktivis buruh Dita Indah Sari, menyatakan reformasi birokrasi harus dilakukan dengan merombak total birokrasi yang ada sekarang. "Birokrasi yang ada saat ini membuat banyak waktu dan uang terbuang sia-sia," katanya.
Ia menyarankan, pemerintah mengamandemen undang-undang kepegawaian agar terbuka kemungkinan untuk memecat pegawai negeri dengan kinerja buruk dan memberi ruang kalangan profesional untuk masuk.
Jika ada pemberian renumerasi, kata Dita, harus diprioritaskan kepada pegawai negeri golongan I dan II serta tentara berpangkat Bintara dan Tamtama. "Gaji mereka banyak yang dibawah UMP," kata Indah.
Sementara itu, Ketua Umum Pemuda Tani Indonesia Supriyanto, menyatakan birokrasi yang ada sekarang sangat berbelit dan rawan suap. Ia berharap pemerintah mempunyai keberanian untuk memangkas birokrat yang tidak produktif.
Selasa, 13 November 2007
Jumat, 28 September 2007
Dita Tak Tahu-Menahu Soal Kabinet Buruh
JAKARTA - Aktivis Buruh Dita Indah Sari ditunjuk sebagai Presiden dalam kabinet bayangan yang dibentuk Dewan Buruh Nasional. Namun Dita mengaku tak tahu menahu perihal pembentukan kabinet tersebut.
“Wah saya baru dengar ini,” kata wanita yang menjabat Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) saat dikonfirmasi okezone, Jumat (28/9/2007)
Meski demikian Dita mengaku tak keberatan jika dirinya didaulat sebagai Presiden dalam Pemerintahan Buruh Nasional ini. “Saya sih siap saja kalau memang aspirasi para para buruh demikian,” ungkapnya.
Dita menilai pembentukan kabinet tandingan untuk mengkritisi kabinet bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sebagai langkah positif yang harus didukung. “Ini positif, membuktikan buruh sudah sadar politik,” imbuhnya.
Hal tersebut merupakan kritik keras buruh kepada pemerintahan SBY. Tanpa pergantian pemerintahan, kata Dita, perbaikan ekonomi tidak akan terjadi. Namun dia juga mengatakan, pergantian kepemimpinan tidak cukup tanpa disertai perubahan orientasi dan kebijakan ekonomi.
Sebab itu, jika pemerintahan versi buruh ini berjalan dengan baik, Dita siap melakukan langkah-langkah konkrit yang diharapkan bisa menjadi acuan pemerintah.
“Tidak hanya sekedar kritik tapi bisa menampilkan alternatif,” tandasnya.
Sementara itu, penanggung jawab pembentukan pemerintahan Dewan Buruh Nasional Jafar Santana tidak dapat dihubungi untuk dimintai keterangan, perihal nama-nama yang tertera dalam kabinet bayangan tersebut. (pie)
“Wah saya baru dengar ini,” kata wanita yang menjabat Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) saat dikonfirmasi okezone, Jumat (28/9/2007)
Meski demikian Dita mengaku tak keberatan jika dirinya didaulat sebagai Presiden dalam Pemerintahan Buruh Nasional ini. “Saya sih siap saja kalau memang aspirasi para para buruh demikian,” ungkapnya.
Dita menilai pembentukan kabinet tandingan untuk mengkritisi kabinet bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sebagai langkah positif yang harus didukung. “Ini positif, membuktikan buruh sudah sadar politik,” imbuhnya.
Hal tersebut merupakan kritik keras buruh kepada pemerintahan SBY. Tanpa pergantian pemerintahan, kata Dita, perbaikan ekonomi tidak akan terjadi. Namun dia juga mengatakan, pergantian kepemimpinan tidak cukup tanpa disertai perubahan orientasi dan kebijakan ekonomi.
Sebab itu, jika pemerintahan versi buruh ini berjalan dengan baik, Dita siap melakukan langkah-langkah konkrit yang diharapkan bisa menjadi acuan pemerintah.
“Tidak hanya sekedar kritik tapi bisa menampilkan alternatif,” tandasnya.
Sementara itu, penanggung jawab pembentukan pemerintahan Dewan Buruh Nasional Jafar Santana tidak dapat dihubungi untuk dimintai keterangan, perihal nama-nama yang tertera dalam kabinet bayangan tersebut. (pie)
Selasa, 04 September 2007
Menemukan Common Platform bagi Gerakan Perempuan
Oleh : Dita Indah Sari*
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengangkat persoalan kesetaraan gender ke permukaan, serta mencari aneka alternatif solusi untuk mengatasinya. Beragam aktivitas konkret telah dikerjakan, mulai dari membangun konsep dan wacana intelektual, berkampanye terbuka lewat media massa, kerja pendampingan perempuan korban kekerasan, pagelaran budaya perempuan, hingga demonstrasi massa perempuan ke depan istana. Kombinasi berbagai kegiatan ini sedikit demi sedikit membuka pintu bagi meluasnya kesadaran tentang pentingnya perjuangan menegakkan hak-hak perempuan.
Kemajuan ini bisa dilihat dari bertumbuhnya kelompok-kelompok yang concern pada persoalan perempuan. Mulai dari organisasi berbentuk LSM dan Yayasan, ormas dan komite-komite, wadah aliansi dan kerja sama, hingga lingkar studi perempuan di kampus-kampus. Partai-partai politik besar pun giat mengintip peluang melancarkan kampanye membela hak kesetaraan. Aktivitasnya semakin beragam, mulai dari pengembangan wacana feminis hingga demonstrasi para ibu menentang kenaikan BBM. Bahkan sejumlah artis sinetron telah menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan feminis. Ini merupakan satu bentuk kemajuan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, sekaligus menjadi indikator penting dalam mengukur kemajuan gerakan demokrasi secara keseluruhan.
Terlepas dari berbagai hasil yang telah dicapai, ada beberapa hal yang penting untuk jadi catatan. Dari berbagai wacana dan tuntutan yang muncul ke permukaan, sesungguhnya ada beberapa persamaan pandangan. Ini bisa dijadikan landasan untuk mensinergikan sekaligus mendorong berbagai potensi dan inisiatif yang ada. Sebagai contoh : kesamaan pandangan secara umum tentang peran negara (state) yang mengkooptasi gerak organisasi perempuan selama Orde Baru, serta memundurkannya hanya sebatas gerakan para istri pendukung suami semata dimana pada masa orde baru ketika suami menjabat sebagai gubernur, jabatan istri otomatis sebagai ketua darma wanita tingkat propinsi. Telah ada kesimpulan yang relatif seragam tentang akar dari kekosongan kampanye, advokasi dan gerakan massa kaum perempuan selama puluhan tahun paska 1965. Dampak dari globalisasi dan kebijakan ekonomi neoliberal pun telah cukup tersosialisasi di kalangan organisasi perempuan, meskipun belum menjadi satu kesimpulan kolektif yang konkret. Penolakan pencabutan subsidi kesehatan dan pendidikan mulai banyak diangkat oleh kelompok perempuan. Structural Adjustment Programme-nya IMF pun banyak dihujani kecaman dan penolakan, karena dianggap akan semakin memiskinkan rakyat, terutama kaum perempuannya. Semua setuju bahwa krisis ekonomi dan meningkatnya kemiskinan adalah ladang subur bagi patriarki yang telah mapan ini untuk berkembang pesat.
Yang menarik adalah meskipun ada kesamaan secara umum dalam memandang posisi state ( negara ) dalam penindasan perempuan, namun respon yang muncul dari berbagai unsur gerakan perempuan berbeda-beda. Ini tampak dari penyikapan soal kekuasaan negara dan relasi kekuasaan politik. Mayoritas unsur dari gerakan perempuan menolak mengambil sikap men challenge kekuasaan politik yang ada. Kegigihan merealisasikan kuota 30% bagi perempuan di parlemen tidak diikuti dengan penolakan terhadap kebijakan struktural ekonomi dan politik kekuasaan yang terus menerus menciptakan ruang bagi ketidaksetaraan. Gerakan untuk memunculkan sebanyak mungkin pimpinan politik perempuan tidak dibarengi dengan sebuah evaluasi mendasar dan radikal tentang kepemimpinan politik saat ini. Juga belum ada tawaran komprehensif tentang kepemimpinan Indonesia di masa depan, yang mampu sepenuhnya melepaskan diri dari belenggu Orde Baru, militerisme, memiliki kedaulatan ekonomi dan politik, serta mampu menegakkan hukum, keadilan dan kesetaraan.
Pada akhirnya, tuntutan-tuntutan kesetaraan gender lebih banyak menghasilkan kesetaraan yang sifatnya formal, karena struktur dan karakter kekuasaan negara yang ada sekarang tidak dalam kapasitas ekonomi, politik bahkan moral, untuk menegakkannya. Dan ini menimbulkan problem baru, karena kesetaraan formal ini pun pada akhirnya hanya dapat diakses oleh perempuan kelas menengah saja, karena kaum perempuan kelas bawah dihadang oleh prioritas lainnya, yaitu mempertahankan hidup. Walaupun hasil-hasil formal yang telah digenggam juga akan membuka ruang bagi perempuan menengah ke bawah untuk memperbaiki kehidupannya, namun ini belum membawa kita pada solusi mendasar bagi ketidaksetaraan gender, karena salah satu akarnya belum tersentuh.
Meskipun tak menolak logika dan fakta bahwa di samping kesadaran patriarki, globalisasi neoliberal sangat berdampak pada kaum perempuan miskin dunia ketiga, namun juga belum ada respon yang terpadu dari berbagai kelompok perempuan tentang hal ini. Padahal jika kita lihat, ketiga hal di atas (patriarki, dampak globalisasi neoliberal dan kekuasaan negara) adalah prinsip-prinsip yang melandasi berbagai ketidaksetaraan, kekerasan dan penindasan kaum perempuan, dahulu dan kini. Perbedaan-perbedaan tajam dalam hal prinsipil jarang muncul, namun dalam praktek ada perbedaan prioritas-prioritas kerja yang timbul. Sebagai contoh : LBH APIK dalam releasenya pada awal 2002 menyatakan bahwa situasi krisis ekonomi akan meningkatkan kuantitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan, karena rasa frustasi sosial juga akan meningkat. Saya yakin tidak ada kelompok-kelompok perempuan lain yang menolak fakta ini. Namun dalam praktek, masing-masing bergerak sendiri.
Faktanya adalah tiadanya platform bersama perjuangan kaum perempuan. Berbagai persamaan pandangan tidak menjadi konkret dalam bentuk praksis. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya hal ini. Pertama : apa yang kini disebut sebagai gerakan perempuan bukanlah sesuatu yang lahir dari tradisi gerakan massa. Puluhan tahun terkooptasi dan terintimidasi kekuasaan Orde Baru, gerakan yang dimotori LSM ini lantas mengukuhkan dirinya dalam bentuk advokasi, pergulatan wacana dan pendidikan-pendidikan gender. Hampir seluruh gerakan rakyat waktu itu mengalami nasib yang sama, meski dengan derajat keparahan yang berlainan. Depolitisasi meluas dan menggurita. Hasilnya adalah: tawaran solusi yang diberikan bagi kesetaraan gender masih terpaku pada hal-hal yang formal dan menolak keluar dari kerangka sistem yang ada saat ini. Kesetaraan gender yang tertulis rapi dalam UU, hukum dan berbagai aturan, akan kehilangan efektifitasnya dalam kondisi ketidakadilan struktural yang kian parah serta bangkitnya ancaman terhadap masa depan demokrasi kita .Kedua : lemahnya gerakan-gerakan yang menawarkan agenda perubahan secara fundamental (baca :gerakan kiri), baik dalam tingkat gagasan, apalagi praksis. Akibatnya, tidak ada alternatif terhadap model pengorganisasian dan tradisi gerakan perempuan saat ini. Kalaupun ada, baru dalam skala yang kecil dan belum cukup signifikan mewarnai.
Jelas dibutuhkan satu perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berkuasa. Untuk itu perjuangan melawan ketidaksetaraan perlu menjadi sebuah perjuangan yang berwatak politis dan struktural, di samping humanis dan kultural. Dalam waktu yang bersamaan, kerja-kerja advokasi dan pendampingan korban juga sangat penting untuk terus dilakukan, karena hal ini menjadi satu kebutuhan kaum perempuan yang nyata dan obyektif.
Dorongan untuk bergerak secara sinergis dan menghasilkan respon bersama yang kuat dan signifikan pengaruhnya jangan dilihat sebagai upaya untuk menyeragamkan gerakan dan membonsai dinamikanya. Berbagai jenis aktivitas yang berbeda adalah hasil pergulatan dalam memahami kondisi kaum perempuan, berbagai kebutuhannya serta orientasi tiap-tiap organisasi. Namun jangan dilupakan bahwa respon bersama yang padu juga adalah kebutuhan kaum perempuan dalam menghadapi situasi saat ini, di tengah-tengah laju deras globalisasi neoliberal, bangkitnya konservatisme di hampir segala sudut dan sikap para elit politik yang menjadikan dirinya tidak pantas dipercaya. Dengan bergerak sendiri-sendiri, masing-masing terbenam dalam konsentrasi aktivitasnya sendiri, tanpa platform bersama yang menjadi panduan strategis untuk menghadapi pemerintah dan kebijakannya yang merugikan perempuan, perlahan-lahan kekalahan akan tiba di depan mata.
*Ketua Umum partai Rakyat Demokratik dan Majelis Pertimbangan Organisasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengangkat persoalan kesetaraan gender ke permukaan, serta mencari aneka alternatif solusi untuk mengatasinya. Beragam aktivitas konkret telah dikerjakan, mulai dari membangun konsep dan wacana intelektual, berkampanye terbuka lewat media massa, kerja pendampingan perempuan korban kekerasan, pagelaran budaya perempuan, hingga demonstrasi massa perempuan ke depan istana. Kombinasi berbagai kegiatan ini sedikit demi sedikit membuka pintu bagi meluasnya kesadaran tentang pentingnya perjuangan menegakkan hak-hak perempuan.
Kemajuan ini bisa dilihat dari bertumbuhnya kelompok-kelompok yang concern pada persoalan perempuan. Mulai dari organisasi berbentuk LSM dan Yayasan, ormas dan komite-komite, wadah aliansi dan kerja sama, hingga lingkar studi perempuan di kampus-kampus. Partai-partai politik besar pun giat mengintip peluang melancarkan kampanye membela hak kesetaraan. Aktivitasnya semakin beragam, mulai dari pengembangan wacana feminis hingga demonstrasi para ibu menentang kenaikan BBM. Bahkan sejumlah artis sinetron telah menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan feminis. Ini merupakan satu bentuk kemajuan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, sekaligus menjadi indikator penting dalam mengukur kemajuan gerakan demokrasi secara keseluruhan.
Terlepas dari berbagai hasil yang telah dicapai, ada beberapa hal yang penting untuk jadi catatan. Dari berbagai wacana dan tuntutan yang muncul ke permukaan, sesungguhnya ada beberapa persamaan pandangan. Ini bisa dijadikan landasan untuk mensinergikan sekaligus mendorong berbagai potensi dan inisiatif yang ada. Sebagai contoh : kesamaan pandangan secara umum tentang peran negara (state) yang mengkooptasi gerak organisasi perempuan selama Orde Baru, serta memundurkannya hanya sebatas gerakan para istri pendukung suami semata dimana pada masa orde baru ketika suami menjabat sebagai gubernur, jabatan istri otomatis sebagai ketua darma wanita tingkat propinsi. Telah ada kesimpulan yang relatif seragam tentang akar dari kekosongan kampanye, advokasi dan gerakan massa kaum perempuan selama puluhan tahun paska 1965. Dampak dari globalisasi dan kebijakan ekonomi neoliberal pun telah cukup tersosialisasi di kalangan organisasi perempuan, meskipun belum menjadi satu kesimpulan kolektif yang konkret. Penolakan pencabutan subsidi kesehatan dan pendidikan mulai banyak diangkat oleh kelompok perempuan. Structural Adjustment Programme-nya IMF pun banyak dihujani kecaman dan penolakan, karena dianggap akan semakin memiskinkan rakyat, terutama kaum perempuannya. Semua setuju bahwa krisis ekonomi dan meningkatnya kemiskinan adalah ladang subur bagi patriarki yang telah mapan ini untuk berkembang pesat.
Yang menarik adalah meskipun ada kesamaan secara umum dalam memandang posisi state ( negara ) dalam penindasan perempuan, namun respon yang muncul dari berbagai unsur gerakan perempuan berbeda-beda. Ini tampak dari penyikapan soal kekuasaan negara dan relasi kekuasaan politik. Mayoritas unsur dari gerakan perempuan menolak mengambil sikap men challenge kekuasaan politik yang ada. Kegigihan merealisasikan kuota 30% bagi perempuan di parlemen tidak diikuti dengan penolakan terhadap kebijakan struktural ekonomi dan politik kekuasaan yang terus menerus menciptakan ruang bagi ketidaksetaraan. Gerakan untuk memunculkan sebanyak mungkin pimpinan politik perempuan tidak dibarengi dengan sebuah evaluasi mendasar dan radikal tentang kepemimpinan politik saat ini. Juga belum ada tawaran komprehensif tentang kepemimpinan Indonesia di masa depan, yang mampu sepenuhnya melepaskan diri dari belenggu Orde Baru, militerisme, memiliki kedaulatan ekonomi dan politik, serta mampu menegakkan hukum, keadilan dan kesetaraan.
Pada akhirnya, tuntutan-tuntutan kesetaraan gender lebih banyak menghasilkan kesetaraan yang sifatnya formal, karena struktur dan karakter kekuasaan negara yang ada sekarang tidak dalam kapasitas ekonomi, politik bahkan moral, untuk menegakkannya. Dan ini menimbulkan problem baru, karena kesetaraan formal ini pun pada akhirnya hanya dapat diakses oleh perempuan kelas menengah saja, karena kaum perempuan kelas bawah dihadang oleh prioritas lainnya, yaitu mempertahankan hidup. Walaupun hasil-hasil formal yang telah digenggam juga akan membuka ruang bagi perempuan menengah ke bawah untuk memperbaiki kehidupannya, namun ini belum membawa kita pada solusi mendasar bagi ketidaksetaraan gender, karena salah satu akarnya belum tersentuh.
Meskipun tak menolak logika dan fakta bahwa di samping kesadaran patriarki, globalisasi neoliberal sangat berdampak pada kaum perempuan miskin dunia ketiga, namun juga belum ada respon yang terpadu dari berbagai kelompok perempuan tentang hal ini. Padahal jika kita lihat, ketiga hal di atas (patriarki, dampak globalisasi neoliberal dan kekuasaan negara) adalah prinsip-prinsip yang melandasi berbagai ketidaksetaraan, kekerasan dan penindasan kaum perempuan, dahulu dan kini. Perbedaan-perbedaan tajam dalam hal prinsipil jarang muncul, namun dalam praktek ada perbedaan prioritas-prioritas kerja yang timbul. Sebagai contoh : LBH APIK dalam releasenya pada awal 2002 menyatakan bahwa situasi krisis ekonomi akan meningkatkan kuantitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan, karena rasa frustasi sosial juga akan meningkat. Saya yakin tidak ada kelompok-kelompok perempuan lain yang menolak fakta ini. Namun dalam praktek, masing-masing bergerak sendiri.
Faktanya adalah tiadanya platform bersama perjuangan kaum perempuan. Berbagai persamaan pandangan tidak menjadi konkret dalam bentuk praksis. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya hal ini. Pertama : apa yang kini disebut sebagai gerakan perempuan bukanlah sesuatu yang lahir dari tradisi gerakan massa. Puluhan tahun terkooptasi dan terintimidasi kekuasaan Orde Baru, gerakan yang dimotori LSM ini lantas mengukuhkan dirinya dalam bentuk advokasi, pergulatan wacana dan pendidikan-pendidikan gender. Hampir seluruh gerakan rakyat waktu itu mengalami nasib yang sama, meski dengan derajat keparahan yang berlainan. Depolitisasi meluas dan menggurita. Hasilnya adalah: tawaran solusi yang diberikan bagi kesetaraan gender masih terpaku pada hal-hal yang formal dan menolak keluar dari kerangka sistem yang ada saat ini. Kesetaraan gender yang tertulis rapi dalam UU, hukum dan berbagai aturan, akan kehilangan efektifitasnya dalam kondisi ketidakadilan struktural yang kian parah serta bangkitnya ancaman terhadap masa depan demokrasi kita .Kedua : lemahnya gerakan-gerakan yang menawarkan agenda perubahan secara fundamental (baca :gerakan kiri), baik dalam tingkat gagasan, apalagi praksis. Akibatnya, tidak ada alternatif terhadap model pengorganisasian dan tradisi gerakan perempuan saat ini. Kalaupun ada, baru dalam skala yang kecil dan belum cukup signifikan mewarnai.
Jelas dibutuhkan satu perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berkuasa. Untuk itu perjuangan melawan ketidaksetaraan perlu menjadi sebuah perjuangan yang berwatak politis dan struktural, di samping humanis dan kultural. Dalam waktu yang bersamaan, kerja-kerja advokasi dan pendampingan korban juga sangat penting untuk terus dilakukan, karena hal ini menjadi satu kebutuhan kaum perempuan yang nyata dan obyektif.
Dorongan untuk bergerak secara sinergis dan menghasilkan respon bersama yang kuat dan signifikan pengaruhnya jangan dilihat sebagai upaya untuk menyeragamkan gerakan dan membonsai dinamikanya. Berbagai jenis aktivitas yang berbeda adalah hasil pergulatan dalam memahami kondisi kaum perempuan, berbagai kebutuhannya serta orientasi tiap-tiap organisasi. Namun jangan dilupakan bahwa respon bersama yang padu juga adalah kebutuhan kaum perempuan dalam menghadapi situasi saat ini, di tengah-tengah laju deras globalisasi neoliberal, bangkitnya konservatisme di hampir segala sudut dan sikap para elit politik yang menjadikan dirinya tidak pantas dipercaya. Dengan bergerak sendiri-sendiri, masing-masing terbenam dalam konsentrasi aktivitasnya sendiri, tanpa platform bersama yang menjadi panduan strategis untuk menghadapi pemerintah dan kebijakannya yang merugikan perempuan, perlahan-lahan kekalahan akan tiba di depan mata.
*Ketua Umum partai Rakyat Demokratik dan Majelis Pertimbangan Organisasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional
Kamis, 24 Mei 2007
Buruh Perempuan; Kemanusiaan dan Produktivitas yang Tersia-sia
Oleh : Dita Indah Sari
Penulis adalah Dewan Pertimbangan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Ketua Umum PRD.
Tulisan ini bermaksud menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme.
Globalisasi neoliberal, sebagai sekumpulan strategi ekonomi dan politik, telah lama dianggap sebagai penyebab utama kemiskinan, stagnasi ekonomi, bahkan timbulnya kekerasan dan perang di berbagai belahan bumi. Sejumlah ekonom, aktivis, politisi dan penulis seperti Vandana Shiva, Noam Chomsky, Hugo Chavez, Walden Bello, James Petras, Susan George, Naomi Campbell, dan banyak lagi, telah memublikasikan setumpuk argumen, data dan fakta yang menguatkan penilaian ini. Meskipun lembaga-lembaga keuangan internasional dan pemerintah setempat selalu mencoba untuk menyajikan fakta-fakta yang bertolak belakang, namun fakta bahwa daya beli dan produktivitas rakyat kian hari kian menurun, tidak mungkin lagi bisa dibantah, dimanipulasi atau ditutup-tutupi.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membongkar kembali berbagai data dan statistik tentang tingkat kemiskinan yang telah ramai dipublikasikan sebelumnya. Sebaliknya, saya ingin sekali lagi menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme. Ini juga sekaligus untuk menjawab tuduhan dari pemerintah dan sejumlah ekonom tentang keengganan masuknya investor ke Indonesia akibat sejumlah peraturan yang dianggap terlalu pro buruh. Politik kambing hitam dan stigmatsasi semacam ini mesti selalu kita luruskan, agar mereka yang sesungguhnya adalah korban, tidak sekaligus harus memikul beban sebagai terdakwa.
Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberalisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.
Solusi neoliberalisme
Beberapa jalan keluar dari strategi ekonomi neoliberal yang telah umum diterapkan di negeri-negeri miskin adalah :
1. Pemotongan anggaran belanja Negara.
Menurut strategi neoliberal, kebijakan anggaran pemerintah diprioritaskan untuk melayani swasta, bukan untuk kepentingan publik yang “tidak produktif” dan tidak bisa memperbesar serta memperluas jangkauan operasi modal. Karena itu anggaran untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik lainnya harus dikurangi/dihapus. Bahkan menurut mereka, subsidi itu hanya akan memuat rakyat “malas” dan “tak produktif”.
Bagi para buruh, mahalnya biaya pendidikan adalah malapetaka, karena membuat kelompok ini menjadi sangat rendah daya tawarnya serta rentan akan tindak kekerasan dan ketidakadilan. Sebagai contoh, dari bulan Januari-April 2004, hanya 10,75% TKI kita yang ditempatkan di sektor formal di luar negeri. Selebihnya, yaitu 89,25% terdampar ke sektor informal. Di sektor informal ini, 93,5%-nya adalah buruh migran perempuan, yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tingkat pendidikan amat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa dan budaya Negara tujuan, serta akses informasi dan teknologi. TKI perempuan kita yang mayoritas hanya lulusan SD sangat diminati oleh para majikan di Malaysia dan Singapura, karena dianggap patuh dan rajin. Ketidaktahuan mereka tentang hak-haknya menghasilkan sikap pasif saat mengalami pelecehan dan kekerasan. Cerita-cerita pilu tentang buruh migran perempuan kita di luar negeri, adalah bukti bahwa minimnya anggaran pendidikan Negara berdampak langsung terhadap kemampuan para buruh kita melindungi dirinya dari berbagai bentuk pelecehan dan ketidakadilan, serta meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Tidak heran jika Nusa Tenggara Barat, yang 17% perempuannya buta huruf, adalah pemasok terbesar perdagangan perempuan.
Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Ini merupakan pernyataan lempar batu sembunyi tangan, karena policy ekonomi pemerintahlah yang menciptakan situasi ini, ditambah kebijakan upah murah yang membuat buruh sukar meningkatkan skillnya. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum.
Semakin mahalnya biaya kesehatan adalah bencana bagi perempuan, terutama akibat kerentanan alat-alat reproduksinya. Untuk dapat sehat dan produktif, perempuan membutuhkan pasokan gizi dan zat besi yang lebih dari laki-laki, karena berbagai perubahan hormonal yang drastis dalam siklus hidupnya (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Tingkat kesehatan yang rendah pasti berdampak pada produktivitas serta kemampuan berpikir dan kecerdasan. Seperti lingkaran setan, lagi-lagi, perempuan pun kemudian lebih banyak menempati pekerjaan-pekerjaan kualitas rendahan.
2. Pemotongan subsidi-subsidi pemerintah dan liberalisasi pasar/perdagangan
Menurut strategi neoliberal, intervensi pemerintah ke dalam pasar harus dihapus. Subsidi adalah pemborosan anggaran dan distorsi pasar. Padahal, subsidi mestinya dilihat sebagai basis bagi industralisasi dan modernisasi, agar keuntungan dari industri dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Maka, subsidi untuk sektor pertanian pun secara perlahan dikurangi. Harga pupuk, bibit, sewa traktor dan pestisida pun menjadi lebih mahal, sehingga petani merugi. Biaya produksi dengan harga jual menjadi amat tidak seimbang. Hasilnya, semakin banyak petani yang menjual tanahnya, lalu menjadi buruh tani atau pergi ke kota.
Persentase perempuan yang mengerjakan lahan sendiri di pedesaan karenanya merosot dari 20,6 ke 0,3% di tahun 1991 (survey BKKBN). Hilangnya akses kepemilikan atas tanah membuat kesetaraan gender menjadi kian sulit digapai, di tengah konservatisme pola pikir pedesaan. Maka, dengan tingkat pendidikan yang minim, menjadi buruh tani, buruh migran, pembantu rumah tangga di kota dan buruh pabrik adalah beberapa alternative yang harus dikerjakan oleh perempuan desa. Pelacuran/prostitusi lalu menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan jika sektor-sektor di atas juga tak tertembus oleh mereka. Di sisi lain, meskipun rata-rata perempuan di pedesaan Asia bekerja 13 jam lebih lama dari laki-laki, namun itu tidak cukup untuk menjamin kesetaraannya dalam negosiasi soal kepemilikan dan pengelolaan tanah. Dalam banyak kasus pertanahan, laki-laki sebagai kepala keluargalah yang kerap memiliki hak penuh untuk menentukan. Di sini terlihat jelas, bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan dan sumber kehidupannya dirampas, bukan saja oleh policy ekonomi Negara, namun juga oleh struktur social yang patriarkis.
Minimnya intervensi pemerintah juga mengakibatkan sektor riil ambruk. Pengurangan subsidi BBM, listrik, air dan telepon, serta tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor, membuat industri dalam negeri kita amat rapuh. Saat krisis ekonomi melanda, maka kebangkrutan industri dalam negeri ini menyisakan jutaan buruh yang ter-PHK. Pemerintah, dengan alasan menolak mengintervensi pasar, tetap tidak bersedia memberikan proteksi dan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Maka, sektor manufaktur, khususnya garmen, tekstil dan sepatu, dimana mayoritas buruhnya adalah perempuan, menjadi korban langsung dari situasi ini. Serbuan barang impor yang harganya lebih murah dengan kualitas baik, mempercepat kematian sektor riil kita.
Di sektor-sektor manufaktur lainnya, pengingkaran terhadap hak-hak buruh perempuan semakin sering terjadi. Akibat struktur industri nasional yang rapuh dan situasi krisis, maka sistem kerja kontrak menjadi pilihan ideal dalam hubungan kerja. Sistem kerja permanen dianggap tidak efisien dan tidak praktis. Maka, dalam kontrak-kontrak kerja, hak-hak buruh perempuan atas jaminan dan perlindungan reproduksinya, diabaikan. Proses produksi menjadi semakin terpecah ke dalam unit-unit skala kecil, semacam home industry. Relasi kerja menjadi semakin informal, meskipun tetap dijalankan oleh perusahaan resmi. Akibatnya, buruh perempuan yang hamil dan melahirkan sama sekali tidak ditanggung oleh pihak perusahaan. Bahkan, kehamilan sering dianggap sebagai penghambat produktivitas dan berpotensi menimbulkan resiko-resiko yang tidak dikehendaki di tempat kerja, sehingga kontrak kerja sering mencantumkan larangan untuk hamil selama batas waktu berlakunya kontrak.
Dengan situasi semacam ini, potensi para pekerja perempuan untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, betul-betul dihambat. Meskipun krisis ekonomi neoliberal mendorong semakin banyak perempuan untuk bekerja di luar rumah, namun nilai produktivitas dan sumbangannya tetap dianggap kecil bagi perputaran roda ekonomi. Terintegrasinya perempuan ke dalam lapangan kerja tidak serta-merta memperbaiki posisi sosialnya serta memberangus patriarki. Mengapa? Pertama, karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor-sektor rendah keterampilan. Kedua, karena posisi tawarnya sendiri di tempat kerja amat rendah akibat antrean jutaan pengangguran. Ketiga, karena aksesnya terhadap kepemilikan modal dan teknologi semakin dijauhkan, akibat keterbatasan pendidikan, kesehatan dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Maka, sudah pada saatnya tatanan ekonomi neoliberal serta para pendukungnya digugat keras. Reshuffle kabinet yang barusan dilakukan oleh Presiden SBY justru menunjukkan semakin teguhnya komitmen pemerintah ini untuk menerapkan strategi ekonomi neoliberal. Harapan perubahan bagi kaum perempuan, khususnya para pekerja perempuan yang dijjanjikan oleh SBY dalam masa kampanye, menjadi kian jauh untuk dijangkau. Sudah saatnya organisasi-organisasi perempuan secara tegas menyatakan bahwa pemerintah SBY tidak lagi bisa dipercaya untuk menjalankan janji-janjinyua sendiri, dan bahwa kita membutuhkan pemerintahan lain yang berani mengatakan “tidak!” kepada Bank Dunia, WTO, IMF dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Penulis adalah Dewan Pertimbangan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Ketua Umum PRD.
Tulisan ini bermaksud menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme.
Globalisasi neoliberal, sebagai sekumpulan strategi ekonomi dan politik, telah lama dianggap sebagai penyebab utama kemiskinan, stagnasi ekonomi, bahkan timbulnya kekerasan dan perang di berbagai belahan bumi. Sejumlah ekonom, aktivis, politisi dan penulis seperti Vandana Shiva, Noam Chomsky, Hugo Chavez, Walden Bello, James Petras, Susan George, Naomi Campbell, dan banyak lagi, telah memublikasikan setumpuk argumen, data dan fakta yang menguatkan penilaian ini. Meskipun lembaga-lembaga keuangan internasional dan pemerintah setempat selalu mencoba untuk menyajikan fakta-fakta yang bertolak belakang, namun fakta bahwa daya beli dan produktivitas rakyat kian hari kian menurun, tidak mungkin lagi bisa dibantah, dimanipulasi atau ditutup-tutupi.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membongkar kembali berbagai data dan statistik tentang tingkat kemiskinan yang telah ramai dipublikasikan sebelumnya. Sebaliknya, saya ingin sekali lagi menguatkan fakta bahwa kemiskinan yang dialami oleh para buruh, khususnya buruh perempuan, baik di perkotaan maupun di pedesaan, merupakan akibat langsung dari diterapkannya strategi ekonomi neoliberalisme. Ini juga sekaligus untuk menjawab tuduhan dari pemerintah dan sejumlah ekonom tentang keengganan masuknya investor ke Indonesia akibat sejumlah peraturan yang dianggap terlalu pro buruh. Politik kambing hitam dan stigmatsasi semacam ini mesti selalu kita luruskan, agar mereka yang sesungguhnya adalah korban, tidak sekaligus harus memikul beban sebagai terdakwa.
Namun terhadap perempuan, serangan kebijakan neoliberalisme dirasa belum cukup. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.
Solusi neoliberalisme
Beberapa jalan keluar dari strategi ekonomi neoliberal yang telah umum diterapkan di negeri-negeri miskin adalah :
1. Pemotongan anggaran belanja Negara.
Menurut strategi neoliberal, kebijakan anggaran pemerintah diprioritaskan untuk melayani swasta, bukan untuk kepentingan publik yang “tidak produktif” dan tidak bisa memperbesar serta memperluas jangkauan operasi modal. Karena itu anggaran untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik lainnya harus dikurangi/dihapus. Bahkan menurut mereka, subsidi itu hanya akan memuat rakyat “malas” dan “tak produktif”.
Bagi para buruh, mahalnya biaya pendidikan adalah malapetaka, karena membuat kelompok ini menjadi sangat rendah daya tawarnya serta rentan akan tindak kekerasan dan ketidakadilan. Sebagai contoh, dari bulan Januari-April 2004, hanya 10,75% TKI kita yang ditempatkan di sektor formal di luar negeri. Selebihnya, yaitu 89,25% terdampar ke sektor informal. Di sektor informal ini, 93,5%-nya adalah buruh migran perempuan, yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tingkat pendidikan amat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa dan budaya Negara tujuan, serta akses informasi dan teknologi. TKI perempuan kita yang mayoritas hanya lulusan SD sangat diminati oleh para majikan di Malaysia dan Singapura, karena dianggap patuh dan rajin. Ketidaktahuan mereka tentang hak-haknya menghasilkan sikap pasif saat mengalami pelecehan dan kekerasan. Cerita-cerita pilu tentang buruh migran perempuan kita di luar negeri, adalah bukti bahwa minimnya anggaran pendidikan Negara berdampak langsung terhadap kemampuan para buruh kita melindungi dirinya dari berbagai bentuk pelecehan dan ketidakadilan, serta meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP). Tidak heran jika Nusa Tenggara Barat, yang 17% perempuannya buta huruf, adalah pemasok terbesar perdagangan perempuan.
Dengan kualifikasi semacam ini, jangan harap kaum perempuan bisa memiliki kesetaraan posisi tawar di pasar tenaga kerja, baik dalam dan luar negeri. Lalu, pada saat yang bersamaan, para pengusaha dan pemerintah mengeluhkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja kita, dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina, sebagai salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Ini merupakan pernyataan lempar batu sembunyi tangan, karena policy ekonomi pemerintahlah yang menciptakan situasi ini, ditambah kebijakan upah murah yang membuat buruh sukar meningkatkan skillnya. Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum.
Semakin mahalnya biaya kesehatan adalah bencana bagi perempuan, terutama akibat kerentanan alat-alat reproduksinya. Untuk dapat sehat dan produktif, perempuan membutuhkan pasokan gizi dan zat besi yang lebih dari laki-laki, karena berbagai perubahan hormonal yang drastis dalam siklus hidupnya (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Tingkat kesehatan yang rendah pasti berdampak pada produktivitas serta kemampuan berpikir dan kecerdasan. Seperti lingkaran setan, lagi-lagi, perempuan pun kemudian lebih banyak menempati pekerjaan-pekerjaan kualitas rendahan.
2. Pemotongan subsidi-subsidi pemerintah dan liberalisasi pasar/perdagangan
Menurut strategi neoliberal, intervensi pemerintah ke dalam pasar harus dihapus. Subsidi adalah pemborosan anggaran dan distorsi pasar. Padahal, subsidi mestinya dilihat sebagai basis bagi industralisasi dan modernisasi, agar keuntungan dari industri dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Maka, subsidi untuk sektor pertanian pun secara perlahan dikurangi. Harga pupuk, bibit, sewa traktor dan pestisida pun menjadi lebih mahal, sehingga petani merugi. Biaya produksi dengan harga jual menjadi amat tidak seimbang. Hasilnya, semakin banyak petani yang menjual tanahnya, lalu menjadi buruh tani atau pergi ke kota.
Persentase perempuan yang mengerjakan lahan sendiri di pedesaan karenanya merosot dari 20,6 ke 0,3% di tahun 1991 (survey BKKBN). Hilangnya akses kepemilikan atas tanah membuat kesetaraan gender menjadi kian sulit digapai, di tengah konservatisme pola pikir pedesaan. Maka, dengan tingkat pendidikan yang minim, menjadi buruh tani, buruh migran, pembantu rumah tangga di kota dan buruh pabrik adalah beberapa alternative yang harus dikerjakan oleh perempuan desa. Pelacuran/prostitusi lalu menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan jika sektor-sektor di atas juga tak tertembus oleh mereka. Di sisi lain, meskipun rata-rata perempuan di pedesaan Asia bekerja 13 jam lebih lama dari laki-laki, namun itu tidak cukup untuk menjamin kesetaraannya dalam negosiasi soal kepemilikan dan pengelolaan tanah. Dalam banyak kasus pertanahan, laki-laki sebagai kepala keluargalah yang kerap memiliki hak penuh untuk menentukan. Di sini terlihat jelas, bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan dan sumber kehidupannya dirampas, bukan saja oleh policy ekonomi Negara, namun juga oleh struktur social yang patriarkis.
Minimnya intervensi pemerintah juga mengakibatkan sektor riil ambruk. Pengurangan subsidi BBM, listrik, air dan telepon, serta tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor, membuat industri dalam negeri kita amat rapuh. Saat krisis ekonomi melanda, maka kebangkrutan industri dalam negeri ini menyisakan jutaan buruh yang ter-PHK. Pemerintah, dengan alasan menolak mengintervensi pasar, tetap tidak bersedia memberikan proteksi dan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Maka, sektor manufaktur, khususnya garmen, tekstil dan sepatu, dimana mayoritas buruhnya adalah perempuan, menjadi korban langsung dari situasi ini. Serbuan barang impor yang harganya lebih murah dengan kualitas baik, mempercepat kematian sektor riil kita.
Di sektor-sektor manufaktur lainnya, pengingkaran terhadap hak-hak buruh perempuan semakin sering terjadi. Akibat struktur industri nasional yang rapuh dan situasi krisis, maka sistem kerja kontrak menjadi pilihan ideal dalam hubungan kerja. Sistem kerja permanen dianggap tidak efisien dan tidak praktis. Maka, dalam kontrak-kontrak kerja, hak-hak buruh perempuan atas jaminan dan perlindungan reproduksinya, diabaikan. Proses produksi menjadi semakin terpecah ke dalam unit-unit skala kecil, semacam home industry. Relasi kerja menjadi semakin informal, meskipun tetap dijalankan oleh perusahaan resmi. Akibatnya, buruh perempuan yang hamil dan melahirkan sama sekali tidak ditanggung oleh pihak perusahaan. Bahkan, kehamilan sering dianggap sebagai penghambat produktivitas dan berpotensi menimbulkan resiko-resiko yang tidak dikehendaki di tempat kerja, sehingga kontrak kerja sering mencantumkan larangan untuk hamil selama batas waktu berlakunya kontrak.
Dengan situasi semacam ini, potensi para pekerja perempuan untuk menjadi manusia yang produktif dan kreatif, betul-betul dihambat. Meskipun krisis ekonomi neoliberal mendorong semakin banyak perempuan untuk bekerja di luar rumah, namun nilai produktivitas dan sumbangannya tetap dianggap kecil bagi perputaran roda ekonomi. Terintegrasinya perempuan ke dalam lapangan kerja tidak serta-merta memperbaiki posisi sosialnya serta memberangus patriarki. Mengapa? Pertama, karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor-sektor rendah keterampilan. Kedua, karena posisi tawarnya sendiri di tempat kerja amat rendah akibat antrean jutaan pengangguran. Ketiga, karena aksesnya terhadap kepemilikan modal dan teknologi semakin dijauhkan, akibat keterbatasan pendidikan, kesehatan dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Maka, sudah pada saatnya tatanan ekonomi neoliberal serta para pendukungnya digugat keras. Reshuffle kabinet yang barusan dilakukan oleh Presiden SBY justru menunjukkan semakin teguhnya komitmen pemerintah ini untuk menerapkan strategi ekonomi neoliberal. Harapan perubahan bagi kaum perempuan, khususnya para pekerja perempuan yang dijjanjikan oleh SBY dalam masa kampanye, menjadi kian jauh untuk dijangkau. Sudah saatnya organisasi-organisasi perempuan secara tegas menyatakan bahwa pemerintah SBY tidak lagi bisa dipercaya untuk menjalankan janji-janjinyua sendiri, dan bahwa kita membutuhkan pemerintahan lain yang berani mengatakan “tidak!” kepada Bank Dunia, WTO, IMF dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Sabtu, 24 Februari 2007
Di Balik Perjuangan Buruh Indonesia
Dita Indah Sari adalah salah satu Anak Bangsa yang masih peduli dengan Tanah Air Indonesia ini. Mungkin keberadaan Dita menjadi salah satu alasan kenapa Republik ini masih bertahan sampai hari ini. Biarpun pernah menjadi penghuni hotel predo di era Orde Baru, aktivis buruh ini tidak pernah membenci, dendam atau menyalahkan negara ini. Malah rasa nasionalisme-nya mulai terusik ketika melihat bagaimana baik sumber daya alam dan manusia negara ini dieksploitasi habis-habisan oleh imperalisme negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan Internasional berkedok bantuan/investasi asing. Sekarang ini Dita aktif menjadi Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan menjadi salah satu Ketua Umum Partai Politik di Indonesia.
Dita menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM) berjudul “Di Balik Perjuangan Buruh Indonesia” di Padepokan One Earth-Ciawi, Sabtu 24 Februari 2007. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Bapak Amin Hasan Bukhori, wakil pimpinan redaksi majalah Poultry Business.
Komitmen Dita dalam memperjuangkan hak-hak hidup buruh bersumber dari rasa empati dirinya yang begitu besar pada nasib sesama manusia dalam menjalani kehidupan, seperti yang dikatakan kemudian oleh Bapak Anand Krishna-spiritualis penggagas NIM. Dita sendiri bukan berasal dari keluarga yang kekurangan, tapi pengalaman pribadi dan interaksi dengan kaum buruh membuat dirinya berkomitmen untuk memperjuangkan nasib orang-orang yang termarginalkan ini. Untuk usahanya ini, Dita mendapatkan penghargaan Wertheim Award (1997), dan Magsaysay Award untuk kategori Emergent Leadership (2001). Dita juga sempat menolak Penghargaan dan hadiah uang dalam jumlah yang cukup besar yang diberikan Human Rights Award di tahun 2002, karena Award ini disponsori oleh sebuah perusahaan sepatu terkenal yang dianggapnya masih saja menindas kaum buruh di Indonesia.
Bagi Dita dan teman-temannya di kalangan pergerakan, definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerja di bawah perintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja dikaburkan di jaman Orde Baru sebagai upaya pengkotak-kotakan dan pecah belah, sehingga definisi terpecah menjadi buruh, pekerja, pegawai, kaum professional, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatan buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politik penguasa saat itu.
Padahal buruh itu besar sekali peranannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangun peradaban. Karena jumlahnya yang besar, maka buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Di jaman Orde Baru, kaum buruh dipersempit ruang geraknya dengan hanya diperbolehkan mempunyai satu serikat buruh saja. Serikat buruh yang lain langsung diberangus bila berani muncul. Tapi di jaman reformasi ini, data terakhir terdapat 100 serikat buruh di tingkat nasional saja, belum termasuk serikat pekerja/buruh di daerah-daerah. Tapi apakah dengan lebih banyaknya serikat pekerja, maka nasib buruh di Indonesia menjadi lebih baik? Jawabannya Tidak.
Di jaman reformasi telah terjadi de-industrialisasi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hasilnya, jumlah buruh yang mencari pekerjaan menjadi melimpah sehingga kekuatan bargin buruh menjadi jauh berkurang. Apalagi dari 100 serikat pekerja yang ada saat ini tidak padu dan terkesan bekerja sendiri-sendiri. Kemudian, diperparah dengan masuknya Dana Moneter Internasional (IMF) yang memaksa pemerintah Indonesia mencabut subsidi-subsidi, dan larangan impor barang-barang jadi. Akibatnya kaum buruh yang termasuk dalam kaum miskin perkotaan menjadi korban yang paling menderita.
Bagi kalangan pengusaha, memberikan pesangon pada buruh tetap amatlah berat. Di era pemerintahan Megawati, maka dibuat aturan khusus perburuhan yang memperbolehkan penggunaan sistem kontrak bagi buruh tidak tetap. Maka banyak pabrik-pabrik dan industri melakukan sistem outsourcing dalam merekrut pekerja-pekerjanya. Karena persaingan mendapatkan pekerjaan begitu ketat akibat melimpahnya tenaga kerja, maka kadang kala pekerja menyetujui suatu kontrak kerja yang kadang isinya melanggar ketentuan UU.
Persentase biaya yang harus dikeluarkan seorang pengusaha di Indonesia untuk ongkos buruh biasanya hanya berkisar antara 7-10% dari total biaya produksi. Kadang angka tersebut mencapai 15% untuk pekerja di Industri padat-karya/berteknologi tinggi.
Tapi hal terburuk adalah ketika Pemerintah terkesan enggan bersusah payah memberantas korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D). Biasanya BUMN yang berkinerja buruk akan dijual ke pihak swasta/asing dengan harapan korupsi di tubuh BUMN itu akan hilang begitu diserahkan ke pihak non-pemerintah. Tapi biasanya BUMN seperti ini tak laku dijual dengan harga yang wajar sebelum “disehatkan” terlebih dahulu. Pertanyaannya, bila bisa disehatkan atau sudah sehat kenapa harus dijual?
Kekhawatiran buruh rata-rata adalah ketika perusahaan berpindah tangan ke pihak lain, maka hak karyawan akan diubah dari karyawan tetap menjadi karyawan kontrak.
Sekarang ini, timbul kekhawatiran karyawan Pertamina bila BUMN ini diprivatisasikan. Pertamina sudah sering kali kehilangan kontrak sebagai operator pertambangan, maupun hak pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) ke seluruh Indonesia. Pertamina kalah bersaing dengan perusahaan minyak asing lainnya. Yang ditakuti adalah ketika Pertamina diprivatisasikan, maka Pertamina malah dijauhkan dari kontrak-kontrak kerja perminyakan atau dibangkrutkan sehingga tidak lagi menjadi tangan pemerintah untuk mengontrol sumber-sumber alam yang mempengaruhi kehidupan rakyat banyak.
Kejadian ini sudah terjadi dalam skala provinsi di Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya), di mana kontrol BUMD ini terhadap Air Bersih di Jakarta sudah beralih ke Thames PAM Jaya/TPJ (Inggris) maupun PAM Lyonnaisse Jaya/Palyja (Perancis). Padahal UUD’45 pasal 33 mengamanatkan bahwa sumber-sumber alam yang mempengaruhi kesejahteraan hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara.
Jadi persoalan buruh di Indonesia sebenarnya sudah mulai meluas menjadi masalah nasional karena sebagai warga Indonesia, kita sudah kehilangan kontrol atas tanah dan air di negara sendiri. Apa jadinya sebuah negara yang tidak punya kontrol atas tanah dan air di wilayahnya sendiri?
Contoh lain adalah ketika proyek Busway baru mulai berjalan. Texmaco yang mempunyai keahlian dan fasilitas untuk membuat bus penumpang sudah menawarkan bus buatan dalam negeri dengan harga kurang dari sepertiga harga bus impor dari Korea dan China. Tapi tawaran ini ditolak oleh Gubernur DKI Jakarta dengan berbagai alasan. Padahal dengan mendapatkan proyek pengadaan bus untuk Busway, kemungkinan besar Texmaco masih bisa diselamatkan dan 25,000 buruh mungkin masih bisa bekerja.
Demikian pula yang terjadi pada ASEAN Fertilizer di Aceh. Pabrik pupuk ini ditutup karena tidak adanya pasokan gas untuk memproduksi pupuk. Padahal Aceh adalah salah satu wilayah penghasil gas terbesar di Indonesia, tapi hasil produksinya sudah dijual kepada Korea dan Jepang secara jangka panjang. Penutupan pabrik ini mengakibatkan 4000 karyawan diputuskan hubungan kerja (PHK) dan mengurangi suplai pupuk yang sebenarnya esensial bagi negara agraria seperti Indonesia.
Bagi yang masih bekerja pun, nasib buruh tidak bisa dibilang lebih baik. Menurut survei yang pernah dilakukan di tahun 2006, misalnya, upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di DKI Jakarta sebesar Rp. 1,3 juta/bulan Sedangkan untuk tahun 2006, setelah subsidi BBM dicabut, maka angka itu diperkirakan berkisar antara Rp. 1,4-1,5 juta tanpa tunjangan sampai dengan Rp. 1,8-2 jt per bulan dengan tunjangan. Tapi sekarang ini Upah Minimum Komulatif (UMK) Jakarta hanya sebesar Rp. 925,000,-/bulan. Jadi biasanya para buruh menyiasati kekurangan itu dengan cara mengkredit/mencicil barang-barang kebutuhannya.
Tapi biasanya cara-cara kredit seperti ini hanya akan menjebak para buruh pada perangkap berikutnya, yakni Konsumerisme.
Masalah produktivitas buruh di Indonesia juga sering dipertanyakan. Dita pun menyetujui bahwa produktivitas sangat penting untuk diperhitungkan dalam UMK. Tapi harap diingat bahwa produktivitas kerja manusia sangat erat kaitannya dengan produktivitas mesin/teknologi yang digunakan. Jadi misalnya, sulit membandingkan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 1970-an di Indonesia dengan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 2000-an di Vietnam.
Para aktivis buruh sebenarnya sudah menyadari bahwa sekarang ini pemerintah adalah institusi di negara ini yang paling bertanggung jawab atas nasib buruh. Pengusaha sudah bangkrut, sehingga suplai buruh di pasar tenaga kerja menjadi meningkat. Pemerintah sendiri tidak mampu mengkontrol kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, mengimplementasikan program pendidikan gratis, ataupun jaminan kesehatan minimal. Jadi buruh sudah berada di posisi yang terjepit di antara krisis ekonomi, permainan politik, gejolak sosial, dll. Makanya dalam keadaan seperti ini, bila ada momen-momen kenaikan gaji, maka buruh menjadi tidak rasional dalam mengajukan tuntutan terhadap manajemen perusahaan.
Pemerintah juga diharapkan tegas dan memfokuskan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harusnya punya keberanian untuk menyelidiki dugaan tindak korupsi di BUMN maupun Bank-Bank swasta, di mana para pekerjanya sangat banyak. Jangan hanya fokus ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja. Tapi KPK sepertinya tidak berani mengusik terlalu jauh korupsi di BUMN-BUMN atau Bank-Bank Swasta karena mereka akan berhadapan dengan para penguasa lama.
Pemerintah sendiri juga tidak tegas dan terkesan kompromis terhadap tekanan kelompok-kelompok yang cenderung berusaha men-disintegrasi-kan negara ini ke arah kesukuan, kelompok tertentu maupun agama. Toleransi agama selama ini terjadi karena pemaksaan bukan karena kesadaran. Problem utamanya adalah kita tidak bangga menjadi orang Indonesia. Rakyat menjadi tidak percaya diri karena para pemimpin juga tidak percaya diri maupun tidak punya keberanian, seperti Eva Morales di Bolivia maupun Hugo Chavez di Venezuela. Tidak adanya karakater maupun kemandirian dari pemimpin bangsa, membuat bangsa ini menjadi bangsa yang pragmatis.
Bapak Anand Krishna dalam memberikan kata-kata penutup untuk diskusi kali ini sangat setuju dengan Dita Indah Sari bahwa problem utama dari permasalahan bangsa ini adalah tidak ada rasanya kebanggaan dalam diri rakyat Indonesia. Maka solusinya adalah membangkitkan kebanggaan menjadi Orang Indonesia dengan segala cara dan segala energi.
Rasa bangga bisa muncul ketika kita mempunyai kepercayaan diri dan keberanian. “Maka pemimpin seperti Dita, amatlah sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sekarang ini,” kata Bapak Anand Krishna. Pemimpin yang mau melayani sesama tanpa diskriminasi, tanpa pamrih, dan berani melawan kekuasaan tanpa memakai kekerasan.
Gandhi, misalnya, berani melawan Kerajaan Inggris dengan Swadeshi (self-sufficient) atau kemandirian ekonomi. Waktu itu kapas ditanam dan dihasilkan di India. Kemudian dibawa ke Inggris, untuk diolah menjadi Kain Katun atau pakaian jadi dan dijual kembali ke India dengan harga yang tinggi. Keuntungan dari penjualan kain dan pakaian ini nantinya akan kembali ke tanah Inggris. Gandhi mengetahui hal ini dan mengajak masyarakat India untuk menolak menggunakan produk impor kain/pakaian dari Inggris. Gandhi memberi teladan dengan memintal kain untuk membuat pakaiannya sendiri. Begitu juga ketika perdagangan garam di India dimonopoli oleh (penjajah) Inggris, maka Gandhi mengajak masyarakat India untuk berjalan bersama ke tepi pantai dan membuat sendiri garam dari air laut. Tindakan sederhana itu dilakukan tanpa kekerasan dan bertujuan untuk membangkitkan India dari cengkaraman Kerajaan Inggris.
Solusi lainnya adalah kita perlu pemimpin dan orang-orang yang punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Negara kita mengalami krisis seperti ini karena rasa empati seakan hilang. “As long as it doesn’t affect me, I don’t care,” begitulah biasanya pendapat kita. Sikap masa bodoh membuat bangsa ini menjadi melemah.
Makanya, penderitaan buruh karena sistem kontrak kemungkinan besar tidak akan diekspos atau dibongkar media karena industri media sendiri banyak menggunakan karyawan kontrak.
Dalam suatu kesempatan, Bapak Anand Krishna juga bertemu dengan seorang Bankir. Bankir ini memberikan 3 resep jitu kaum imperialis untuk menguasai Indonesia :
• Kelompok Agama harus dikuasai dan didengar oleh masyarakat. Kemudian kaitan bencana alam dan penderitaan dengan dosa dan kemurkaan Allah. Dengan cara –cara pembodohan massal seperti itu, masyarakat dengan mudah diperbudak oleh kelompok agama yang dikuasi oleh imperialisme-imperialisme asing.
• Kelompok Orang-Orang Pinter harus dibiayai. Berikan mereka beasiswa ke luar negeri, lalu beberapa tahun kemudian mereka akan pulang dan menjadi “the next mafia berkeley.” Ini terjadi karena selama beberapa tahun di luar negeri atau selama mendapat bantuan, orang-orang ini tanpa sadar akan dirubah sehingga terbiasa dengan standar kebutuhan hidup yang tinggi. Bila sudah terbiasa nyaman, maka dana bantuan akan langsung dihentikan. Cara seperti ini akan langsung menjatuhkan mental/semangat seseorang & kontribusi orang-orang pintar ini untuk membela ibu pertiwi akan berkurang karena mereka harus mencari nafkah bagi pemenuhan standar kehidupan mereka yang baru.
• Kelompok Orang-Orang Bodoh tapi punya jaringan atau koneksi yang luas. Biasanya adalah pengusaha-pengusaha nasional yang sudah hampir bangkrut tapi tiba-tiba mereka mendapatkan dana segar untuk mempertahankan kerajaan bisnis mereka. Kelompok ini seringkali menjadi kaki tangan imperialisme di Indonesia.
Indonesia memang sudah diplot untuk menjadi negara budak, dieksploitasi sumber daya alamnya untuk kemakmuran negara-negara imperialis. Kita sudah cukup lama dibohongi oleh kalangan tertentu bahwa bila kita fanatis terhadap ajaran agama/paham tertentu maka kita dpat lebih berguna bagi negara, atau agama. Padahal semua itu adalah cara-cara kaum imperalis yang berusaha melakukan pembodohan massal bagi rakyat Indonesia dengan cara menjauhkan diri kita dari tradisi kebudayaan Nusantara.
Dan, sekarang ini bukan hanya negara-negara Barat saja yang menjadi pelaku imperalis, tapi juga negara-negara Asia termasuk Arab Saudi. VS Naipaul, penulis buku Among the Believers (1981), sudah meramalkan negara-negara Islam seperti Iran, Pakistan, Malaysia, Indonesia akan mudah “diadu-domba” untuk dikuasai bila tradisi asli kebudayaan di negara-negara tersebut tidak dijaga dengan baik. Dalam suatu wawancara, Presiden Pakistan Pervez Musharraf menyalahkan Perdana Menteri Nawaz Sharif atas kekacauan-kekacauan yang terjadi saat ini karena sebelumnya telah memberikan banyak konsensi pada kelompok garis keras Islam, yang berusaha merubah kebudayaan Pakistan dengan kebudayaan Arab.
Demikian pula dalam Serat Centhini yang diterjemahkan oleh Dr. Suwito Santoso, memuat cerita bagaimana Sunan Kali Jaga berusaha memasukkan kembali gamelan ke dalam mesjid. Intinya, kembali ke nilai-nilai budaya asli akan memperkuat sendi-sendi pertahanan dan keamanan suatu negara. Presiden Soekarno harus mengutip Kitab Sutasoma dalam menyampaikan maksud beliau tentang pentingnya kebudayaan dalam pembentukan suatu negara dan perkembangan national character building, tapi kita sekarang lebih beruntung karena kita hanya perlu kembali memahami ajaran-ajaran Soekarno.
Solusinya memang hanya satu, yaitu menimbulkan kembali kebanggaan sebagai rakyat Indonesia. Kita perlu orang-orang yang berpaham altruisme (bekerja tanpa pamrih/tanpa mengharapkan bayaran) untuk membangun Indonesia menuju kejayaan. (ajb).
Diambil dari: Joehanes.blogsome.com
Dita menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM) berjudul “Di Balik Perjuangan Buruh Indonesia” di Padepokan One Earth-Ciawi, Sabtu 24 Februari 2007. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Bapak Amin Hasan Bukhori, wakil pimpinan redaksi majalah Poultry Business.
Komitmen Dita dalam memperjuangkan hak-hak hidup buruh bersumber dari rasa empati dirinya yang begitu besar pada nasib sesama manusia dalam menjalani kehidupan, seperti yang dikatakan kemudian oleh Bapak Anand Krishna-spiritualis penggagas NIM. Dita sendiri bukan berasal dari keluarga yang kekurangan, tapi pengalaman pribadi dan interaksi dengan kaum buruh membuat dirinya berkomitmen untuk memperjuangkan nasib orang-orang yang termarginalkan ini. Untuk usahanya ini, Dita mendapatkan penghargaan Wertheim Award (1997), dan Magsaysay Award untuk kategori Emergent Leadership (2001). Dita juga sempat menolak Penghargaan dan hadiah uang dalam jumlah yang cukup besar yang diberikan Human Rights Award di tahun 2002, karena Award ini disponsori oleh sebuah perusahaan sepatu terkenal yang dianggapnya masih saja menindas kaum buruh di Indonesia.
Bagi Dita dan teman-temannya di kalangan pergerakan, definisi buruh bukan hanya pekerja kasar pabrik, tapi juga semua orang yang bekerja di bawah perintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja dikaburkan di jaman Orde Baru sebagai upaya pengkotak-kotakan dan pecah belah, sehingga definisi terpecah menjadi buruh, pekerja, pegawai, kaum professional, dsbnya. Tujuannya supaya kekuatan buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politik penguasa saat itu.
Padahal buruh itu besar sekali peranannya bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangun peradaban. Karena jumlahnya yang besar, maka buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan “wajah” masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Di jaman Orde Baru, kaum buruh dipersempit ruang geraknya dengan hanya diperbolehkan mempunyai satu serikat buruh saja. Serikat buruh yang lain langsung diberangus bila berani muncul. Tapi di jaman reformasi ini, data terakhir terdapat 100 serikat buruh di tingkat nasional saja, belum termasuk serikat pekerja/buruh di daerah-daerah. Tapi apakah dengan lebih banyaknya serikat pekerja, maka nasib buruh di Indonesia menjadi lebih baik? Jawabannya Tidak.
Di jaman reformasi telah terjadi de-industrialisasi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hasilnya, jumlah buruh yang mencari pekerjaan menjadi melimpah sehingga kekuatan bargin buruh menjadi jauh berkurang. Apalagi dari 100 serikat pekerja yang ada saat ini tidak padu dan terkesan bekerja sendiri-sendiri. Kemudian, diperparah dengan masuknya Dana Moneter Internasional (IMF) yang memaksa pemerintah Indonesia mencabut subsidi-subsidi, dan larangan impor barang-barang jadi. Akibatnya kaum buruh yang termasuk dalam kaum miskin perkotaan menjadi korban yang paling menderita.
Bagi kalangan pengusaha, memberikan pesangon pada buruh tetap amatlah berat. Di era pemerintahan Megawati, maka dibuat aturan khusus perburuhan yang memperbolehkan penggunaan sistem kontrak bagi buruh tidak tetap. Maka banyak pabrik-pabrik dan industri melakukan sistem outsourcing dalam merekrut pekerja-pekerjanya. Karena persaingan mendapatkan pekerjaan begitu ketat akibat melimpahnya tenaga kerja, maka kadang kala pekerja menyetujui suatu kontrak kerja yang kadang isinya melanggar ketentuan UU.
Persentase biaya yang harus dikeluarkan seorang pengusaha di Indonesia untuk ongkos buruh biasanya hanya berkisar antara 7-10% dari total biaya produksi. Kadang angka tersebut mencapai 15% untuk pekerja di Industri padat-karya/berteknologi tinggi.
Tapi hal terburuk adalah ketika Pemerintah terkesan enggan bersusah payah memberantas korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D). Biasanya BUMN yang berkinerja buruk akan dijual ke pihak swasta/asing dengan harapan korupsi di tubuh BUMN itu akan hilang begitu diserahkan ke pihak non-pemerintah. Tapi biasanya BUMN seperti ini tak laku dijual dengan harga yang wajar sebelum “disehatkan” terlebih dahulu. Pertanyaannya, bila bisa disehatkan atau sudah sehat kenapa harus dijual?
Kekhawatiran buruh rata-rata adalah ketika perusahaan berpindah tangan ke pihak lain, maka hak karyawan akan diubah dari karyawan tetap menjadi karyawan kontrak.
Sekarang ini, timbul kekhawatiran karyawan Pertamina bila BUMN ini diprivatisasikan. Pertamina sudah sering kali kehilangan kontrak sebagai operator pertambangan, maupun hak pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) ke seluruh Indonesia. Pertamina kalah bersaing dengan perusahaan minyak asing lainnya. Yang ditakuti adalah ketika Pertamina diprivatisasikan, maka Pertamina malah dijauhkan dari kontrak-kontrak kerja perminyakan atau dibangkrutkan sehingga tidak lagi menjadi tangan pemerintah untuk mengontrol sumber-sumber alam yang mempengaruhi kehidupan rakyat banyak.
Kejadian ini sudah terjadi dalam skala provinsi di Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya), di mana kontrol BUMD ini terhadap Air Bersih di Jakarta sudah beralih ke Thames PAM Jaya/TPJ (Inggris) maupun PAM Lyonnaisse Jaya/Palyja (Perancis). Padahal UUD’45 pasal 33 mengamanatkan bahwa sumber-sumber alam yang mempengaruhi kesejahteraan hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara.
Jadi persoalan buruh di Indonesia sebenarnya sudah mulai meluas menjadi masalah nasional karena sebagai warga Indonesia, kita sudah kehilangan kontrol atas tanah dan air di negara sendiri. Apa jadinya sebuah negara yang tidak punya kontrol atas tanah dan air di wilayahnya sendiri?
Contoh lain adalah ketika proyek Busway baru mulai berjalan. Texmaco yang mempunyai keahlian dan fasilitas untuk membuat bus penumpang sudah menawarkan bus buatan dalam negeri dengan harga kurang dari sepertiga harga bus impor dari Korea dan China. Tapi tawaran ini ditolak oleh Gubernur DKI Jakarta dengan berbagai alasan. Padahal dengan mendapatkan proyek pengadaan bus untuk Busway, kemungkinan besar Texmaco masih bisa diselamatkan dan 25,000 buruh mungkin masih bisa bekerja.
Demikian pula yang terjadi pada ASEAN Fertilizer di Aceh. Pabrik pupuk ini ditutup karena tidak adanya pasokan gas untuk memproduksi pupuk. Padahal Aceh adalah salah satu wilayah penghasil gas terbesar di Indonesia, tapi hasil produksinya sudah dijual kepada Korea dan Jepang secara jangka panjang. Penutupan pabrik ini mengakibatkan 4000 karyawan diputuskan hubungan kerja (PHK) dan mengurangi suplai pupuk yang sebenarnya esensial bagi negara agraria seperti Indonesia.
Bagi yang masih bekerja pun, nasib buruh tidak bisa dibilang lebih baik. Menurut survei yang pernah dilakukan di tahun 2006, misalnya, upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di DKI Jakarta sebesar Rp. 1,3 juta/bulan Sedangkan untuk tahun 2006, setelah subsidi BBM dicabut, maka angka itu diperkirakan berkisar antara Rp. 1,4-1,5 juta tanpa tunjangan sampai dengan Rp. 1,8-2 jt per bulan dengan tunjangan. Tapi sekarang ini Upah Minimum Komulatif (UMK) Jakarta hanya sebesar Rp. 925,000,-/bulan. Jadi biasanya para buruh menyiasati kekurangan itu dengan cara mengkredit/mencicil barang-barang kebutuhannya.
Tapi biasanya cara-cara kredit seperti ini hanya akan menjebak para buruh pada perangkap berikutnya, yakni Konsumerisme.
Masalah produktivitas buruh di Indonesia juga sering dipertanyakan. Dita pun menyetujui bahwa produktivitas sangat penting untuk diperhitungkan dalam UMK. Tapi harap diingat bahwa produktivitas kerja manusia sangat erat kaitannya dengan produktivitas mesin/teknologi yang digunakan. Jadi misalnya, sulit membandingkan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 1970-an di Indonesia dengan produktivitas kerja buruh dengan mesin produksi buatan tahun 2000-an di Vietnam.
Para aktivis buruh sebenarnya sudah menyadari bahwa sekarang ini pemerintah adalah institusi di negara ini yang paling bertanggung jawab atas nasib buruh. Pengusaha sudah bangkrut, sehingga suplai buruh di pasar tenaga kerja menjadi meningkat. Pemerintah sendiri tidak mampu mengkontrol kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, mengimplementasikan program pendidikan gratis, ataupun jaminan kesehatan minimal. Jadi buruh sudah berada di posisi yang terjepit di antara krisis ekonomi, permainan politik, gejolak sosial, dll. Makanya dalam keadaan seperti ini, bila ada momen-momen kenaikan gaji, maka buruh menjadi tidak rasional dalam mengajukan tuntutan terhadap manajemen perusahaan.
Pemerintah juga diharapkan tegas dan memfokuskan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harusnya punya keberanian untuk menyelidiki dugaan tindak korupsi di BUMN maupun Bank-Bank swasta, di mana para pekerjanya sangat banyak. Jangan hanya fokus ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja. Tapi KPK sepertinya tidak berani mengusik terlalu jauh korupsi di BUMN-BUMN atau Bank-Bank Swasta karena mereka akan berhadapan dengan para penguasa lama.
Pemerintah sendiri juga tidak tegas dan terkesan kompromis terhadap tekanan kelompok-kelompok yang cenderung berusaha men-disintegrasi-kan negara ini ke arah kesukuan, kelompok tertentu maupun agama. Toleransi agama selama ini terjadi karena pemaksaan bukan karena kesadaran. Problem utamanya adalah kita tidak bangga menjadi orang Indonesia. Rakyat menjadi tidak percaya diri karena para pemimpin juga tidak percaya diri maupun tidak punya keberanian, seperti Eva Morales di Bolivia maupun Hugo Chavez di Venezuela. Tidak adanya karakater maupun kemandirian dari pemimpin bangsa, membuat bangsa ini menjadi bangsa yang pragmatis.
Bapak Anand Krishna dalam memberikan kata-kata penutup untuk diskusi kali ini sangat setuju dengan Dita Indah Sari bahwa problem utama dari permasalahan bangsa ini adalah tidak ada rasanya kebanggaan dalam diri rakyat Indonesia. Maka solusinya adalah membangkitkan kebanggaan menjadi Orang Indonesia dengan segala cara dan segala energi.
Rasa bangga bisa muncul ketika kita mempunyai kepercayaan diri dan keberanian. “Maka pemimpin seperti Dita, amatlah sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sekarang ini,” kata Bapak Anand Krishna. Pemimpin yang mau melayani sesama tanpa diskriminasi, tanpa pamrih, dan berani melawan kekuasaan tanpa memakai kekerasan.
Gandhi, misalnya, berani melawan Kerajaan Inggris dengan Swadeshi (self-sufficient) atau kemandirian ekonomi. Waktu itu kapas ditanam dan dihasilkan di India. Kemudian dibawa ke Inggris, untuk diolah menjadi Kain Katun atau pakaian jadi dan dijual kembali ke India dengan harga yang tinggi. Keuntungan dari penjualan kain dan pakaian ini nantinya akan kembali ke tanah Inggris. Gandhi mengetahui hal ini dan mengajak masyarakat India untuk menolak menggunakan produk impor kain/pakaian dari Inggris. Gandhi memberi teladan dengan memintal kain untuk membuat pakaiannya sendiri. Begitu juga ketika perdagangan garam di India dimonopoli oleh (penjajah) Inggris, maka Gandhi mengajak masyarakat India untuk berjalan bersama ke tepi pantai dan membuat sendiri garam dari air laut. Tindakan sederhana itu dilakukan tanpa kekerasan dan bertujuan untuk membangkitkan India dari cengkaraman Kerajaan Inggris.
Solusi lainnya adalah kita perlu pemimpin dan orang-orang yang punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Negara kita mengalami krisis seperti ini karena rasa empati seakan hilang. “As long as it doesn’t affect me, I don’t care,” begitulah biasanya pendapat kita. Sikap masa bodoh membuat bangsa ini menjadi melemah.
Makanya, penderitaan buruh karena sistem kontrak kemungkinan besar tidak akan diekspos atau dibongkar media karena industri media sendiri banyak menggunakan karyawan kontrak.
Dalam suatu kesempatan, Bapak Anand Krishna juga bertemu dengan seorang Bankir. Bankir ini memberikan 3 resep jitu kaum imperialis untuk menguasai Indonesia :
• Kelompok Agama harus dikuasai dan didengar oleh masyarakat. Kemudian kaitan bencana alam dan penderitaan dengan dosa dan kemurkaan Allah. Dengan cara –cara pembodohan massal seperti itu, masyarakat dengan mudah diperbudak oleh kelompok agama yang dikuasi oleh imperialisme-imperialisme asing.
• Kelompok Orang-Orang Pinter harus dibiayai. Berikan mereka beasiswa ke luar negeri, lalu beberapa tahun kemudian mereka akan pulang dan menjadi “the next mafia berkeley.” Ini terjadi karena selama beberapa tahun di luar negeri atau selama mendapat bantuan, orang-orang ini tanpa sadar akan dirubah sehingga terbiasa dengan standar kebutuhan hidup yang tinggi. Bila sudah terbiasa nyaman, maka dana bantuan akan langsung dihentikan. Cara seperti ini akan langsung menjatuhkan mental/semangat seseorang & kontribusi orang-orang pintar ini untuk membela ibu pertiwi akan berkurang karena mereka harus mencari nafkah bagi pemenuhan standar kehidupan mereka yang baru.
• Kelompok Orang-Orang Bodoh tapi punya jaringan atau koneksi yang luas. Biasanya adalah pengusaha-pengusaha nasional yang sudah hampir bangkrut tapi tiba-tiba mereka mendapatkan dana segar untuk mempertahankan kerajaan bisnis mereka. Kelompok ini seringkali menjadi kaki tangan imperialisme di Indonesia.
Indonesia memang sudah diplot untuk menjadi negara budak, dieksploitasi sumber daya alamnya untuk kemakmuran negara-negara imperialis. Kita sudah cukup lama dibohongi oleh kalangan tertentu bahwa bila kita fanatis terhadap ajaran agama/paham tertentu maka kita dpat lebih berguna bagi negara, atau agama. Padahal semua itu adalah cara-cara kaum imperalis yang berusaha melakukan pembodohan massal bagi rakyat Indonesia dengan cara menjauhkan diri kita dari tradisi kebudayaan Nusantara.
Dan, sekarang ini bukan hanya negara-negara Barat saja yang menjadi pelaku imperalis, tapi juga negara-negara Asia termasuk Arab Saudi. VS Naipaul, penulis buku Among the Believers (1981), sudah meramalkan negara-negara Islam seperti Iran, Pakistan, Malaysia, Indonesia akan mudah “diadu-domba” untuk dikuasai bila tradisi asli kebudayaan di negara-negara tersebut tidak dijaga dengan baik. Dalam suatu wawancara, Presiden Pakistan Pervez Musharraf menyalahkan Perdana Menteri Nawaz Sharif atas kekacauan-kekacauan yang terjadi saat ini karena sebelumnya telah memberikan banyak konsensi pada kelompok garis keras Islam, yang berusaha merubah kebudayaan Pakistan dengan kebudayaan Arab.
Demikian pula dalam Serat Centhini yang diterjemahkan oleh Dr. Suwito Santoso, memuat cerita bagaimana Sunan Kali Jaga berusaha memasukkan kembali gamelan ke dalam mesjid. Intinya, kembali ke nilai-nilai budaya asli akan memperkuat sendi-sendi pertahanan dan keamanan suatu negara. Presiden Soekarno harus mengutip Kitab Sutasoma dalam menyampaikan maksud beliau tentang pentingnya kebudayaan dalam pembentukan suatu negara dan perkembangan national character building, tapi kita sekarang lebih beruntung karena kita hanya perlu kembali memahami ajaran-ajaran Soekarno.
Solusinya memang hanya satu, yaitu menimbulkan kembali kebanggaan sebagai rakyat Indonesia. Kita perlu orang-orang yang berpaham altruisme (bekerja tanpa pamrih/tanpa mengharapkan bayaran) untuk membangun Indonesia menuju kejayaan. (ajb).
Diambil dari: Joehanes.blogsome.com
Langganan:
Postingan (Atom)