ADA kemajuan dalam gerakan perempuan di Indonesia dibandingkan dengan lebih dari 15 tahun lalu. Ketika itu, ada kesenjangan di antara gerakan perempuan Indonesia karena masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Yang satu merasa lebih penting dari yang lain.
KOALISI Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) berhasil memadukan perempuan dari berbagai gerakan di akar rumput, bergabung dengan perempuan lain dalam organisasi perempuan. Ini dahsyat dan kemajuan dalam gerakan perempuan," tutur Erna Witoelar, aktivis gerakan lingkungan dan perlindungan perempuan pada tahun 1980-an yang kini menjadi Duta Besar Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Millennium Development Goals di Asia Pasifik. Erna berbicara membawakan pidato kunci saat pembukaan Kongres II KPI yang berlangsung di Cibubur, Rabu (14/1) hingga Minggu (18/1).
Pernyataan Erna Witoelar berada dalam konteks keberagaman gerakan perempuan yang berada di dalam payung KPI. Ada 15 sektor yang terangkum di dalam KPI yang mewakili masyarakat adat, para profesional dan akademisi, ibu-ibu rumah tangga, masyarakat miskin kota dan miskin desa, masyarakat petani dan nelayan, mewakili mahasiswa dan pelajar, mewakili perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dari sektor usaha informal, hingga kelompok lesbian dan transjender.
Melihat keberagaman yang terdapat di dalam KPI, apa yang dikatakan Erna tidaklah berlebihan. Yang berbeda dari organisasi sejenis yang pernah ada adalah para perempuan tersebut dilihat dan dihargai hak-haknya sebagai individu. Karena itu, ada sektor ibu rumah tangga, sektor untuk para profesional, selain juga ada sektor untuk para lesbian, transjender, termasuk pekerja seksual. Rasanya, inilah organisasi yang memiliki keanggotaan begitu beragam, lintas budaya, lintas kelas, lintas kepentingan, lintas usia.
Saat kongres pertama yang berlangsung di Yogyakarta pada 14-17 Desember 1998, hadir perwakilan perempuan dari 25 provinsi untuk membentuk organisasi alternatif. Koordinator Presidium Nasional KPI Ratna Bantara Munti dalam sambutannya menyebutkan, organisasi KPI dibentuk dengan dua latar belakang. Pertama, kentalnya semangat multikulturalisme dan pluralisme di dalam organisasi ini dan keinginan untuk menandingi ketunggalan wajah gerakan perempuan selama ini atau dengan kata lain membawa suara perempuan yang selama ini dibisukan, ke panggung politik nasional. Latar belakang kedua adalah menawarkan kepemimpinan alternatif dengan sistem presidium yang terdiri atas 15 wakil dari tiap sektor kepentingan.
Ketika kongres kedua dilaksanakan, menurut Sekretaris Jenderal KPI periode 1998-2003, Nursyahbani Katjasungkana, organisasi ini memiliki 16.000 anggota yang diorganisasi melalui sekretariat di 16 provinsi. Memperbesar keanggotaan merupakan salah satu tujuan KPI yang ingin tumbuh menjadi organisasi berbasis massa. Sudahkah organisasi berjalan seperti yang diinginkan ketika saat terbentuk?
PARA pembicara yang diundang menyampaikan pendapatnya, mewakili keberagaman sektor-sektor di dalam KPI. Ny Kardinah Soepardjo Rustam menuturkan pengalaman membangun organisasi perempuan di tingkat desa, sementara Mama Yusan Yeblo mewakili keberagaman gerakan perempuan Papua. Pembicara lain adalah Nursyahbani Katjasungkana, aktivis buruh Dita Indah Sari, akademisi dan peneliti dari Universitas Amsterdam Saskia Eleonora Wieringa, aktivis gerakan lingkungan Arimbi Heruputri, wakil dari Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana, wakil dari Centre for Electoral Reform Francisia Seda, dan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Golkar Nurul Arifin.
Di tengah kritik bahwa gerakan perempuan secara umumnya terlalu bias kelas dan kota besar, Jakarta terutama (Kompas, 5/1/04), dalam Kongres KPI pekan lalu Dita Indah Sari melontarkan pandangan kritis terhadap gerakan perempuan.
Menurut Dita, gerakan perempuan tidak bisa eksklusif, melainkan harus inklusif bekerja sama dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan buruh, gerakan prodemokrasi, dan gerakan-gerakan masyarakat lain untuk bersama-sama memperjuangkan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera. Juga membangun organisasi di akar rumput dengan mengaitkan persoalan sehari-hari dengan sistem politik seperti kekerasan dengan sistem pemerintahan yang militeristik, kenaikan harga kebutuhan pokok dan banyaknya orang miskin dengan ketidakmampuan mengelola ekonomi, serta tidak berjalannya sistem hukum.
Selain itu, gerakan perempuan perlu menyatukan kerangka gerakan untuk penyatuan jangka panjang, seperti memberi tawaran sistem ekonomi dan politik sebagai alternatif sistem yang ada saat ini yang tidak memuaskan. "(Kerangka bersama) ini yang belum ada, belum padu. Sekarang elite politik dan militer bertambah kuat bukan karena mereka kuat, tetapi karena kita lemah dan kita menjaga jarak terhadap kekuasaan dan membiarkan arena kekuasaan diambil kelompok nondemokrasi," kata Dita.
Namun, Nursyahbani tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan Dita. Dalam percakapan terpisah di tengah jeda hari pertama Kongres KPI, Nursyahbani melihat agak sulit menyatukan visi secara kaku dan tegas sebuah gerakan yang komponen-komponennya begitu beragam seperti KPI. Tiap komponen memiliki prioritas sendiri-sendiri di dalam benang merah keberagaman yang menyatukan mereka.
Menurut Nursyahbani yang juga caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk daerah pemilihan Jawa Timur ini, platform bersama yang kaku dan tegas akan lebih cocok untuk partai atau organisasi yang tingkat keseragamannya tinggi. "Ide saya adalah sebuah koalisi pelangi dengan platform masing-masing. Tetapi, kalau ada isu yang bisa diangkat bersama kita lalu bisa bersatu. Misalnya ketika KPI memelopori gagasan untuk adanya kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, gagasan ini lalu menyatukan berbagai elemen perempuan di dalam maupun di luar politik," tutur Nursyahbani. "Gerakan perempuan lemah bukan karena tak punya basis massa, tetapi karena ideologi dari gerakan itu sendiri mendukung atau tidak, seperti pada Kowani dan PKK."
Tantangannya lalu adalah bagaimana gerakan perempuan yang beragam ini bisa dengan cepat menangkap isu-isu yang dirasakan menjadi kepentingan bersama dan menjadi gerakan bersama. Contoh yang paling baik antara lain ketika ibu-ibu Suara Ibu Peduli menyuarakan keprihatinan mereka di Bundaran Hotel Indonesia pada tahun 1998 atas mahalnya harga kebutuhan bahan pokok. Isu tersebut dirasakan hampir semua perempuan sehingga gerakan tersebut menyuarakan kepentingan semua perempuan.
Pada tahun 1980-an, isu yang mengikat gerakan perempuan adalah membangun kesadaran politik perempuan tentang hegemoni Orde Baru terhadap perempuan, terutama ketika rezim itu mendomestikasi perempuan dengan menetapkan peran perempuan adalah pendamping suami dan bertanggung jawab terhadap generasi penerus bangsa. Isu-isu aktual seperti inilah yang harus diformulasi dari waktu ke waktu dan menjadi pengikat solidaritas gerakan perempuan.
GERAKAN perempuan ke depan akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Di dalam gerakan sendiri, pengorganisasian anggota tetap menjadi masalah karena harus berhadapan dengan persoalan budaya yang masih memandang politik adalah ranah para laki-laki sampai ke masalah administrasi organisasi seperti penggalangan dana yang sebetulnya bisa didapat dari iuran anggota.
Dalam arena isu-isu pergerakan sendiri, tantangan yang harus dihadapi bukan hanya isu-isu bersifat lokal, tetapi yang terasa semakin mendesak untuk segera dihadapi adalah isu-isu yang datang dari globalisasi.
Kamala Chandrakirana dari Komnas Perempuan mencatat lima tahun reformasi menghasilkan keberhasilan dan sekaligus kekalahan. Beberapa keberhasilan adalah tak ada lagi kekuasaan yang terpusat dengan adanya otonomi daerah, terpisahnya kepolisian dari militer, semakin dinamisnya gerakan sosial tani, buruh, masyarakat adat, dan perempuan, serta tumbuhnya semangat membela kemajemukan Indonesia.
Di sisi lain, reformasi masih belum membuahkan sistem peradilan yang mampu menghentikan siklus impunitas atas pelanggaran HAM sehingga mengakibatkan mengakarnya budaya kekerasan. Institusi negara pun gagal memberi sanksi tegas terhadap pelaku KKN, sementara pemerintah belum berhasil merumuskan ulang strategi ekonomi yang mengakibatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin terus melebar.
Komunitas intelegensi juga gagal menawarkan kepemimpinan bangsa yang mampu melepaskan Indonesia dari warisan sistem otoriterianisme Orde Baru, sementara warga pun gagal memaknai visi bangsa Indonesia yang damai dalam kemajemukan yang tampak dari merebaknya konflik dan kekerasan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan.
Globalisasi kapital melalui perusahaan multinasional dan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia yang dikuasai negara-negara kaya, mulai terasa dampaknya terhadap masyarakat secara langsung yang menyebabkan ekstraksi dari negara-negara berkembang, sementara negara kaya menutup pintu mereka untuk masuknya produk dan tenaga kerja dari negara berkembang.
"Definisi globalisasi bermacam-macam. Yang jelas, globalisasi dimotori kapital internasional yang bergerak semakin cepat keliling dunia mencari tenaga kerja termurah dan pasar serta keuntungan terbesar," kata Wieringa. Akibat dari globalisasi kapital itu bisa menjadi sebuah daftar panjang, mulai dari ketimpangan keuntungan antara negara-negara Barat dengan Afrika dan Asia, munculnya kelas menengah di negara berkembang yang berkultur konsumtif dan tidak menginvestasi kekayaan mereka untuk sesuatu yang produktif, perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, hingga munculnya gerakan agama dan kebudayaan yang konservatif dengan tafsiran agama yang patriarkhal, dan penciptaan baru kebudayaan "kuno" yang memperkuat kekuasaan patriarkhal.
"Semua proses ini engendered, punya relasi dan akibat yang memperkuat kekurangan kesetaraan jender. Akumulasi kapital ini dibangun atas kerja keras dan eksploitasi kerja perempuan dan buruh miskin laki-laki dan perempuan. Gerakan tradisional untuk melawan globalisasi akhirnya dibangun atas penindasan jiwa dan tubuh perempuan; perkembangan fundamentalisme agama membelokkan perhatian dari perlawanan sosial-ekonomi dan hak-hak perempuan," kata Wieringa.
BAGAIMANA perempuan bisa berperan untuk membangun masyarakat yang lebih demokratis? Baik Kamala, Wieringa, maupun Arimbi Heruputri menyarankan untuk membangun gerakan di tingkat lokal.
"Gerakan perempuan memfokuskan diri pada isu kewargaan, yaitu apa makna menjadi perempuan biasa dan sebagai warga negara, mempertanyakan hak-hak sebagai perempuan dan warga negara, apa kontribusi terhadap kehidupan kewarganegaraan.
Untuk ini tidak perlu menjadi politisi yang hebat-hebat, tetapi mulai dari politik keseharian seperti bagaimana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dikaitkan dengan sistem politik negara," kata Kamala.
Baik Kamala maupun Wieringa menyebutkan bahwa dalam berelasi dengan negara, perempuan bisa bekerja bersama-sama, tetapi tanpa kehilangan kemandirian. Hubungan itu harus sangat kritis dan terus-menerus melakukan analisis terhadap sepak terjang negara. Keduanya juga menyarankan untuk bekerja sama dengan gerakan sosial lain di luar gerakan perempuan karena kekuatan kapital global dan gerakan antidemokrasi sangat kuat.
Dalam gerakan yang lebih konkret, pengalaman lima tahun sebagai Sekretaris Jenderal KPI, menurut Nursyahbani, memberikan pembelajaran gerakan yang berkonfrontasi langsung dengan pemerintah tidak selalu produktif.
Akan lebih produktif bila lebih banyak perempuan di jajaran birokrat dan lembaga-lembaga politik yang memiliki perhatian terhadap masalah perempuan dan kelompok marjinal lain.
Pengalaman terakhir, demikian Nursyahbani, menunjukkan para perempuan di parlemen lebih mudah berbicara dengan laki-laki anggota parlemen untuk menyampaikan isu menyangkut perempuan. Dalam hal ini, gerakan perempuan di akar rumput bisa menjadi mitra yang kritis untuk para perempuan di birokrasi dan lembaga politik. Perjuangan gerakan perempuan masih panjang dan tantangannya semakin berat.
Seperti dikatakan Kamala, yang akan menuai buah dari gerakan ini bukan generasi saat ini, tetapi generasi yang akan datang. Ini pun sudah cukup menjadi alasan untuk menggalang kerja sama lintas budaya, kelas, jender, sosial, untuk masyarakat yang lebih demokratis. (NMP)
sumber: Harian Kompas Senin, 19 Januari 2004
Senin, 19 Januari 2004
Langganan:
Postingan (Atom)