Jakarta, Kompas - Masalah perburuhan di masa datang akan semakin kompleks sehingga dibutuhkan presiden yang benar-benar paham soal ketenagakerjaan. Selama ini para buruh merasakan pemimpin yang berasal dari militer, Orde Baru, ataupun neo Orde Baru sangat kurang memerhatikan ketenagakerjaan.
Dengan demikian, buruh sepakat pada pemilihan umum presiden nanti tidak akan memilih calon pemimpin yang berasal dari militer, Orde Baru, ataupun neo Orde Baru.
Demikian benang merah pembicaraan Kompas dan sejumlah aktivis buruh dan anggota Komisi VII DPR Rekso Ageng Herman di sela Aksi Damai Kaum Buruh dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Sabtu (1/5).
Menurut Koordinator Barisan Oposisi Bersatu, Dita Indah Sari, kepemimpinan di bawah ketiga unsur tersebut sudah pasti tidak akan menguntungkan bagi kaum buruh. "Dapat kita lihat, partai-partai politik yang menempati posisi teratas dalam pemilihan umum legislatif kemarin masih partai lama yang saat berkuasa sama sekali tidak menguntungkan kaum buruh," katanya.
Sementara, kata Dita, partai baru tidak pernah menunjukkan komitmen terhadap perjuangan buruh. "Jadi, memang saat peringatan Hari Buruh Internasional ini kami ingin menyerukan agar para buruh tidak memilih calon presiden juga wakil presiden dari partai-partai yang sudah terbukti gagal dalam kekuasaan yang lalu. Kami juga menyerukan agar jangan memilih calon yang mantan militer karena banyak pengalaman kami sudah terepresi, mendapat kekerasan secara militer, baik oleh polisi maupun aparat TNI," ujarnya.
Para pemimpin pada masa neo Orde Baru, menurut dia, sudah terbukti gagal dalam menyelesaikan krisis ekonomi. Selain itu, banyak aset negara yang dijual melalui privatisasi sehingga kemudian mencetak lebih banyak lagi pengangguran. "Sementara kalau dipimpin oleh militer, para buruh khawatir unsur kekerasan akan semakin kuat, seperti kasus yang dialami karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang diintimidasi saat memperjuangkan nasib mereka," ujarnya.
Ketua Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP-FKK) PT DI Arif Minardi mengatakan, selama 17 tahun menjadi buruh dengan berbagai warna kepemimpinan kondisi buruh tidak semakin baik.
"Saya merasa kondisi kami, para buruh, malah semakin buruk dengan bergantinya pemerintahan. Waktu zaman Soeharto yang notabene tidak benar itu saja kalau mau PHK (pemutusan hubungan kerja) karyawan BUMN dalam jumlah besar ada pertimbangan matang. Sekarang perusahaan, apalagi BUMN, dengan gampangnya memberhentikan pekerja karena kurangnya kontrol dari pemerintah," katanya.
Meskipun pesimistis melihat calon pemimpin yang ada saat ini, Arif tetap berharap pemimpin yang baru nanti dapat lebih mengajak para buruh untuk duduk bersama dalam penentuan kebijakan soal buruh. "Soalnya, selama ini pekerja tidak pernah tahu kebijakan perusahaan. Tiba-tiba perusahaan disebut bangkrut dan buruh diberhentikan," katanya.
Padahal, perusahaan kolaps karena terlalu banyak korupsi, bukan akibat jumlah tenaga kerja terlalu banyak. Khusus di PT DI saja, menurut dia, dalam lima tahun terakhir korupsi sudah mencapai Rp 2,3 triliun.
Sulit diterapkan
Rekso mengatakan, ke depan persoalan ketenagakerjaan diperkirakan makin kompleks. Alasannya sampai sekarang belum ada petunjuk pelaksana berupa keputusan menteri, peraturan pemerintah dan keputusan presiden untuk Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Nomor 2 Tahun 2004. Akibatnya, kedua UU tersebut masih sulit untuk diterapkan di lapangan.
Sementara Rancangan Undang-Undang Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri belum juga dibahas DPR. Padahal, pembahasan RUU itu melibatkan banyak stakeholder, yakni 11 departemen, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, serta pakar ketenagakerjaan.
Ia menambahkan, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja perlu direvisi untuk menghindari persoalan di lapangan. Sebab, di dua UU tersebut jenis perselisihan perburuhan berbeda jumlahnya dan jenisnya. "Sedangkan UU PPHI belum bisa diterapkan karena gedung pengadilan belum ada, hakim ad hoc belum dipilih, sehingga semuanya masih bermasalah,"kata dia. (ETA/TAV)
Selasa, 04 Mei 2004
Langganan:
Postingan (Atom)