Oleh: Dita Indah Sari
KALANGAN pengusaha nasional (Apindo) dalam berbagai kesempatan telah melemparkan wacana perlunya mengedepankan bipartit sebagai mekanisme penyelesaian konflik. Bipartism bermakna penyelesaian konflik perburuhan melalui dialog dan negosiasi di antara dua pihak, buruh dan pengusaha, tanpa campur tangan atau diperantarai pemerintah. Bipartit secara formal bertujuan mencari solusi konflik tanpa mediator/wasit.
Dalam situasi krisis, saat jumlah pengangguran hampir mencapai angka 40 juta, relasi kerja yang longgar, fleksibel, dan individual adalah problem besar bagi buruh karena semakin melemahkan posisi tawarnya.
Kapitalisme Orde Baru
Namun, menarik untuk melihat satu situasi yang mendorong kalangan dunia usaha menekankan bipartit sebagai solusi bagi konflik perburuhan, yang berkonsekuensi mengurangi peran pemerintah dalam penyelesaian problem. Hal ini kontras dengan realitas bahwa selama tiga puluh tahun di bawah pemerintah Soeharto, dunia usaha menggantungkan eksistensi dan keberlangsungannya kepada pemerintah Orde Baru. Relasi yang harmonis dengan pihak istana dan petinggi militer (kronisme) menjadi syarat untuk memperoleh peluang berusaha, menikmati proteksi, tender, atau memenangkan kompetisi bisnis. Banyak perusahaan besar menempatkan perwira/mantan militer dan birokrat sebagai komisaris atau salah satu pemegang sahamnya meski tidak memiliki kompetensi apa pun.
Saat itu, struktur ekonomi nasional yang kuat dan berakar tidak pernah benar-benar dibangun, terutama di sektor pertanian, karena menggantungkan pendapatan dengan cara menguras kekayaan alam (minyak, tambang, dan hutan). Industri nasional lain, seperti sepatu serta tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak dibangun di atas basis teknologi dan perkembangan tenaga produktif yang maju karena industri dasar yang menjadi pendukungnya tidak integratif dan luput dikembangkan. Ketergantungan bahan baku, teknologi, pasar, dan modal terhadap asing amat besar, jadi lebih mirip industri perakitan.
Penyelesaian konflik perburuhan pada masa itu represif dan tidak demokratis. Polisi dan angkatan bersenjata menjadi unsur terdepan dalam meredam gerakan buruh. Hal ini diketahui jelas, bahkan didukung dunia usaha. Karena itu, pada zaman itu konsep Hubungan Industrial Pancasila bermakna keuntungan sebesar-besarnya bagi dunia usaha dan birokrasi dengan buruh yang murah dan patuh.
Karena itu, jika saat ini terjadi satu pergeseran drastis fungsi pemerintah di mata dunia usaha, ini merupakan satu hal yang berharga untuk dikaji. Aneka kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap kian kontraproduktif bagi perkembangan berbagai sektor industri. Ketidakjelasan berbagai peraturan baru yang dikeluarkan menimbulkan ketidakpastian hukum. Korupsi dan kolusi di kalangan birokrasi pusat hingga daerah menjadi parasit dan ekonomi biaya tinggi bagi peningkatan produktivitas dan keuntungan berbagai sektor industri. Penyelesaian konflik perburuhan yang diperantarai pemerintah juga dilihat sebagai satu mekanisme panjang, birokratis, dan mahal sehingga tidak efisien dan tidak kompetitif. Kalangan pengusaha menganggap penyelesaian konflik perburuhan melalui dialog langsung dengan serikat pekerja adalah penyelesaian yang lebih murah.
Dalam situasi seperti ini, penjualan domestik menurun karena minimnya daya beli masyarakat akibat kenaikan bahan bakar minyak, listrik, biaya sekolah, dan meningkatnya biaya produksi. Gabungan Perusahaan Farmasi pesimismis atas target pasar farmasi tahun 2003 sebesar Rp 17,8 triliun dapat dicapai karena daya beli rakyat rendah. Meski obat merupakan salah satu kebutuhan pokok, tampaknya tak menjadi prioritas rakyat karena tingginya harga kebutuhan pokok utama, yaitu pangan, sandang, dan perumahan (Bisnis Indonesia, 28/7). Adapun Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia Jawa Tengah mengeluhkan penjualan sektor ritel di provinsi itu, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, yang jauh dari target yang diharapkan (Kompas, 23/5). Hal ini diperparah dengan berbagai kebijakan liberalisasi perdagangan (liberalisasi impor) dan penyelundupan.
Akumulasi dampak krisis global yang tidak mampu diselesaikan pemerintah nasional telah berdampak pada penutupan sejumlah perusahaan domestik dan asing. Liberalisasi perdagangan menuntut pemerintah nasional untuk mengurangi/menghapuskan segala bentuk subsidi dan proteksi. Hal ini membuat pengusaha nasional yang tengah terdesak lalu melihat pemerintah sulit untuk diharapkan sebagai agen perubahan. Krisis kepercayaan semakin membesar.
Bagi kaum buruh
Jika di kalangan pengusaha, bipartit dilihat sebagai upaya yang relatif ideal dalam kondisi seperti ini, bagi kaum pekerja hal ini merupakan satu solusi pragmatis dan jalan pintas yang tidak akan banyak mengubah inti persoalan. Mengapa demikian?
Pertama, karena bipartit itu sendiri merupakan konsekuensi dari praktik globalisasi di level praktis, di mana fungsi negara sebagai pelindung orang miskin semakin tiada. Penegasan terhadap penggunaannya adalah sekadar memformalisasi hal-hal yang telah menjadi mekanisme global di tingkat nasional.
Kedua, jika pemerintah ada di luar proses penyelesaian, kekuasaan akan kian imun dari berbagai bentuk tekanan publik sehingga jika terjadi kemacetan atau dampak sosial akibat konflik tak terselesaikan, negara tak bisa dituntut tanggung jawabnya lagi.
Ketiga, penyelesaian dengan bipartit membutuhkan jaminan penegakan hukum kuat, situasi ekonomi yang stabil, dan serikat buruh yang kokoh.
Sementara selama ini, banyak pengusaha yang melanggar hak buruh tidak diproses secara hukum sehingga tidak ada keadilan. Serikat buruh pun belum mampu tampil sebagai kekuatan yang berwibawa dan efektif.
Dalam situasi seperti ini, bipartit tampaknya menjadi upaya untuk melepaskan diri dari keharusan berkonfrontasi dengan birokrasi yang tak efektif dan korup dalam menyelesaikan konflik. Bipartit tidak akan mengubah kebobrokan birokrasi, namun sekadar meminimalisasi kehadirannya. Meski demikian, ia tetap akan hadir dan dominan dalam bentuk lain karena ia merupakan tangan- tangan kekuasaan yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke unit terendah.
Meski demikian, pada level praktis, segala upaya untuk menyelesaikan persoalan secara lebih sederhana dan cepat penting untuk didukung. Dibutuhkan transparansi dari kalangan pengusaha dalam proses ini. Untuk jangka pendek, penyelesaian konflik dan menyangkut hal-hal yang lebih "teknis" sifatnya, bipartit dapat mempermudah dan memperlancar banyak hal. Bahkan fungsi bipartit sebenarnya dapat diperluas untuk mengkritisi atau menolak kebijakan pemerintah yang merugikan seluruh kelas sosial.
Namun, sebagai sebuah metode penyelesaian konflik, bipartit bukan pola tepat untuk penyelesaian seluruh konflik. Sebelum krisis, secara alamiah, posisi kaum pekerja lebih lemah dari kaum pengusaha yang menguasai alat produksi. Apalagi setelah krisis.
Karena itu, bagi kaum pekerja penyelesaian persoalan melalui bipartit harus dilihat secara selektif dengan memperhitungkan jika unsur negara dilibatkan cenderung akan merugikan kepentingan kaum pekerja. Hal ini harus dilihat sebagai solusi temporer. Mengapa?
Karena negara seharusnya menyediakan segala jaminan kebijakan politik dan infrastruktur sosial ekonomi yang dibutuhkan orang miskin, termasuk buruh dan dunia usaha. Hal ini diakukan agar konflik- konflik sosial tidak gampang meledak. Ini merupakan kebutuhan sekaligus tantangan kaum buruh. Sebuah tugas, di mana perjuangan politik bersama- sama dengan gerakan demokratik lain sudah saatnya dilancarkan dengan gigih sehingga sebuah pemerintahan yang berpihak pada kaum pekerja menjadi kenyataan.
Bagi kaum pekerja, situasi krisis sebenarnya tidak menyediakan banyak alternatif karena bargaining position yang kian lemah. Reformasi berbagai perangkat UU dan perubahan kebijakan mikro seperti pengurangan PPh dan kenaikan upah ternyata tidak membawa perbaikan kesejahteraan. Karena itu, solusi politik perlu menjadi agenda bersama dari gerakan kaum pekerja dalam rangka mendorong perubahan lebih mendasar. Gerakan buruh jangan lagi hanya terpaku pada upaya untuk menuntut hal-hal normatif yang menjadi kebutuhan mendesaknya.
Serikat buruh juga harus tampil sebagai kekuatan politik nyata yang dapat diperhitungkan berbagai kelompok yang ada, terutama pemerintah. Organisasi buruh bersama gerakan demokrasi harus dapat menawarkan satu alternatif bagi transformasi ekonomi politik yang lebih fundamental. Juga satu konsep pemerintahan baru yang dapat menjalankan agenda reformasi total yang telah diselewengkan elite politik yang berkuasa saat ini.
Persoalan kesejahteraan akan terjawab jika gerakan demokrasi mampu menjadi kekuatan yang dapat mengambil alih kepemimpinan dalam menjalankan agenda reformasi total.
Pertanyaan yang sama seharusnya diajukan kepada para pengusaha domestik, terutama kalangan menengah ke bawah, yang tengah menghadapi problem besar bagi kelangsungan hidupnya. Eksistensinya pun kian terpinggirkan oleh liberalisasi pasar dan perdagangan serta korupsi dan kolusi yang kian mencekik. Karena itu, kalangan pengusaha nasional jangan bersikap reaktif terhadap berbagai upaya gerakan demokrasi untuk melakukan perubahan secara mendasar. Justru sebaliknya, harus ada satu sikap tegas terhadap berbagai kebijakan makro ekonomi pemerintah yang lebih banyak menguntungkan kapitalisme global. Segala kebijakan politik yang hasil akhirnya membebaskan pelaku korupsi dan kolusi juga harus konsisten ditolak. Dukungan besar terhadap perjuangan demokrasi sudah saatnya diberikan meski untuk tujuan akhir yang mungkin berbeda. Terlebih jika pilihan lain jauh lebih buruk bagi kepentingan kaum pekerja maupun pengusaha.
Senin, 03 November 2003
Langganan:
Postingan (Atom)