Senin, 17 April 2006

Revisi UU Ketenagakerjaan dan Masa Depan Buruh

Dita Indah Sari

Ribut-ribut revisi Undang-undang Ketenagakerjaan belum surut. Cara dan proses pembahasan ulang revisi itu, yang disepakati dalam pertemuan di Istana Negara 7 April lalu, tetap dikritik organisasi-organisasi buruh. Mereka tetap akan demonstrasi walau sudah ada “perdamaian” yang diwasiti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sejak awal mendorong revisi, mengingatkan organisasi buruh soal “aturan main” yang disepakati di Istana. Sejumlah kalangan pun tidak habis pikir dengan sikap para pekerja yang dituduh memperumit keadaan.

Namun, sebelum lebih banyak tudingan dialamatkan kepada para pekerja, saya kira kita memahami argumentasi mereka. Penolakan ini adalah cermin bangkitnya kesadaran baru di kalangan pekerja. Para buruh makin sadar bahwa pemerintah Indonesia adalah sumber kian terpuruknya kesejahteraan dan kepastian kerja mereka.

Hilang Kepercayaan

Bagi buruh, draft maut itu mencerminkan posisi sejati pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan. Draf ini memperlihatkan orientasi sejati pemerintah SBY. Ia mempreteli berbagai perlindungan dan kepastian kerja para buruh. Menurut draft ini, era pasar bebas dan liberalisasi harus diikuti dengan aturan tenaga kerja yang lebih fleksibel. Tujuannya, para investor tergiur dan betah bertanam modal di Indonesia. Sialnya bagi buruh. “Lebih fleksibel” berarti jumlah pesangon makin kecil. Pemecatan dipermudah. Kontrak kerja diperpanjang. Sistem outsourcing diterapkan tanpa batas.

Keputusan SBY untuk mengabaikan draft maut itu, saya nilai bukan karena keberpihakan SBY terhadap buruh. Sikap ini diambil SBY akibat kuatnya tekanan dari demonstrasi jalanan. Pengalihan proses pembahasannya kepada lembaga tripartit pun tetap saya anggap sebagai rencana melancarkan revisi melalui pintu lain. Lagipula, dengan keputusan ini, artinya tuntutan utama buruh agar revisi dibatalkan, sebenarnya telah ditolak pemerintah.

Menyoal Tripartit

Akibatnya, buruh memandang lembaga tripartit dengan pesimis. Pertama, posisi buruh di situ pun jelas minoritas. Pemerintah dan pengusaha telah berada dalam kubu yang sama: revisi harus terjadi. Kedua, perwakilan dari pihak serikat pekerja tak dapat dianggap sebagai representasi suara kaum buruh karena dalam forum tripartit tak semua serikat buruh terwakili. Keputusan dari tripartit tidak mungkin akan mengikat sikap seluruh serikat buruh yang tidak duduk dalam lembaga ini.

Penegasan Jusuf Kalla bahwa proses ini akan terus berlangsung meski demontrasi tetap digelar, membuktikan bahwa pemerintah ingin merevisi UU Ketenagaankerjaan ini dengan segala konsekuensinya. Pemerintah tak merasa perlu mereorganisasi tripartit sehingga komposisinya lebih demokratis. Penolakan sebagian organisasi pekerja dipandang sebagai “melanggar aturan main” --yang ternyata disepakati secara sepihak—daripada sebagai peringatan yang patut dipikirkan.

Solusi Alternatif

Revisi yang akan dibahas ini sangat vital bagi pekerja. Cerah gelapnya masa depan buruh ditentukan dari keberpihakan isi UU Ketenagakerjaan. Solusinya, proses pembahasan yang lebih terbuka adalah suatu keharusan.

Bagi kalangan serikat pekerja ada satu hal mendesak untuk dilakukan: konsolidasi menyatukan sikap. Perlu ada satu meja bersama dimana berbagai serikat, baik itu bagian dari tripartit atau bukan, bisa duduk dan membahas masa depan perlindungan buruh dalam era kapitalisme global ini.

Kaum buruh telah satu suara menolak revisi. Mengapa pula tak bisa satu suara dalam membahas alternatifnya? Paling tidak, dalam forum besar itu dapat dihasilkan prinsip-prinsip dasar perlindungan para pekerja, terutama dalam hal kontrak, outsourcing, uang pesangon dan upah. Jika forum ini terlalu luas untuk menelurkan hal-hal yang sangat detail, biarlah itu dilakukan oleh mekanisme lain. Saya yakin forum ini bisa terwujud dalam waktu cepat karena serikat-serikat buruh memang menanti satu tempat untuk menyusun langkah bersama.

Penting ada pegangan dan koridor bersama yang dibuat secara bersama oleh serikat-serikat pekerja. Mungkin memang makan waktu lebih panjang, tapi proses demokratis jangan sampai diabaikan. Proses ini pula yang ikut menentukan seberapa besar kepercayaan kepada pemerintah SBY bisa dipulihkan.

Konsekuensinya, jika pilihan ini dijalankan, maka proses pembahasan revisi yang difasilitasi oleh pemerintah mesti dihentikan. Kita semua kembali ke posisi status quo. UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 tetap diberlakukan untuk sementara.

Saya juga ingin mengajak para pemimpin serikat pekerja untuk terlibat dalam upaya memperjuangkan perlindungan bagi industri domestik kita yang tengah bangkrut. Berbagai sumber ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi adalah biang keladi kebangkrutan. Mulai dari beban pungutan liar, korupsi, mahalnya biaya energi (solar, listrik dan gas), rusakya infrastruktur, suku bunga yang melangit, ketegantungan pada bahan impor, dan banyak lagi.

Semua problem ini harus menjadi bagian dari perjuangan kaum buruh. Sudah bukan masanya lagi serikat pekerja hanya concern pada soal-soal sektornya semata. Di tengah proses kebangkrutan negeri ini, serikat buruh tak bisa lagi membatasi diri, menghindar dari tanggung jawab sosial politiknya. Kesejahteraan bagi para buruh, tampaknya tak bakal tercapai tanpa keterlibatan buruh dalam perjuangan politik Indonesia. ***


*)Dita Indah Sari aktivis buruh dari Partai Rakyat Demokratik.

Tidak ada komentar: